Rabu, 28 September 2011

-( Teori Kebenaran )-


Teori Korespondensi
Teori Koherensi
Teori Pragmatis

Pengantar
Apakah kebenaran itu, suatu pertanyaan yang sangat menukiki bila kita sedang mendebatkan masalah. Apakah itu masalah ekonomi hingga politik yang rumit.
Kebenaran acapkali diperdebatkan, namun makna sebenarnya acapkali ditinggal.
“Jika anak kecil digigit anjing maka yang benar anak tersebut harus berganti menggigit anjing”, apakah ini juga suatu kebenaran ??

TEORI KORESPONDENSI TENTANG KEBENARAN
Teori yang pertama ialah teori korespondensi [Correspondence Theory of Truth], yang kadang kala disebut The accordance Theory of Truth. Menurut teori ini dinyatakan bahwa, kebenaran atau keadaan benar itu berupa kesesuaian [correspondence] antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh terjadi merupakan kenyataan atau faktanya.
a proposition (or meaning) is true if there is a fact to which it corresponds, if it expresses what is the case
[Suatu proposisi atau pengertian adalah benar jika terdapat suatu fakta yang selaras dengan kenyataannya, atau jika ia menyatakan apa adanya].
"Truth is that which conforms to fact; which agrees with reality; which corresponds to the actual situation."
[Kebenaran adalah yang bersesuaian dengan fakta, yang beralasan dengan realitas, yang serasi (corresponds) dengan situasi actual].
Truth is that which to fact or agrees with actual situation. Truth is the agreement between the statement of fact and actual fact, or between the judgment and the environmental situation of which the judgment claims to be an interpretation."
[Kebenaran ialah suatu yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi aktual. Kebenaran ialah persesuaian (agreement) antara pernyataan (statement) mengenai fakta dengan fakta aktual; atau antara putusan (Judgment) dengan situasi seputar (Enviromental situation) yang diberinya intepretasi.
if a judgment corresponds with the facts, it is the true; if not, it is false."
[Jika suatu putusan sesuai dengan fakta, maka dapat dikatakan benar ; Jika tidak maka dapat dikatakan salah].
Teori korespondensi ini sering dianut oleh realisme/empirisme.
K. Rogers, adalah seorang orang penganut realisme kritis Amerika, yang berpendapat bahwa : keadaan benar ini terletak dalam kesesuaian antara "esensi atau arti yang kita berikan" dengan "esensi yang terdapat didalam obyeknya".
"Epistemological realism.The view that there is an independent reality apart from minds, and we do not change it when we come to experience or to know it; sometimes called objectivism"
[Realisme epistemologis berpandangan, bahwa terdapat realitas yang independence (tidak tergantung), yang terlepas dari pemikiran; dan kita tidak dapat mengubahnya bila kita mengalaminya atau memahami. Itulah sebabnya realisme epitemologis kadangkala disebut obyektivisme]. Dengan perkataan lain: realisme epistemologis atau obyektivisme
berpegang kepada kemandirian sebuah kenyataan tidak tergantung pada yang di luarnya.
Dalam perpustakaan Marxis dapat dibaca :
If our sensations, perception, notions, concepts and theories corresponds to objective reality, if reflect if faithfully, we say that they are true, while true statement, judgment or theories are called the truth.
[Jika sensasi kita, persepsi kita, pemahaman kita, konsep dan teori kita bersesuaian dengan realitas obyektif, dan jika itu semua mencerminkannya dengan cermat, maka kita katakan itu semua benar: pernyataan, putusan dan teori yang benar kita sebut kebenaran].
"Dialectical materialism understands truth as that knowledge of an objective/ with correctly reflect this objectives, i.e. correspond to it"
[Materialisme dialektika memahamkan kebenaran sebagai pengetahuan tentang sesuatu obyek, yang mencerminkan obyek tersebut secara tepat, dengan perkataan lain, bersesuaian dengan obyek yang dimaksud]
"For example, the scientific propositions that "Bodies consists of atoms", that the " Earth prior to man", that "the people are makers of history", etc. are true"
[misalnya pengertian ilmiah bahwa "tubuh terdiri dari atom-atom"' bahwa "Bumi lebih dahulu ada dari pada manusia", bahwa "rakyat adalah pembuat sejarah", dan lain sebagainya, adalah benar].
In contrast to idealism, dialectical materialism maintains that truth is objective. Since truth reflects the objectively existing word, its content does not depend on man’s consciousness.
Objective truth, LENIN Wrote, is the content of our knowledge, which neither on mans, nor on mankind. The content of truth is fully determined by the objective process it reflects
Berlawanan dengan idealisme, maka meterialisme dialektika mempertahankan bahwa kebenaran adalah obeyektif. Selama kebenaran mencerminkan dunia wujud secara obyektif, maka wujudnya itu tergantung pada kesadaran manusia. Kebenaran obyektif, tulis Lenin, adalah kandungan pengetahuan kita yang tidak tergantung, baik kepada manusia maupun kepada kemanusiaan. Kandungan kebenaran sepenuhnya ditentukan oleh proses abyektif yang tercerminkannya.
LENIN Menulis:
"From live contemplation to abstract thinking and from that to practice, such is the dialectical process of cognizing the truth, of cognizing objective reality.
[Dari renungan yang hidup menuju ke pemikiran yang abstrak, dan dari situ menuju praktek, demikianlah proses dialektis tentang pengenalan atas kebenaran, atas realitas obyektif].
Selajunya kaum marxist mengenal dua macam kebenaran, yaitu (a) kebenaran mutlak dan (b) kebenaran relatif]
"Absolute truth is objective truth in its entirety, an absolutely exact reflection of reality"
[Kebenaran mutlak ialah kebenaran yang selengkapnya obyektif, yaitu suatu pencerminan dari realitas secara pasti mutlak]
" Relative truth is incomplete correspondence of knowledge to reality. Lenin called this truth the relatively true reflection of an object which is independent of man"
[Kebenaran relatif adalah pengetahuan mengenai relaitas yang kesesuaianya tidak lengkap, tidak sempurna. Menurut Lenin, kebenaran relatif adalah pencerminan dari obyek yang relatif benar, yang terbatas dari manusia].
"Every truth is objective truth”
[setiap kebenaran adalah kebenaran yang obyektif].
"Relative truth is imperfect, incomplete truth.
[kebenaran relatif adalah kebenaran yang tidak sempurna, tidak lengkap]

