Sabtu, 22 Oktober 2011

Islam & Gender; Perspektif Klasik dan Modern


Islam adalah sistem kehidupan yang mengantarkan manusia untuk memahami realitas kehidupan. Islam juga merupakan tatanan global yang diturunkan Allah sebagai rahmatan lil-’alamin. Sehingga – sebuah konsekuensi logis – bila penciptaan Allah atas makhluk-Nya – laki-laki dan perempuan – memiliki missi sebagai khalifatullah fil ardh, yang memiliki kewajiban untuk menyelamatkan dan memakmurkan alam, sampai pada suatu kesadaran akan tujuan menyelamatkan peradaban kemanusiaan.
Dengan demikian, wanita dalam Islam memiliki peran yang konprehensif dan kesetaraan harkat sebagai hamba Allah serta mengemban amanah yang sama dengan laki-laki.
Berangkat dari posisi di atas, muslimah memiliki peran yang sangat strategis dalam mendidik ummat, memperbaiki masyarakat dan membangun peradaban, sebagaimana yang telah dilakukan oleh shahabiyah dalam mengantarkan masyarakat yang hidup di zamannya pada satu keunggulan peradaban. Mereka berperan dalam masyarakatnya dengan azzam yang tinggi untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang ada pada diri mereka, sehingga kita tidak menemukan satu sisipun dari seluruh aspek kehidupan mereka terabaikan. Mereka berperan dalam setiap waktu, ruang dan tataran kehidupan mereka.
Kesadaran para akhwat untuk berperan aktif dalam dinamika kehidupan masyarakat terbangun dari pemahaman mereka tentang syumuliyyatul islam, sebagai buah dari proses tarbiyah bersama Rasulullah SAW. Islam yang mereka pahami dalam dimensinya yang utuh sebagai way of life, membangkitkan kesadaran akan amanah untuk menegakkan risalah itu sebagai sokoguru perdaban dunia.
Dalam perjalanannya, terjadi pergeseran pemahaman Islam para muslimah yang berdampak pada apresiasi mereka terhadap terhadap nilai-nilai Islam – khususnya terkait masalah kedudukan dan peran wanita – sedemikian hingga mereka meragukan keabsahan normatif nilai-nilai tersebut. Hal muncul disebabkan ‘jauhnya’ ummat ini secara umum dari Al Qur’an dan Sunnah. Disamping itu, di sisi lain pergerakan feminis dengan konsep gendernya menawarkan berbagai ‘prospek’ – lewat manuvernya secara teoritis maupun praktis – tanpa ummat ini memiliki kemampuan yang memadai untuk mengantisipasi sehingga sepintas mereka tampil menjadi problem solver berbagai permasalahan wanita yang berkembang. Pada gilirannya konsep gender – kemudian cenderung diterima bulat-bulat olehkalangan muslimah tanpa ada penelaahan kritis tentang hakekat dan implikasinya.
Paradigma Islam dan Feminisme
Apakah Islam mengenal istilah gender – baik dalam perspektif klasik dan modern? Ini adalah pertanyaan yang sangat mendasar. Untuk tidak memunculkan kesalahan dan kerancuan dalam paradigma berpikir, agaknya perlu dijelaskan masalah ini – dengan memaparkan metodologi Islam dan feminisme – agar interpretasi kita para muslimah dalam memahami wacana tentang peran perempuan tetap berada dalam koridor konsepsi Islam yang utuh.
Metodologi Feminisme (Gender)
Kelemahan paling mendasar dari teori feminisme adalah kecenderungan artifisialnya pada filsafat modern. Pemikiran modern memiliki logika tersendiri dalam memandang realitas. Filsafat modern membagi realitas dalam posisi dikotomis subyek–obyek, dimana rasionalisme dan empirisme merajai pandangan dikotomis atas realitas, dimana laki-laki (subyek) dan perempuan (obyek) dan hubungan diantara keduanya adalah hubungan subyek–obyek (yang satu mensubordinasi yang lain). Dalam pandangan feminisme modern, deskripsi atas realitas seksual hanyalah patriarkal atau matriarkal. Kelemahan dari dikotomis ini menjadi mendasar karena dalam teori feminisme modern, realitas menjadi tersimplikasi ke dalam sistem patriarki. Hal ini kemudian didekontsruksi oleh era post–modernisme dengan post–strukturalisme. Post–strukturalisme membongkar dikotomi subyek–obyek atau ketunggalan kebenaran subyek tertentu. Sehingga realitas seksualpun tidak lagi dipandang hanya dalam dikotomi yang demikian, tetapi dipandang sebagai bentuk pluralitas dengan kesejajaran kedudukan dan masing- masing memiliki nilai kebenarannya sendiri.
Kelemahan lain adalah alat filsafat modern itu sendiri, yaitu rasionalisme dan imperialisme. Dengan rasionalismenya, modernisme mengandalkan bangunan utama subyektif manusia adalah rasionya, dan mambalut kekuatan subyektif dalam keutamaan rasionya. Sedangkan empirisme mengutamakan pengalaman inderawi dan materi sebagai ukuran kebenaran. Feminisme tidak terlepas dari kelemahan ini pula sehingga baik dalam teori maupun gerakan feminisme mau tidak mau menempatkan diri dalam kategorisasi alat modernisme yaitu rasionalisme dan empirisme.
Metodologi Islam
Jika feminisme mendasarkan teorinya pada pandangan atas realitas yang didikotomi atas realitas seksual (patriarkal), sebagaimana liberalisme atas realitas manusia (individu) dan sosialis atas realitas manusia (masyarakat), maka didalam Islam pandangan atas realitas bukan semata-mata tidak ada dikotomi (sebagaimana post– strukturalisme), sehingga setiap bagian tertentu memiliki nilai kebenaran sendiri. Di dalam Islam, nilai kebenaran dalam pandangan post–strukturalisme adalah nilai kebenaran relatif, sementara tetap ada yang mutlak. Sehingga andaipun ada dikotomi atas subyek–obyek, maka subyek itu adalah Sang Pencipta yang memiliki nilai kebenaran mutlak, sedangkan obyeknya adalah makhluk seluruhnya yang hanya dapat mewartakan sebagian dari kebenaran mutlak yang dimiliki-Nya.
Dengan demikian dalam Islam, hubungan manusia dengan manusia lain maupun hubungan manusia dengan makhluk lain adalah hubungan antar obyek. Jika ada kelebihan manusia dari makhluk lainnya maka ini adalah kelebihan yang potensial saja sifatnya untuk dipersiapkan bagi tugas dan fungsi kemanusiaan sebagai hamba (sama seperti jin, QS 51:56) dan khalifatullah (khusus manusia QS 2:30). Kelebihan yang disyaratkan sebagai kelebihan pengetahuan (konseptual) menempatkan manusia untuk memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari obyek makhluk lain dihadapan Allah. Akan tetapi kelebihan potensial ini bisa saja menjadi tidak berarti ketika tidak digunakan sesuai fungsinya atau bahkan menempatkan manusia lebih rendah dari makhluk yang lain (QS 7:179).
Realitas kemanusiaan juga demikian, dia tidak didasarkan oleh kelebihan satu obyek atas obyek yang lain, berupa jenis kelamin tertentu atau bangsa tertentu. Perubahan kedudukan hanya dimungkinkaan oleh kualifikasi tertentu yang disebut dengan taqwa (QS 49:13). Dengan demikian, dikotomi subyek–obyek di dalam Islam tidak sesederhana pandangaan feminisme modern, yaitu dalam sistem patriarkal maupun matriarkal. Kualifikasi yang terikat pada subyek tertinggi yaitu Allah adalah kualifikasi yang melintasi batas jenis kelamin, kelas sosial ekonomi, bangsa dan sebagainya. Dengan demikian kategori-kategori kelebihan subyek atau kelebihbenaran dalam Islam tidak berdasarkan rasionalisme dan empirisme, namun kategorisasi yang melibatkan dimensi lain yaitu wahyu.
Secara normatif, pemihakan wahyu atas kesetaraan kemanusiaan laki- laki dan perempuan dinyatakan di dalam Al Qur’an surat 9:71. Kelebihan tertentu laki-laki atas perempuan dieksplisitkan Al Qur’an dalam kerangka yang konteksual (QS4:34). Sehingga tidak kemudian menjadikan yang satu adalah subordinat yang lain. Dalam kerangka yang normatif inilah nilai ideal universal wahyu relevan dalam setiap ruang dan waktu. Sedangkan dalam kerangka konstektual, wahyu mesti dipahami lengkap dengan latar belakang konteksnya (asbabun nuzul-nya) yang oleh Ali Ashgar Engineer disebut terformulasi dalam bahasa hukum (syari’at).
Syari’at adalah suatu wujud formal wahyu dalam kehidupan manusia yang menjadi ruh kehidupan masyarakat. Antara wahyu (normatif) dengan masyarakat (konteks) selalu ada hubungan dinamis sebagaimana Al Qur’an itu sendiri turun dengan tidak mengabaikan realitas masyarakat, tetapi dengan cara berangsur dan bertahap. Dengan proses yang demikian idealitas Islam adalah idealitas yang realistis bukan elitis atau utopis karena jauhnya dari realitas konteks.
Dari kedua metodologi diatas, jelas bagi kita bahwa feminisme dengan konsep gendernya tidak ada dalam
Islam. Namun kita dituntut untuk mampu menjelaskan peran muslimah itu sendiri dengan paradigma Islam (syumul dan komprehensif). Inilah tugas kita sebagai muslimah.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara”

Senin, 17 Oktober 2011

Teori tentang Agama dan Rasionalitas


Sosiologi Agama Max Weber

Weber menjelaskan bahwa agama adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber semata hanyalah meneliti satu emansipasi dari pengaruh magis, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.
Max Weber mencoba mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan industri modern telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu.
Karya Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menunjukkan dengan baik keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme. Etika protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama Calvin, saat itu muncul ajaran yang menyatakan seorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka, untuk mengetahui apakah ia masuk surga atau neraka dapat diukur melalui keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika sebaliknya kalau di dunia ini selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka.
Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia – juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia – akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa pada masa depan yang baik di akhirat dengan “jaminan” masuk surga, sebaliknya kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka.
Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam perkembangannya etika Protestan menjadi faktor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke Amerika Serikat dan berpengaruh sangat kuat disana.
Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Semangat seperti itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional, artinya pengejaran bagi kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan daripada memikirkan kepentingan dan kebutuhan kolektif seperti yang dikehendaki oleh Kar Marx. Islam pun sebenarnya berbicara tentang kaitan antara makna-makna doktrin dengan orientasi hidup yang bersifat rasional. Dalam salah satu ayat disebutkan bahwa setelah menyelesaikan ibadah shalat, diperintahkan untuk bertebaran di muka bumi ini dalam rangka mencari karunia Allah SWT. Namun dalam Islam ada mekanisme penyeimbangan yang digunakan untuk membatasi kepemilikan pribadi dengan kewajiban membayar zakat, infaq dan shadaqah.
Menurut Max Weber bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik memiliki ciri-ciri khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya merupakan kenyataan yang real ketika masa-masa awal revolusi industri, ketika Weber hidup, kenyataan-kenyataan itu mejadi sesuatu yang benar-benar nyata dipraktekkan oleh manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat dan bukan dari individu yang terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara hidup lazim bagi keseluruhan kelompok manusia.
Selain membicarakan tentang kaitan antara Protestan dan Kapitalisme, Weber juga membicarakan tentang agama Tiongkok yakni Konfusionisme dan Taoisme, perhatian Weber pada agama ini tampaknya menunjukkan besarnya perhatian Weber atas kenyataan-kenyataan sosial dalam kehidupan manusia. Dalam tulisan-tulisannya yang lain, Weber juga sempat membicarakan masalah-masalah Islam. Hadirnya tulisan tentang Konfusionisme dan Taoisme dalam karya Weber ini dapat dipandang sebagai perbandingan antara makna agama di Barat dan di Timur. Ia banyak menganalisa tentang masyarakat agama, tentu saja dengan analisa yang rasional dan handal serta sama sekali tidak ada maksud untuk mendiskriminasikan agama tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan Taonisme merupakan karya terbesar kedua dari Weber dalam sosiologi tentang agama.
Weber memusatkan perhatiannya pada unsur-unsur dari masyarakat Tiongkok yang mempunyai perbedaan jauh dengan budaya yang ada di bagian barat bumi (Eropa) yang dikontraskan dengan Puritanisme. Weber berusaha mencari jawaban “mengapa kapitalisme tidak berkembang di Tiongkok?” dalam rangka memperoleh jawaban atas pertanyaan sederhana diatas, Weber melakukan studi pustaka atas eksistensi masyarakat tiongkok. Bagaiman eksistensi itu dipahami Weber dalam rangka menuntaskan apa yang menjadi kegelisahan empiriknya, maka yang dilakukana adalah memahami sejarah kehidupannya,
Dalam berbagai dokumen yang diteliti oleh Weber, bahwa masyarakat Tiongkok memiliki akar yang kuat dengan kehidupan nenek-moyang mereka sejak tahun 200 SM, Tiongkok pada saat itu merupakan tempat tinggal para pemimpin kekaisaran yang membentuk benteng-benteng di kota-kota Tiongkok, disitu juga merupakan pusat perdagangan, namun sayangnya mereka tidak mendapatkan otonomi politik, ditambah warganya yang tidak mempunyai hak-hak khusus, hal ini disebabkan oleh kekuatan jalinan-jalinan kekerabatan yang muncul akibat keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Hal lainnya adalah gilda-gilda yang bersaing merebutkan perkenan kaisar. Sebagai imbasnya warga kota-kota Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas setatus terpisah. Namun jika kita cermati dinegara beragamakan Taoisme dan Konfucuisme kini mampu berkembang dan banyak kapitalis dimana-mana mungkin hal itu sudah tidak relevan lagi dengan fakta sosial saat ini.

Sumber Bacaan :
Sosiologi Max Weber (Judul asli: Essay in Sosiology, Pustaka Pelajar, Yogyakarta November 2006