SIMPULAN
Mengenai Teori Korespondensi tentang kebenaran dapat disimpulkan sebagai berikut :
Kita mengenal dua hal, yaitu : pertama pernyataan dan kedua keyataan. Menurut teori ini kebenartan iaah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu sendiri.
Sebagai contoh dapat dikemukakan : " Surabaya adalah Ibu Kota Provinsi Jawa Timur sekarang" ini adalah sebuah pernyataan; dan apabila kenyataannya memang Surabaya adalah Ibu Kota Provinsi Jawa Timur ", pernyataan itu benar, maka pernyataan itu adalah suatu kebenaran.
Rumusan teori korespondensi tentang kebenaran itu bermula dari ARIESTOTELES, dan disebut teori penggambaran yang definisinya berbunyi sebagai berikut :
“VERITAS EST ADAEQUATIO INTELCTUS ET RHEI”
[kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan].
 
TEORI KONSISTENSI TENTANG KEBENARAN
Teori yang kedua adalah Teori Konsistensi.
The Consistence Theory Of Truth, yang sering disebut dengan The coherence Theory Of Truth.
" According to this theory truth is not constituted by the relation between a judgment and something else, a fact or really, but by relations between judgment themselves "
[Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgment) dengan sesuatu yang lalu, yakni fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri].
Dengan demikian, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan akui benarnya terlebih dahulu.
Jadi suatu proposisi itu cenderung untuk benar jika proposisi itu coherent [saling berhubungan] dengan proposisi yang benar, atau jika arti yang terkandung oleh proposisi tersebut koheren dengan pengalaman kita.
" A belief is true not because it agrees with fact but because it agrees, that is to say, harmonizes, with the body knowledge that we presses”
[Suatu kepercayaan adalah benar, bukan karena bersesuaian dengan fakta, melainkan bersesuaian/selaras dengan pengetahuan yang kita miliki]
"It the maintained that when we accept new belief as truths it is on the basis of the manner in witch they cohere with knowledge we already posses”
[Jika kita menerima kepercayan-kepercayaan baru sebagai kebenaran-kebenaran, maka hal itu semata-mata atas dasar kepercayaan itu saling berhubungan [cohere] dengan pengetahuan yang kita miliki]
A judgment is true it if consistent with other judgment that are accepted or know to be true. True judgment is logically coherent with other relevance judgment
[suatu putusan adalah benar apabila putusan itu konsisten dengan putusan-putusan yang terlebih dahulu kita terima, dan kita ketahui kebenarannya. Putusan yang benar adalah suatu putusan yang saling berhubungan secara logis dengan putusan-putusan lainnya yang relevance]
Jadi menurut teori ini , putusan yangh satu dengan puitusan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama lainnya.
"The truth is systematic coherence
[Kebenaran adalah saling hubungan yang sistematik]
" Truth is consistency”[kebenaran adalah konsistensi, selaras, kecocokan]
Selanjutnya teori konsistensi/koherensi ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
Kebenaran adalah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang lebih dahulu kita akui/ terima/ ketahui kebenarannya.
Kedua:
Teori ini dapat juga dinamakan teori justifikasi tentang kebenaran, karena menurut teori ini suatu putusan dianggap benar apabila mendapat justifikasi putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah dikatahu kebenarannya.
Misalnya:
Bungkarno, adalah ayahanda Megawati Sukarno Puteri, adalah pernyataan yang kita ketahui, kita terima, dan kita anggap benar.
Jika terdapat penyataan yang koheren dengan pernyataan tersebut diatas, maka pernyataan ini dapat dinyatakan Benar. Kerena koheren dengan pernyataan yang dahulu:
Misalnya.
- Bungkarno memiliki anak bernama Megawati Sukarno Putri
- Anak-anak Bungkarno ada yang bernama Megawati Sukarno Putri
- Megawati Sukarno Putri adalah keturunan Bungkarno
- dll