Senin, 10 Oktober 2011

Mu'tazilah: Asal Ushul dan al-Ushul al-Khamsah

Aliran Mu’tazilah: Asal Usul dan al-Ushul al-Khamsah

Problematika teologis di kalangan umat Islam baru muncul pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib (656-661M) yang ditandai dengan munculnya kelompok dari pendukung Ali yang memisahkan diri mereka karena tidak setuju dengan sikap ‘Ali yang menerima Tahkim dalam menyelesaikan konfliknya dengan Muawiyah bin Abi Sofyan, Gubernur Syam, pada waktu Perang Siffin. Di situ ‘Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan “de jure”-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (Pembelot atau Pemberontak). Kaum Khawarij memandang ‘Ali dan Mu’awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh ‘Ali dan Mu’awiyah. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, hanya berhasil membunuh ‘Ali, sedangkan Mu’awiyah hanya mengalami luka-luka saja.
Bila Khawarij merupakan kelompok yang kontra terhadap Ali, maka kelompok kedua yang muncul kepermukaan yaitu Rhawafidl (Syi’ah) justru kebalikan Khawarij. Mereka adalah pendukung Ali dan mendaulatkan bahwa Ali-lah yang berhak menyandang gelar khalifah setelah Nabi Muhammad SAW. bukan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka semua ini bahkan dikafirkan oleh Syi’ah.
Selanjutnya muncul pula Murji’ah pada akhir kurun pertama (akhir masa sahabat) tepatnya pada masa pemerintahan Ibnu Zubair dan Abdul Malik. Kemudian pada awal kurun kedua (masa tabi’in) yakni pada masa akhir pemerintahan Bani Umayyah muncul Jahmiyah, Musyabihah, dan Mumatstsilah yang diusung Ja’di bin Dirham dan Jahm bin Shafwan, penganut faham Jabariyah. Kemunculan berikutnya adalah Mu’tazilah yang mempunyai ciri khas ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah kebalikan dengan apa yang diusung Jahm bin Shafwan. Setelahnya, ada As’ariyahMaturidiah. dan
Mu’tazilah sebenarnya merupakan gerakan keagamaan semata, mereka tidak pernah membentuk pasukan, dan tidak pernah menghunus pedang. Riwayat-riwayat yang menyebutkan tentang keikutsertaan beberapa pemimpin kaum Mu’tazilah, seperti ‘Amru Ibnu ‘Ubaid dalam serangan yang dilancarkan kepada al-Walid ibn Yazid, dan yang menyebabkan gugurnya Al Walid ibnu Yazid, tidaklah menyebabkan Mu’tazilah ini menjadi suatu golongan yang mempunyai dasar-dasar kemiliteran, sebab pemberontakan terhadap Al-Walid itu bukanlah pemberontakan kaum Mu’tazilah, melainkan adalah suatu pemberontakan yang berakar panjang yang berhubungan dengan kepribadian dan moral Khalifah. Maka ikut-sertanya beberapa orang Mu’tazilah dalam pemberontakan itu hanyalah secara perseorangan, disebabkan prinsip-prinsip umum, yang menyebabkan rakyat memberontak kepada penguasa yang zalim.
Walaupun gerakan Mu’tazilah merupakan gerakan keagamaan, namun pada saat ia mempunyai kekuatan ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan tekanan-tekanan terhadap pihak-pihak yang menantangnya. Pemakaian kekerasan itu dipandang sebagai salah satu dari sikap Mu’tazilah yang tercela. Dan adanya tekanan-tekanan itu menjadi sebab yang terpenting bagi lenyapnya aliran ini di kemudian hari.
Meskipun aliran Mu’tazilah pada era dewasa ini sulit ditemukan, pemikiran-pemikiran Mu’tazilah menurut hemat penulis sepertinya terus berkembang, tentunya dengan gaya baru dan dengan nama-nama yang cukup menggelitik dan mengelabui orang yang membacanya. Sebut saja  istilah Modernisasi Pemikiran, Sekulerisme, dan nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemikiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran yang bersumber dari akal pikiran semata.
Untuk itulah, pada kesempatan ini penulis mencoba untuk membahas tentang asal usul aliran Mu’tazilah berikut prinsip-prinsip pemikiran mereka agar kita dapat mengetahui secara jelas apakah aliran ini memang dapat diterima atau malah menyimpang dari ajaran agama Islam. Namun pada pembahasan ini, penulis sengaja tidak banyak memaparkan bentuk bantahan-bantahan terhadap aliran Mu’tazilah ini, karena tujuan utama makalah ini hanya sekedar memperkenalkan prinsip-prinsip aliran tersebut.
A- Latar Belakang Munculnya Istilah Mu’tazilah
Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya menunjukkan kesendirian, kelemahan, keputus-asaan, atau mengasingkan diri. Dalam Al-Qur’an, kata-kata ini diulang sebanyak  sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al ibti’âd ‘ani al syai-i : menjauhi sesuatu. Seperti dalam satu redaksi ayat :

فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَ ْلقَوْا اِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلاً

Artinya: “Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisa’: 90)
Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Waashil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry.
Aliran Mu’tazilah ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, antara tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan Khalifa Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Awalnya nama Mu’tazzilah sendiri diberikan oleh orang luar Mu’tazilah, yakni atas dasar ucapan Hasan Al-Bashry setelah melihat Washil bin Atha’ memisahkan diri dari halaqoh yang diselenggarakan olehnya. Hasan Al-Bashry diriwayatkan memberi komentar sebagai berikut: “I’tazala anna” (dia mengasingkan diri dari kami). Akhirnya orang-orang yang mengasingkan diri itu disebut “Mu’tazilah”, yang dapat diartikan sebagai orang yang mengasingkan diri dari majelis kuliah Hasan Al-Bashry.
Sebenarnya, kelompok Mu’tazilah ini telah muncul pada pertengahan abad pertama Hijrah yakni diistilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya Perang Jamal dan Perang Siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah. Sedangkan pada abad kedua Hijrah, Mu’tazilah muncul karena didorong oleh persoalan aqidah. Dan secara teknis, istilah Mu’tazilah ini menunjukkan pada dua golongan, yaitu:
  • Golongan pertama disebut Mu’tazilah I; muncul sebagai respon politik murni, yakni bermula dari gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang “gerah” terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan ‘Ali. Seperti diketahui, setelah Ustman terbunuh, ‘Ali diangkat menjadi Khalifah. Namun pengangkatan ini mendapat protes dari beberapa sahabat lainnya. ‘Aisyah, Zubeir dan Thalhah mengadakan perlawanan di Madinah, namun berhasil dipadamkan. Sementara di Damaskus, gubernur Mu’awiyah juga mengangkat senjata melawan ‘Ali. Melihat situasi yang kacau demikian, beberapa sahabat senior seperti ‘Abdullah ibn ‘Umar, Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Zaid ibn Tsabit bersikap netral. Mereka tidak mau terlibat dalam pertentangan kelompok-kelompok di atas. Sebagai reaksi atas keadaan ini, mereka sengaja menghindar (i’tazala) dan memperdalam pemahaman agama serta meningkatkan hubungan kepada Allah.
  • Golongan kedua disebut Mu’tazilah II muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Namun demikian, antara kedua golongan ini masih terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan.
Mengenai pemberian nama Mu’tazilah untuk golongan kedua ini terdapat beberapa versi, di antaranya:
  • Versi Asy-Syahrastani mengatakan bahwa nama Mu’tazilah ini bermula pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Bashri di Basrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Basri di masjid Basrah., datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya: “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian dia menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).”
  • Versi Al-Baghdadi menyebutkan bahwa Washil bin Atha’ dan temannya, Amr bin Ubaid, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian di antara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
  • Versi Tasy Kubra Zadah berkata bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
  • Sementara Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain). Dalam artian mereka memberi status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.
Adapun tokoh-tokoh aliran Mu’taziliyah yang terkenal di antaranya adalah :
  1. Washil bin Atha’, lahir di Madinah, pelopor ajaran ini.
  2. ‘Amru bin ‘Ubaid, sahabat Washil bin Atha’
  3. Abu Huzail al-Allaf (751-849 M), penyusun 5 ajaran pokoq Mu’taziliyah.
  4. An-Nazzam, murid Abu Huzail al-Allaf.
  5. Abu ‘Ali Muhammad bin ‘Abdul Wahab/al-Jubba’i (849-915 M).
B- Doktrin Mu’tazilah Tentang Khalqu Af’alil ‘Ibad
Berbicara tentang Mu’tazilah sebenarnya tidak terlepas dari aliran-aliran yang ada sebelumnya, terutama yang menyangkut permasalahan yang dimunculkan kaum Khawarij terhadap suatu masalah “Orang Yang Melakukan Dosa Besar” yang terkenal dalam istilah Mutakallimin dengan sebutan “Khalqu Af’alil ‘ibad”. Dalam hal ini kaum Azariqah dari golongan Khawarij berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar itu adalah kafir, yaitu kafir terhadap agama, yang berarti keluar dari Agama Islam, dan kekal dalam neraka. Dan dalam pembahasan ini, muncullah beberapa macam pendapat berbeda yang akhirnya membentuk aliran Murji’ah, Jabariyah, dan Mu’tazilah sendiri.
Menurut golongan Murjiah bahwa iman adalah pengakuan tentang kemahaesaan Allah dan kerasulan Muhammad, yaitu pengakuan hati. Barangsiapa mengakui hal itu berdasarkan kepercayaan, maka dia adalah Mu’min; apakah ia menunaikan kewajiban-kewajibannya atau tidak, dan apakah ia menjauhi dosa-dosa besar atau ia melakukannya. Sesuai namanya Murji’ah yang berarti “memberikan harapan untuk mendapatkan kemaafan”, maka berdasarkan itu pula mereka meyakini bahwa perbuatan maksiat itu tidak merusak iman, sebagaimana ketaatan yang tidak bermanfaat jika disertai oleh kekafiran. Sehingga jika seorang muslim yang melakukan dosa besar maka ia masih tergolong muslim, adapun dalam kaitannya dengan dosa yang dilakukannya itu terserah Tuhan di akhirat nanti.
Sementara golongan Jabariyah berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia (yang baik maupun tercela) pada hakekatnya bukanlah hasil pekerjaannya sendiri, melainkan hanyalah termasuk ciptaan Tuhan, yang dilaksanakan-Nya melalui tangan manusia. Dengan demikian maka manusia itu tiadalah mempunyai perbuatan, dan tidak pula mempunyai kodrat untuk berbuat. Sebab itu, orang mukmin tidak akan menjadi kafir lantaran dosa-dosa besar yang dilakukannya, sebab ia melakukannya semata-mata karena terpaksa. Untuk aliran Murji’ah, JabariyahKhawarij telah dibahas secara terperinci oleh para pemakalah sebelumnya. maupun
Adapun golongan Mu’tazilah, dalam hal ini berpendapat bahwa manusia adalah berwenang untuk melakukan segala perbuatannya sendiri. Sebab itu ia berhak untuk mendapatkan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, dan sebaliknya ia juga berhak untuk disiksa atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya.
Untuk menguatkan pendapat-pendapatnya itu, Mu’tazilah berdalil kepada ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain ialah:

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌ

Artinya: “Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa yang telah diperbuatnya” [QS. Al-Mudattsir: 38]

فَمَنْ شَآءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَآءَ فَلْيَكْفُرْ

Artinya: “Maka siapa yang hendak beriman, berimanlah, dan siapa yang hendal kafir, kafirlah!” [QS. Al-Kahfi: 39]

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيْلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُوْرًا

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menunjukkan kepadanya jalan (yang lurus), adakalanya dia bersyukur dan adakalanya mengingkari.” [QS. Ad-Dahr: 3]

إِنَّ هذِهِ تَذْكِرَةً فَمَنْ شَآءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيْلاً

Artinya: “Sesungguhnya ini adalah peringatan, maka siapa yang ingin, tentu ia mengambil jalan kepada Tuhannya.” [QS. Al-Muzammil: 19]

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَآءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلاَّمٍ لِلْعَبِيْدِ

Artinya: “Barangsiapa berbuat baik, maka itu adalah buat dirinya, dan siapa berbuat jahat, maka itu merugikan dirinya. Dan tiadalah Tuhanmu aniaya terhadap hamba-hamba-Nya”. [QS. Fushshilat: 46]

وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى، وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى. ثُمَّ يُجْزَاهُ اْلجَزَآءَ اْلأَوْفَى

Artinya: “Dan bahwasanya tiadalah bagi manusia, kecuali apa yang telah dikerjakannya. Dan bahwasanya usahanya itu akan diperlihatkan. Kemudian ia akan diberi balasan yang paling sempurna”. [QS. An-Najmu: 39-41]