TEORI PRAGMATISMETeori ketiga adalah teori pragmatisme tentang kebenaran, the pragmatic [pramatist] theory of truth. Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dapat dilaksanakan, dilakukan, tindakan atau perbuatan.
Falsafah ini dikembangan oleh seortang orang bernama William James di Amerika Serikat.
Menurut filsafat ini dinyatakan, bahwa sesuatu ucapan, hukum, atau sebuah teori semata-mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat.
Suatu kebenaran atau suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan, jiak membawa akibat yang memuaskan, dan jika berlaku dalam praktik, serta memiliki niali praktis, maka dapat dinyatakan benar dan memiliki nilai kebenaran.
Kebenaran terbukti oleh kegunannya, dan akibat-akibat praktisnya. Sehingga kebenaran dinyatakan sebagai segala sesuatu yang berlaku.
Menurut William James “ ide-ide yang benar ialah ide-ide yang dapat kita serasikan, jika kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa.
Menurut penganut praktis, sebuah kebenaran dimaknakan jika memiliki nilai kegunaan [utility] dapat dikerjakan [workability], akibat atau pengaruhnya yang memuaskan [satisfactory consequence].
Dinyatakan sebuah kebenaran itu jika memilki “hasil yang memuaskan “[satisfactory result], bila :
Sesuatu yang benar jika memuaskan keinginan dan tujuan manusia
Sesuatu yang benar jika dapat diuji benar dengan eksperimen
Sesuatu yang benar jika mendorong atau membantu perjuangan biologis untuk tetap ada.

RUJUKAN YANG DIGUNAKAN:
  1. Alex Lanur OFM [1993] Hakikat Pengertahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta--91:99
  2. Alfon Taryadi [1989] Epistemologi Pemecahan Masalah {menurut Karl. R. Popper] : Penerbit PT Gramedia Jakarta--Bab III 67:89
  3. Amsal Bakhtiarr [2004] Filsafat Ilmu : PT Raja Grafindo Persada Jakarta--Bab III 85 : 1224
  4. Endang Safiudin [1987] Ilmu, Filsafat dan Agama : PT Bina Ilmu--Bab III 85 : 1224
  5. Jujun Suriamantri [2004] Ilmu Dalam Perpektif [Sebuah kumpulan karangan tentang hakikat ilmu] : Yayasan Obor Indonesia Jakarta---Bab IV 61:70
  6. --------------------- [2004] Filsafat Ilmu [Sebuah Pengantar Populer] : Yayasan Sinar Harapan Jakarta---ab V 165:211,
  7. ---------------------[2004] Ilmu Dalam Perpektif Moral, Sosial dan Politik Penerbit Gramedia JakartaBab 10 74:87 Bab XI 81:87
  8. Mohammad Muslih [[2004] Filsafat Ilmu [Kajian atas asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengethuan] : Penerbit Belukar Bab V 89:119
  9. Mohammad Zaenudin[2003] Menggoyang Pikiran [ Menuju Alam Makna] : Penerbit Pustaka Remaja ---Bab VII 62 : 79