وَمَنْ يَكْسِبْ إِثْمًا فَإِنَّمَا يَكْسِبُهُ عَلَى نَفْسِهِ

Artinya: “Dan barangsiapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri”. [QS. An-Nisa’: 111]
Selain itu, bagi aliran Mu’tazilah menyebutkan bahwa kedudukan bagi orang yang berbuat dosa besar, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin secara mutlak dan tidak pula kafir secara mutlak, melainkan dia akan ditempatkan di suatu tempat yang terletak di antara dua tempat (al-manzilah bain al-manzilatain), ia tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi menjadi fasiq (lihat: Subhi, 1982, Fi ‘Ilm al-Kalam, Iskandariyyah: Tsaqafah al-Jami’ah, hal.67). Dalam doktrin al-manzilah bain al-manzilatain ini, kelompok Mu’tazilah memandang bahwa tokoh-tokoh yang terlibat perselisihan dan pertentangan pada masa pemerintahan ‘Ali adalah sahabat-sahabat Nabi yang shaleh. Namun mereka terpecah, dan kedua-duanya tidaklah benar. Salah satu pihak pasti ada yang berbuat dosa, tapi kita tidak mengetahui yang mana. Karena itu, urusan mereka diserahkan saja kepada Allah. Namun demikian mereka tidak dapat dianggap sebagai mukmin dalam arti yang sebenarnya.
Menurut As-Syahristani dalam Al Milalu Wan Nihal, bahwa bagi Mu’tazilah, iman itu adalah ungkapan bagi sifat-sifat yang baik, yang apabila sifat-sifat tersebut terkumpul pada diri seseorang maka ia disebut mukmin. Dengan demikian, kata mukmin tersebut merupakan suatu nama pujian. Dan orang yang melakukan dosa besar, sedang pada dirinya tidak terkumpul sifat-sifat yang baik itu, maka ia tidaklah berhak untuk mendapatkan nama pujian itu. Dengan demikian ia tak dapat disebut mukmin. Akan tetapi ia bukan pula kafir secara mutlak, karena syahadah dan perbuatan-perbuatan baik lainnya yang ada padanya tidaklah dapat dimungkiri. Tetapi apabila ia keluar dari dunia ini dalam keadaan berdosa besar dan tidak bertobat kepada Allah, maka dia adalah penduduk neraka untuk selama-lamanya, sebab di akhirat kelak hanya ada dua macam golongan saja, satu golongan di dalam syurga dan yang lain di neraka; hanya saja azab yang dikenakan kepadanya lebih ringan daripada azab yang dikenakan kepada orang-orang kafir.
C- Prinsip-Prinsip Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah, sebagai sebuah aliran teologi yang mengadopsi faham qodariyah, memiliki asas dan landasan tersendiri yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun. Asas dan landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut:
1- Tauhidi
Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utuma. Sebenarnya tauhid ini bukan milik khusus golongan Mu’tazilah, tapi Mu’tazilah mengartikan tauhid lebih spesifik, yaitu Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaeasaan Allah. Tuhanlah satu-satunya Yang Maha Esa tidak ada satupun yang menyamainya. Oleh karena itu, hanya Dia-lah yang Qadim. Untuk memurnikan keesaan Tuhan, Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat. Menurut Mu’tazilah sifat adalah sesuatu yang melekat. Jadi sifat basar, sama’, qodrat dan seterusnya itu bukan sifat melainkan dzatnya Allah itu sendiri. Bahkan Mu’tazilah juga berpendapat bahwa Al-Qur‘an itu baru (makhluk) karena Al-Quran adalah manifestasi kalam Allah, sedangkan Al-Qur’an itu sendiri terdiri dari rangkaian huruf-huruf, kata, dan bahasa yang salah satunya mendahului yang lain.
Karena adanya prinsip-prinsip ini, maka musuh-musuh Mu’tazilah menggelari mereka dengan “Mu’atthilah”, sebab mereka telah meniadakan sifat-sifat Tuhan dan menghapuskannya. Sedangkan kaum Mu’tazilah sendiri menyebut diri mereka dengan “Ahlul ‘Adli Wat Tauhid” (pengemban keadilan dan ketauhidan).
Sebelum ke pokok persoalan, kita tidak boleh lupa bahwa yang namanya tauhid itu memiliki beberapa jenis dan tingkatan, yaitu  : tauhid zatitauhid sifati (keesaan sifat), tauhid af’ali (keesaan perbuatan) dan tauhid ibadi (keesaan ibadah). (keesaan zat),
  • Tauhid zati : Artinya adalah bahwa zat Allah adalah satu dan tidak terpisah. Tak ada tandingannya. Semua  eksistensi yang lainnya adalah merupakan ciptaan-Nya dan eksistensinya jauh dibawah-Nya. Tidak ada satu eksistensi-pun yang pantas untuk diperbandingkan dengan-Nya.
  • Tauhid Sifati : Artinya adalah bahwa sifat-sifat Allah seperti Maha Mengetahui, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Adil dan seterusnya itu bukanlah merupakan eksistensi-eksistensi yang terpisah dari zat Allah. Sifat-sifat tersebut identik dengan-Nya, dalam pengertian yang lain bahwa sifat-sifat Tuhan itu adalah sedemikian rupa sehingga sifat-sifat-Nya merupakan realitas zat Allah sendiri, atau dengan kata lain bahwa manifestasi Tuhan itu adalah sifat-sifat ini.
  • Tauhid af’ali : Artinya bahwa semua perbuatan-perbuatan (termasuk perbuatan mansusia) ada karena kehendak Alllah, dan sedikit banyak dikehendaki oleh zat suci-Nya.
  • Tauhid ibadi : Artinya adalah bahwa selain Allah tak ada yang patut untuk disembah dan tak ada yang patut untuk diberi dedikasi. Menyembah atau beribadah kepada siapa atau kepada apa saja selain kepada Allah adalah syirik , dan orang yang melakukan hal seperti itu dianggap telah keluar dari tauhid Islam.
Jika kita perhatikan sekilas, dari ke empat jenis tauhid tersebut, tiga yang terakhir (tauhid ibadi) adalah berhubungan dengan makhluk. Tapi secara prinsip tidaklah demikian adanya,  pernyataan ‘La ilaaha ilallah’ adalah sebuah pernyataan yang meliputi semua aspek tauhid, termasuk didalamnya adalah aspek tauhid ibadi. Kemudian, dari keempat tauhid tersebut, tauhid zati dan tauhid ibadi merupakan bagian utama dari akidah-akidah utama Islam yang berhubungan dengan Allah sedangkan mempersoalkan dan menentang kedua tauhid tersebut maka dia dianggap sudah keluar dari area
Namun bagi Mu’tazilah, yang  disebut tauhid itu adalah tauhid sifati, bukan tauhid zati dan tauhid ibadi sepertiyang sudah disepakati kebanyakan orang. Bahkan juga bukan tauhid af’ali sebagaimana tauhid yang dipahami oleh kaum Asy’ariah.
2- Al-Adl (Keadilan Allah)
Al-Adl masih ada hubungannya dengan tauhid, dengan Al-Adl, Mu’tazilah ingin mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhluk, karena Tuhan Maha Sempurna maka Tuhan pasti Adil. Ajaran ini ingin bertujuan untuk menempatkan Tuhan benar-benar Adil menurut sudut pandang manusia. Dan mereka yakin bahwa Allah itu Maha Adil, maka dia tidak akan menindas makhluk-makhluk-Nya. Prinsip seperti ini pada dasarnya memang disepakati oleh umat Islam, tak ada satupun di antara mereka yang menentang dan mempersoalkan keadilan Ilahi dalam tataran substansi.  Kalaupun terjadi perbedaan dan perselisihan, ini biasanya  terjadi hanya karena masalah tasiran saja.
Namun bagi Mu’tazilah, mereka percaya bahwa pada hakikatnya ada tindakan atau perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya adalah ‘adil’ dan sebaliknya, ada juga tindakan dan perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya ‘tidak adil’. Sebagai contoh, kalau Allah memberikan pahala pada orang yang taat dan yang berbuat baik serta memberikan hukuman  kepada para pendosa, maka tindakan Allah disebut adil, dan Allah memang Maha Adil.  Dia (Allah) memberikan penghargaan terhadap yang taat dan menghukum terhadap yang bersalah, dan mustahil Allah akan melakukan hal yang sebaliknya. Memberikan pahala kepada yang berdosa (bersalah) dan menghukum yang adil, dan Allah mustahil berbuat seperti itu, taat, karena perbuatan sedemikian sungguh adalah suatu perbuatan tidak
Demikian juga dengan contoh yang lain, misalnya kehendak bebas.  Tidak mungkin Allah menciptakan makluk yang  tidak mempunyai kehendak bebas, lalu kemudian menciptakan perbuatan dosa dengan tangan makhluk itu dan setelah itu menghukumnya. Itu adalah perbuatan tidak adil,  Allah tidak mungkin  dan tidak pantas untuk melakukan tindakan yang seperti itu.
Kemudian dari itu, atas nama akidah keadilah ilahi, kaum Mu’tazilah  dengan gigihnya mempromosikan contoh-contoh  lain dan yang lebih umum,  bahwa pada dasarnya sifat-sifat itu ada pada perbuatan. Sifat jujur, ramah, murah senyum dan lagi tidak sombong misalnya, pada dasarnya adalah suatu sifat yang memang sudah dari sononya memiliki kualitas  yang baik. Sedangkan sifat-sifat mudah cemberut, ngambekan, pembohong, munafik, tidak senonoh  dan dan lain-lain pada dasarnya memang sudah merupakan suatu sifat yang tidak baik dan buruk pula. Karena itu maka bisa disimpulkan bahwa pada hakikatnya suatu perbuatan itu sebelum ada hukum atau penilain Allah terhadapnya sekalipun, perbuatan-perbuatan semacam itu memang sudah dari ’sono’nya memang telah menjadi sifatnya. seperti sifat ‘keindahan’ dan ‘keburukan’, ‘baik’ dan ‘buruk’. Menurut pandangan konsekuensi logis dari pemikiran tersebut adalah  bahwa sesungguhnya aka manusia, setidak-tidaknya sebagian akan mampu untuk membedakan sebelah mana yang baik dan sebelah mana pula yang buruk tanpa perlu harus selalu mengacu kepada syariat (hukum) .
Selanjutnya, apakah dalam persoalan keimanan seseorang bisa atau mampu merubah pemikirannya sendiri dari tadinya seorang kafir menjadi muslim? Atau sebaliknya apakah  seseorang bisa atau mampu merubah pemikiranannya sendiri dari tadinya seorang preman kemudian berubah menjadi ustadz? Jawaban-nya jelas dan pasti bisa. Karena jika seseorang tidak mampu untuk melakukan hal tersebut, maka tidak adil kalau Allah menghukum orang atas perbuatan jahatnya sementara orang itu sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk merubah situasinya. Dan berdasarkan kepada prinsip ini, mereka juga disebut “Al’Adliyah”, yaitu orang-orang yang menganut pendapat tentang keadilan.
3- Al-Wa’d Wal Wa’id (Janji dan Ancaman Allah )
Tuhan yang Maha Adil dan Bijaksana, tidak akan melanggar janjinya. Kaum Mu’tazilah yakin bahwa janji dan ancaman itu pasti terjadi, yaitu janji Tuhan yang berupa pahala (surga) bagi orang yang berbuat baik, dan ancamannya yang berupa siksa (neraka) bagi orang yang berbuat durhaka. Begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan bagi orang yang bertaubat.
Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, akan tetapi siksa yang diterimanya lebih ringan daripada siksa orang yang kafir. Tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihkan hal ini. Dan inilah yang mereka sebut dengan janji dan ancaman itu. Sehingga mereka sering disebut dengan Wa’idiyyah.
4- Al-Manzilah Baina Al-Manzilatain (Tempat di Antara Dua Tempat)
Pokok ajaran ini adalah orang Islam yang melakukan dosa besar (ma’siat) selain syirik dan belum bertaubat dia tidak dikatakan mu’min dan tidak pula dikatakan kafir, tetapi fasik. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan dan tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran saja.
Di dalam dunia ini, orang yang melakukan dosa besar itu bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi fasiq, tidak boleh disebut mukmin, walaupun dalam dirinya ada iman kerana pengakuan dan ucapan dua kalimah syahadahnya, dan tidak pula disebut kufur, walaupun ‘amal perbuatan dianggap dosa, kerana ia tidak mempengaruhi imannya. Sementara di akhirat kelak orang yang melakukan dosa besar itu tidak akan dimasukkan ke dalam syurga dan tidak pula dimasukkan ke dalam neraka yang dahsyat, seperti orang kafir, tetapi dimasukkan ke dalam neraka yang paling ringan.
Dalam konteks ini, timbul sebuah pertanyaan, “Siapakah yang disebut kafir oleh aliran Mu’tazilah?” Menurut mayoritas kaum Mu’tazilah, orang yang tidak patuh terhadap yang wajib dan yang sunat disebut pelaku maksiat. Mereka membagi maksiat kepada 2 (dua) bagian, yaitu maksiat besar dan maksiat kecil. Maksiat besar ini dinamakan kufur. Adapun yang membawa seseorang pada kekufuran ada 3 (tiga) macam, yakni:
  1. Seseorang yang menyamakan Allah dengan makhluk.
  2. Seseorang yang menganggap Allah tidak adil atau zalim.
  3. Seseorang yang menolak eksistensi Nabi Muhammad yang menurut nas telah disepakati kaum muslimin.
5- Al-Amru bil Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an al-Munkar (Baik dan Buruk Menurut Pertimbangan Akal)
Kaum Mu’tazilah sepakat mengatakan bahwa akal manusia sanggup membedakan yang baik dan yang buruk, sebab sifat-sifat dari yang baik dan yang buruk itu dapat dikenal. Dan manusia berkewajiban memilih yang baik dan menjauhi yang buruk. Untuk itu, tak perlulah Tuhan mengutus Rasul-Nya. Apabila seseorang tidak mau berusaha untuk mengetahui yang baik dan yang buruk itu, ia akan mendapat siksaan dari Tuhan. Begitu pula apabila ia tahu akan yang baik tetapi tidak diikutinya, atau ia tahu mana yang buruk tetapi tidak dihindarinya. Adapun mengutus Rasul, itu adalah merupakan pertolongan tambahan dari Tuhan, “agar orang-orang yang binasa itu, binasanya adalah dengan alasan, dan orang yang hidup itu, hidupnya adalah dengan alasan pula”.
Selain itu, mereka juga berprinsip bahwa diwajibkan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah (muslim) apabila mereka telah berlaku dzalim dan sewenang-wenang dalam berkuasa.
Kelima prinsip tersebut di atas merupakan standar bagi kemu’tazilahan seseorang, dengan artian seseorang baru dikatakan Mu’tazilah jika dia menganut dan mengakui kelima hal tersebut, namun jika dia tidak mengakui salah satunya atau menambahkan padanya satu hal saja, maka orang ini tidak pantas menyandang nama Mu’tazilah.
Dari pemaparan tentang pemikiran Mu’tazilah di atas, terlihat bahwa akal adalah satu-satunya sandaran pemikiran mereka. Oleh karena itu, terkenallah bahwa mu’tazilah adalah pengusung teologi rasionalitas. Teologi rasionaltas yang di usung kaum mu’tazilah tersebut bercirikan:
  1. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta’wil dalam memahami wahyu.
  2. Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran
  3. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur’an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.
Teologi rasional Mu’tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M.
D- Penutup
Demikianlah sekilas pembahasan tentang Aliran Mu’tazilah yang lahir dan tercatat dalam sejarah peradaban Islam. Aliran Mu’tazilah yang selalu membawa persoalan-persoalan teologi banyak memakai akal dan logika sehingga mereka dijuluki sebagai “kaum rasionalis Islam“. Penghargaan mereka yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul banyak perbedaan pendapat di kalangan mereka sendiri, hal ini disebabkan keberagaman akal manusia dalam berfikir. Bahkan perbedaan tersebut telah melahirkan sub-sub sekte (aliran) mu’tazilah “baru” yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut. Al-Baghdady dalam kitabnya “al-farqu bainal firaqi” menyebutkan bahwa aliran Mu’tazilah ini telah terpecah menjadi 22 golongan.
Dalam perjalanannya, aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini banyak mendapat tantangan keras dari kelompok tradisonal Islam, terutama golongan pengikut Mazhab Hambali. Bahkan sepeninggal Khalifah Al-Ma’mun dari Bani Abbasiyah tahun 833 M, syi’ar Mu’tazilah semakin berkurang, bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Mutawwakil pada 856 M.
Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang menentang) kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan al-Asy’ariah.
Di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansyur Muhammad al-Maturidi (w.944 M). aliran ini dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak setradisional al-Asy’ariah tetapi juga tidak seliberal Mu’tazilah. (by: Indra Laksamana Muda)
***
DAFTAR PUSTAKA
  • Abuddin Nata, Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf
  • A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam Jilid 2, terj. Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latief
  • Makalah tentang Mu’tazilah oleh Kolid Syamhudi (tidak diterbitkan)
  • Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam
  • Mu’in Abdullah, Aliran Islam Pada Masa Khalifah
  • Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Mu’taziliyah, dalam website http://id.wikipedia.org, data diakses tanggal 23 Oktober 2009
  • Mohd. Said Sihak, Konsep Iman dan Kufur: Perbandingan Perspektif Antara Aliran Teologi
  • Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan
  • Mohd. Said Sihak, Konsep Iman dan Kufur
  • Al-Bazdawi. Kitab Usuluddin