-_- Mu'tazilah -_-

MU'TAZILAH
 
1. Definisi
Secara Bahasa :
Kata Mu’tazilah berasal dari kata ‘azala–ya’taziluhu ‘azlan wa’azalahu fa’tazala wa-in’azala wa-ta’azzala yang artinya menyingkir atau memisahkan diri.[1]
Secara Istilah :
Mu’tazilah berarti sebuah sekte sempalan yang mempunyai lima pokok keyakinan (al ushul al-khamsah), meyakini dirinya merupakan kelompok moderat di antara dua kelompok ekstrim yaitu Murji’ah yang menganggap pelaku dosa besar tetap sempurna imannya dan Khawarij yang menganggap pelaku dosa besar telah kafir.[2]
2. Awal Kelahiran dan Penamaan Mu’tazilah
Di kalangan para peniliti terjadi perbedaan pendapat yang cukup mencolok mengenai asal usul penamaan Mu’tazilah. Penyebabnya adalah penamaan tersebut erat kaitannya dengan berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di dunia Islam pada masa kelahiran gerakan ini. Pendapat-pendapat tersebut di antaranya:
(1). Sebagian pihak menyatakan penamaan Mu’tazilah berasal dari lawan mereka yaitu Ahlus Sunah wal Jama’ah.
(2). Sebagian pihak lain menyatakan nama Mu’tazilah berasal dari diri mereka sendiri.
(3). Sebagian pihak menyatakan Mu’tazilah lahir dengan adanya i’tizal siyasi (pengasingan diri dari dunia politik) pada masa awal fitnah (masa kekhilafahan Ali). Sebagian peneliti lain menyatakan Mu’tazilah lahir karena sebab-sebab lain.[3]
Mayoritas peneliti yang menyatakan penamaan Mu’tazilah berasal dari Ahlus Sunah wal Jama’ah mengaitkan penamaan tersebut dengan perdebatan mengenai hukum pelaku dosa besar antara Imam Hasan Al Bashri dan Washil bin Atha’ (80 H-131 H) yang hidup pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik Al Umawy.
Imam Hasan Al Bashri mempunyai majelis pengajian di masjid Bashrah. Pada suatu hari seorang laki-laki masuk ke dalam pengajian imam Hasan Al Bashri dan bertanya,” Wahai imam, di zaman kita ini telah timbul kelompok yang mengkafirkan para pelaku dosa besar yaitu kalangan Wa’idiyah Khawarij dan juga timbul kelompok lain yang mengatakan maksiat tidak membahayakan iman sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat sama sekali bila bersama kekafiran yaitu kelompok Murji’ah. Bagaimana sikap kita?” Imam Hasan Al Bashri terdiam memikirkan jawabannya, saat itulah murid beliau yang bernama Washil menyela,” Saya tidak mengatakan pelaku dosa besar itu mukmin secara mutlak dan tidak pula kafir secara mutlak, namun dia berada di satu posisi di antara dua posisi, tidak mukmin dan tidak pula kafir.” Jawaban ini tidak sesuai dengan ayat-ayat Al Qur’an dan As Sunah yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin namun imannya berkurang. Tentu saja Imam Hasan Al Bashri membantah jawaban Washil yang tak berlandaskan dalil tadi. Washil kemudian pergi ke salah satu sudut masjid, maka imam Hasan Al Bahsri berkata,” Ia telah memisahkan diri dari kita (I’tazalnaa).” Sejak saat itu ia dan orang-orang yang mengikutinya di sebut Mu’tazilah, artinya kelompok yang memisahkan diri (menyempal).[4]
Mayoritas peneliti menyatakan pendapat mereka yang menyelisihi Ahlus Sunah wal Jama’ah dalam masalah hukum pelaku dosa besar inilah yang menyebabkan mereka dikenal sebagai sekte Mu’tazilah. Al Baghdadi menambahkan satu sebab lagi, yaitu pendapat mereka yang menyelisihi Ahlus Sunah wal Jama’ah dalam masalah taqdir.[5]
Dalam perkembangan selanjutnya, sekte Mu’tazilah mempunyai banyak nama, baik penamaan dari mereka sendiri maupun dari pihak luar. Nama-nama tersebut adalah:
 Mu’tazilah, berawal dari penamaan imam Hasan Al Bashri terhadap Washil bin Atha’ seperti yang telah disebutkan di awal tadi.
 Jahmiyah, dinamakan demikian karena Jahmiyah lebih dahulu muncul, juga karena Mu’tazilah sependapat dengan Jahmiyah dalam beberapa hal dan karena di awal kemunculannya Mu’tazilah menghidupkan prinsip-prinsip Jahmiyah.[6]
 Qadariyah (kelompok yang menolak iman kepada taqdir), dinamakan demikian karena mereka juga mengingkari taqdir dan berpendapat manusialah yang menciptakan perbuatannya sebagaimana pendapat Qadariyah .
 Tsanawiyah dan Qadariyah, dinamakan demikian karena Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan baik itu dari Allah dan perbuatan jelek itu dari manusia. Ini menyerupai Tsanawiyah dan Qadariyah yang meyakini adanya dua tuhan, tuhan kebaikan dan tuhan kejahatan.
 Wa’idiyah, dinamakan demikian karena mereka berpendapat bahwa Allah harus menyiksa pelaku dosa yang belum bertaubat sebelum matinya.
 Mu’athilah (kelompok yang meniadakan), dinamakan demikian karena mereka meniadakan sifat-sifat Allah.
 Ahlul ‘Adl Wat Tauhid Wal ‘Adalah (kelompok yang bertauhid dan menegakkan keadilan). Ini nama yang mereka akui berdasar aqidah lima pokok mereka.
 Ahlul Haq (kelompok yang berada di atas kebenaran). Ini nama yang mereka akui berdasar aqidah lima pokok mereka.
 Firqah Najiyah (kelompok yang selamat). Ini juga nama yang mereka yang mereka sematkan untuk mereka sendiri.
 Al Munazihun Lillah (orang-orang yang mensucikan Allah). Ini juga nama yang mereka sematkan untuk mereka sendiri.[7]
 Al Haraqiyah: Karena mereka berpendapat bahwa orang kafir tidak disiksa dalam api neraka kecuali sekali saja.
 Al Mufaniyah: Karena mereka berpendapat bahwa neraka dan surga itu tidak kekal.
 Al Lafdziyah: Karena mereka berpendapat bahwa lafal-lafal Al Qur’an itu adalah makhluk.
 Al Qabriyah: Karena mereka berpendapat bahwa adzab kubur itu tidak ada.[8]