Sabtu, 08 Oktober 2011

Pemalsuan Hadits; Munculnya Madzhab Ahl Hadits dan Ahl Ra’yi..

Pemalsuan Hadits, Ahlul Hadits Dan Ahlur Ro’ Yi

A. PENDAHULUAN
Seluruh umat Islam, baik ahli naql atau ahli aql telah sepakat bahwa Hadits merupakan salah satu hukum islam, dan kita telah mengetahui bahwa seluruh umat islam diwajibkan mengikutinya sebagaimana mungkin Al qur’an. Tegasnya bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan dua sumber hukum islam yang tetap, sehingga orang islam tidak mungkin mampu memahami syari’at islam tanpa kembali kepada kedua sumber tersebut. Mujtahid dan orang orang alimpun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari kedua sumber tersebut. Hadits merupakan sumber hukum islam yang ke dua setelah Al Qur’an dan diyakini sebagi sesuatu yang paling penting dalam menetapkan hukum, akan tetapi pada waktu tertentu ada beberapa golongan yang memalsukan Hadits .Kesenjangan waktu antara sepeninggalan Rosululloh SAW dengan waktu Pembukuan hadits merupakan kesempatan yang baik bagi kelompok kelompok tertentu yang membuat buat hadits palsu karena kepentingan kelompok masing masing. Dalam makalah ini kami akan mencoba memapaparkan tentang devinisi Hadits Palsu, Sebab sebah Munculnya Hadits Palsu, Cara menanggulangi Hadits Palsu, Hukum Hadits Palsu dan Munculnya Madzhab Ahlu Hadits dan Ro’yi.
B.PEMBAHASAN
a. Devinisi Hadits Palsu (Maudu’)
Hadith Maudhu’ adalah merupakan dua perkataan yang berasal daripada bahasa Arab yaitu al-Hadith dan al-Maudhu’. Al-Hadith dari segi bahasa mempunyai beberapa pengertian seperti al-hadith dengan arti baru (al-jadid) dan al-hadith dengan arti cerita (al-khabar).[1]
Sedangkan Hadits menurut ulama ahli hadits adalah: sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, baik yan berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapannya. Pengertian ini sama dengan pengertian yang dibuat oleh ulama hadith terhadap al-Khabar dan al-Athar.[2] Sebahagian ulama mendefinisikan al-Hadith sama arti dengan al-Sunnah.[3]
Maudhu’ dari sudut bahasa berasal dari kata wadha’a – yadha’u – wadh’an wa maudhu’an – yang mengandung beberapa pengertian antaranya: telah menggugurkan, menghinakan, mengurangkan, melahirkan, merendahkan, mencipta, menanggalkan, menurunkan.[4]
Oleh karena itu Maudhu’ (di atas neraca isim maf’ul – benda yang kena dibuat) akan membawa arti dicipta atau direka. Di dalam definisi yang lebih tepat lagi ulama hadith mendefinisikannya adalah segalas sesuatu yang yang tidak pernah keluar daripada Nabi SAW, baik dalam bentuk perkataan atau perbuatan atau taqrir, tetapi disandarkan kepada baginda SAW, baik secara sengaja atau tersalah, jahil atau memperdaya.[5]
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sesuatu yang bukan berasal dari Nabi, baik yang berupa ucapan, tindakan maupun ketetapan tidak dapat dinamakan Hadist. Andaikata ada yang menyebutnya sebagai hadist, maka sudah tentu adalah hadist maudlu atau palsu, yaitu: hadist yang dibuat-buat atau diciptakan seseorang secara dusta atas nama Nabi SAW, baik dengan sengaja atau tidak sengaja. Tidak sengaja itu bisa dengan sebab kebodohan, kekeliruan ataupun kesalahannya. Meskipun ia tidak secara langsung  berdusta, tetapi tetap saja riwayatnya dinamakan maudlu’ (palsu)
b. Sejarah timbulnya pemalsuan hadits[6]
Pada zaman Nabi, boleh dikatakan tidak ada pemalsuan hadits, sebab nabi bersikap tegas sekali dalam menegakkan kebenaran dan keadilan dalam memberantas segala macam kebohongan dan kepalsuan. Pada masa pemerintahan Abu Bakar (tahun 632 M-634 M) Umar (tahun 634 M-644 M) beliau sangat teliti dan hati hati terhadap penerimaan dan penyampaian ajaran ajaran Nabi. Beliau juga menyerukan kepada seluruh umat islam agar hati-hati dan waspada didalam menerima dan menyampaikan Hadits hadits Nabi. Kholifah tidak segan segan mengambil tindakan terhadap siapapun yang tidak mengindahkan seruan dan perintah dari kedua kholifah tersebut. Tindakan tesebut terpaksa dilakukan demi menjaga kemurnian ajaran ajaran nabi dan menghindari kemungkinan penyalahgunaan oknum oknum yang tidak bertanggung jawab terhadap hadits hadits nabi untuk tujuan politik. Karena itu pada masa ini dapat dikatakan belum ada pemalsuan hadits. Pada masa kholifah utsman bin affan (tahun 644 M-656 M) dari pengikut pengikut Abdullah bin saba’ (seorang munafik yang ulung) telah mulai berani melancarkan fitnah dan provokasi dikalangan umat islam dengan tujuan memecah belah umat islam dan untuk menimbulkan kebencian umat islam kepada kholifah yang sah, sehingga menyebabkan terbunuhnya kholifah utsman bin affan (tahun 656 M) mereka telah berani membuat kebohongan dalam ajaran ajaran Nabi (Pemalsuan Hadits). Pada masa pemerintahan Ali (656 M-661 M) terjadi perang saudara antara Ali dan Mu’awiyah.
c. Pergolakan politik dan pemalsuan hadits[7]
Pergolakan politik ini terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang jamal dan perang siffin, ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin abi Tholib. Akan tetapi, akibatnya cukup panjang dan berlarut larut, dengan terpecahnya umat islam kedalam beberapa kelompok (khowarij, syiah, muawiyah dan golongan mayoritas yang tidak termasuk dalam ketiga kelompok tersebut). Secara langsung atau tidak langsung, pergolakan politik tersebut memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadits berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif ialah munculnya hadits hadits palsu (maudu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan lawannya.
Adapun pengaruh yang berakibat positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadits sebagai upaya penyelamatan dari permusnahan dan pemalsuan sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.
d. Sebab sebab munculnya hadits hadits palsu
Sebab sebab munculnya hadits hadits palsu ialah karena terpecahnya umat islam menjadi tiga golongan akibat terjadinya fitnah diakhir masa Utsman R.A maka terpecahlah umat islam menjadi tiga golongan yaitu: syiah, khowarij, dan jumhur.
Dengan terpecahnya umat islam tersebut, menyebabkab masing masing mereka didorong oleh keperluan dan kepentingan golongan untuk mendatangkan keterangan keterangan yang diperlukan oleh golongan, maka bertindaklah mereka membuat hadits hadits palsu dan menyebarkannya ke masyarakat.
Mulai saat itu terdapatlah diantaranya riwayat riwayat yang shohih dan riwayat riwayat palsu, yang kian hari bertambah banyak dan beraneka ragam.
Mula mula mereka memalsukan hadits hadits mengenahi pribadi pribadi orang yang mereka agungkan. Orang orang yang pertama membuat hadits palsu ialah golongan syiah, Tempat mula berkembangnya hadist palsu adalah Irak tempat kaum syiah berpusat pada waktu itu. Selain faktor konflik politik, dalam perkembangan selanjutnya ada beberapa hal yang turut mendorong semakin meluasnya hadist palsu. Diantara beberapa faktor tersebut adalah:
1.   Kafir Zindiq, yaitu mereka yang berpura-pura Islam tetapi sesungguhnya mereka adalah kafir dan munafik yang sebenarnya.
2.   Satu kaum yang memalsukan Hadits karena mengikuti hawa nafsu dan mendekatkan diri kepada penguasa
3.   Qashas (Tukang-tukang cerita).
4.   Satu kaum yang memalsukan hadits-hadits untuk tujuan yang menguntungkan dirinya.
5.   Fanatisme golongan, jenis, negeri dan lainnya
6.   Semakin terpecah-pecahnya umat Islam dalam golongan-golongan yang beraneka ragam.
Seperti dikatakan ibnu abil hadid (ulama’syiah) dalam kitab nahyul balaghoh, katanya: “ketahuilah bahwa asal asalnya timbul hadits yang menerangkan keutamaan pribadi pribadi adalah golongan syiah sendiri”.
Perbuatan mereka ini ditandingi oleh golongan sunnah (jumhur) yang awam. Mereka juga membuat hadits palsu untuk mengimbangi hadits hadits palsu yang dibuat golongan syiah itu. Demikina pula golongan khowarij, juga membuat hadits hadits palsu dalam rangka mempertahankan golongannya.
Dengan demikian meluaslah riwayat riwayat hadits palsu dikalangan masyarakat islam saat itu. Keadaan yang demikian itu menggugah para ulama untuk menyeleksi dan menyaring mana diantara hadits yang shohih dan mana diantara hadits yang palsu. Sehingga lahirlah ilmu mustholah hadits.
e.Langkah langkah penanggulangan hadits palsu[8]
Melihat adanya pemalsuan hadits yang berkembang dalam masyarakat, bergeraklah para ulama untuk membela syari’at dam memelihara agama islam. Mereka berusaha menyaring dan menapis hadits hadits yang diriwayatkan itu. Hadits hadits yang shohih mereka ambil dan hadits hadits yang diduga palsu atau dho’if mereka tinggalkan. Mulai saat itu tumbuhlah ilmu yang dinamakan ilmu jarh wa ta’dil. Para ulama menerangkan kejelekan-kejelekan pemalsuan hadits dan menyuruh manusia berhati hati, serta menerangkan hadits hadits palsu dan maksud maksud atau motif-motif dibuatnya hadit palsu.
Sebenarnya pembicaraan mengenahi jarh wa ta’dil telah tumbuh sejak zaman sahabat kecil. Diantaranya sahabat sahabat yang memperhatikan rawi ialah ibnu abbas, ubadah ibnu samit dan anas. Diantara tabi’in yang memperhatikan keadaan perawi perawi hadits ialah as sya’bi, ibnu sirin, hasan bisri dan sa’id bin musayyab.
Demikian usaha usaha atau langkah langkah para ulama dalam menanggulangi pemalsuan hadits, pada periode tabi’in.
f.Hukum Hadits Palsu
Ulama sepakat bahwa hadist palsu tidak dapat dijadikan dasar rujukan dalam menetapkan hukum syari’at. Sangat dapat dimaklumi para Ulama sepakat untuk melarang penyebaran dan penggunaan hadist palsu. Karena Rasulullah sendiri juga mengecam orang-orang yang menyebarkan dan mempergunakan hadist palsu.
Rasulullah SAW bersabda:                   من حدث  عنى بحديثى يرى انه كذب, فهو احد الكاذبين
Artinya: Barangsiapa yang menceritakan dariku satu hadist yang ia ketahui sesungguhnya hadits tersebut dusta/palsu, maka ia termasuk salah seorang pendusta
Dalam hadist lain, Rasulullah bersabda:        من كذب علي متعمدا, فليتبواء مقعده من النار
Artinya: Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia siapkan tempat duduknya dari api neraka”
Terlebih lagi dampak daripada hadist palsu yang sangat berbahaya bagi umat Islam. Diantara dampak  hadist palsu ialah sangat potensial dalam mengekalkan perpecahan diantara umat Islam, semakin tersebarnya bid’ah, merusakkan akidah dan lain sebagainya.
g.Munculnya Madzhab Ahlu Hadits dan Ahlur ro’yi[9]
Para mujtahid pada masa tabiin ini terbagi menjadi dua madzhab, yaitu madzhab ahlul hadits dan madzhab ahlur ro’yi. Kedua madzhab ini timbul dari satu tubuh, yaitu dari golongan jumhur sendiri, yang diantaranya disebabkan berlainan situasi yang dihadapi diantara mereka. Madzhab ahlul hadits ini tumbuh di hijaz yang situasinya masih sederhana, sehingga tidak memerlukan pikiran dalam menghadapi masalah yang timbul. Sedangkan madzhab ahlur ro’yi timbul terutama di irak, yang situasinya nash, dalam menghadapi berbagai masalah. Untuk lebih jelasnya dua madzhab tersebut kami paparkan di bawah ini.
1. Madzhab Ahlu Hadits
Madzhab ahlul hadits ialah golongan yang menfatwakan sesuatu hukum menurut nash hadits yang telah mereka peroleh saja. Mereka tidak mau menfatwakan berdasarkan ro’yi (qiyas / membandingkan sesuatu hukum kepada yang lain yang sama illatnya)
Ulama’ ahlul hadits dalam menanggapi sesuatu masalah apabila tidak memperoleh hukum dari Al qur’an dan hadits, lalu memperhatikan pendapat pendapat sahabat: kalau tidak memperoleh pendapat sahabat sahabat barulah mereka berijtihad, bahkan mereka sering berdiam diri. Mereka mendahulukan hadist walaupun hadits itu tidak masyhur, diatas kedudukan qiyas (ro’yu)
Demikian pendirian ulama hijaz.
2. Madzhab Ahlur ro’yi
Madzhab ahlur ro’yi ialah golongan yang berpendapat bahwa hukum hukum syari’at dapat difahamkan maknanya dan mempunyai beberapa dasar yang harus menjadi pegangan. Golongan ini dapat menetapkan hukum berdasarkan ro’yu (qiyas) apabila dalam suatu masalah yang dihadapi tidak didapati nash nash qur’an atau hadits. Mereka menfatwakan hukum menurut ijtihadnya dikalatidak terdapat baginya dalil yang terang dan tegas. Juga mereka menyelidiki illat hukum dan makna makna yang maksudkan dari padanya. Golongan ini tidak keberatan menolak hadits yang disampaikan orang kepadanya, bila menurut mereka hadits itu berlawanan dengan dasar dasar syari’at, apabila berlawanan dengan hadits hadits lain.
Mula mula madzhab ahlur ro’yi ini lahir di irak. Oleh karena itu ulama ulama irak berkomentar: ulama hijaz dinamai ahlul hadits sedangkan ulama irak dinamai ahlu ro’yi.
D.SIMPULAN
Sebagaimana kita ketahui bahwa fungsi hadits Nabi sangat urgen bagi umat Islam Kedudukan hadits yang merupakan sumber otentik hukum Islam dibawah al-Qur’an. Oleh Karena itu, perlu sekali untuk sangat hati-hati dalam mengambil atau menggunakannya. keaslian suatu hadits harus dijaga. dengan cara seselektif mungkin terhadap riwayat yang sampai kepada kita. Meriwayatkan hadits atau menyandarkan sesuatu kepada Nabi SAW, bukanlah perkara yang ringan, tetapi merupakan sesuatu yang sangat berat. Kita harus bisa memilah milah dan melihat pada dampak dan akibat yang ditimbulkannya, baik bagi umat Islam secara umum maupun dalam eksistensi syari’at khususnya.
Wallahu a’lam bissowab.

[1] Ijaj al-Khatib, Usul al-Hadith ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, hlm. 26-27.
[2] Al-Syaikh Jamaluddin al-Qasimi, Qawaid al-Tahdith, hlm. 61.
[3] Abdul Fatah Abu Ghuddah, Lamhat Min Tarikh al-Sunnah wa ‘Ulum al-Hadith, h. 27.
[4] Al-Duktur Ibrahim Anis, et. al, al-Mu’jam al-Wasit, hlm. 1039.
[5] Abdul Fatah Abu Ghudah, op. cit,hlm. 41.
[6] Prof,Drs. H. Masjufuk, 1993. Pengantar Ilmu Hadits. Surabaya.PT. Bina Ilmu Hlm.116-117
[7] Drs. H. Mudatsir.1999.Ilmu Hadits.Bandung. CV.Pustaka setia. Hlm.103
[8] Drs.Abdul Aziz,1990.Tarikh Tasyri’.semarang.wicaksana. hlm.68
[9] Op.cit.hlm70