3. Perkembangan Mu’tazilah
Sekte Mu’tazilah lahir pada masa pemerintahan Umawiyah, namun berkembang menjadi sebuah gerakan pemikiran yang menyibukkan dunia Islam dalam rentang waktu yang panjang pada masa pemerintahan Abbasiyah.
Mu’tazilah lahir pertama kali di kota Bashrah, namun berkembang dengan cepat di Baghdad. Sekte sesat ini dianut oleh khalifah Yazid bin Al-Walid dan Marwan bin Muhammad dari pemerintahan Umawiyah. Sekte ini semakin merajalela pada masa pemerintahan Abbasiyah. Mu’tazilah mempunyai dua madrasah besar yang menjadi pusat pengkaderan dan penyebaran ide-idenya, yaitu Bashrah dengan pimpinannya Washil dan Baghdad dengan pimpinannya Bisyr bin Mu’tamar. Meski sama-sama Mu’tazilah, di antara kedua madrasah ini terjadi perbedaan pendapat dan perdebatan yang tajam.[9]
Perkembangan Mu’tazilah sepanjang sejarah bisa digambarkan secara ringkas sebagai berikut:
 Sebelum Mu’tazilah lahir dalam bentuk sebuah sekte, di masyarakat saat itu sudah berkembang perdebatan yang sengit dalam hal pemikiran dan keagamaan. yaitu:
1. Pendapat yang mengatakan manusia itu merdeka secara mutlak (penuh), manusia menciptakan seluruh perbuatannya tanpa ada campur tangan dari Allah sedikitpun. Ini merupakan pendapat Ma’bad Al Juhani dan pendapat ini menjadi dasar sekte sesat Qadariyah. Ia bersama Abdurrahman bin Asy’ats memberontak melawan Abdul Malik bin Marwan. Ketika pemberontakan gagal, Ma’bad dibunuh oleh Hajaj bin Yusuf Ats Tsaqafi, yaitu pada tahun 80 H.
2. Pendapat ini diulang lagi oleh Ghilan Ad Dimasqi pada masa Umar bin Abdul Aziz. Saat itu setelah dipanggil oleh khalifah ia bertaubat. Namun setelah Umar bin Abdul Aziz meninggal ia mengulangi lagi kesesatannya. Maka khalifah Hisyam bin Abdul Malik menghukum mati Ghilan.
3. Pendapat yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk dan meniadakan sifat-sifat Allah. Ini pendapat Jahm bin Shafwan, pendapat sesatnya ini melatar belakangi lahirnya sekte sesat Jahmiyah. Ia dibunuh oleh gubernur Salim bin Ahwas di daerah Marwa pada tahun 128 H .
4. Pendapat yang meniadakan sifat Allah ini kembali dihidupkan oleh Ja’ad bin Dirham. Karena kesesatannya membahayakan kemurnian Islam, ia dibunuh oleh gubernur Kufah, Khalid bin Abdullah Al Qasari.
 Kemudian Mu’tazilah tumbuh sebagai sebuah sekte sesat dengan keluarnya Washil bin Atha’ dari pengajian imam Hasan Al Bashri. Ia hidup pada masa Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul Malik.
 Pada masa pemerintahan Al Makmun di masa khilafah Abbasiyah, sekte Mu’tazilah menjadi sekte yang memegang peranan penting dalam pemerintahan karena khalifah menganut sekte ini, Pada masa itu para pemimpin Mu’tazilah seperti Biysr Al Muraisy, Tsumamah bin Asyras dan Ibnu Abi Du’at menjadi penasehat-penasehat Al Makmun. Pada masa inilah timbul fitnah yang terkenal dengan nama fitnah khalqul Qur’an di mana para ulama Ahlus Sunnah yang menolak mengakui Al Qur’an itu makhluk dipenjarakan dan disiksa, contohnya Imam Ahmad. Hal ini berlangsung sampai pada pemerintahan Al Mu’tashim dan Al Watsiq.
 Pada masa pemerintahan Al Mutawakil pada tahun 232 H, keadaan kembali normal dengan sikap khalifah yang menganut aqidah Ahlus Sunnah dan dibebaskannya para ulama setelah selama 14 tahun berjuang keras melawan Mu’tazilah yang memaksakan aqidahnya melalui struktur negara.
 Pada masa pemerintahan bani Buwaih di Persia, tahun 334 H, terjalin hubungan yang erat antara Mu’tazilah dan pemerintah yang berkuasa yang menganut ideologi Rafidhah. Pemimpin Mu’tazilah, Abdul Jabbar, diangkat menjadi qadhi di daerah Ra’i sejak tahun 360 H, atas perintah Shahib bin ‘Ibad menteri Muayyid Daulah. Shahib ini menurut imam Adz Dzahabi adalah seorang Syi’i Mu’tazili Mubtadi’. Menurut imam Al Mu’tazi, di bawah perlindungan daulah Buwaihiyah inilah Mu’tazilah bisa berkembang di Iraq, Khurasan dan negeri-negeri di belakang sungai / bilaadu ma wara-a nahr (Uzbekistan saat ini).[10]
4. Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
Tokoh-tokoh Mu’tazilah yang berjasa besar mengembangkan dan membidani kelahiran serta kelangsungan hidup sekte sesat ini banyak sekali, antara lain yang paling terkenal adalah:
1) Washil bin Atha’, lahir pada tahun 80 H. di Madinah, belajar pada imam Hasan Al Bashri di Bashrah, kemudian memisahkan diri dalam kasus hukum bagi pelaku dosa besar. Meninggal pada tahun 131 H. Ia melakukan dua bid’ah (dua ajaran sesat dan menyimpang), yaitu:
• Pelaku dosa besar berada di manzilah di antara manzilatain.
• Mencela keadilan sahabat dengan mengatakan salah satu di antara dua pihak sahabat yang terlibat perang Shifin adalah fasiq tanpa menunjukkan pihak yang mana. Akhirnya ia dan pengikutnya tidak menerima kesaksian kedua belah pihak.[11]
2) Amru bin Ubaid Abu Utsman Al Bashri, wafat tahun 144 H. Ia lahir di Balkh, hidup di Bashrah dan berguru pada Washil bin Atha’. Bid’ah yang paling nampak dilakukannya adalah menolak semua hadits yang tidak sesuai dengan akal.
3) Abu Huzail Al ‘Allaf, wafat tahun 235 H. Ia seorang pemikir dan ahli kalam Mu’tazilah. Lahir dan belajar di Bashrah kemudian pindah ke Baghdad. Di antara pemikiran-pemikirannya yang menyimpang adalah ;
• Kemampuan Allah itu fana (rusak tidak kekal). Ketika sudah fana maka Allah tidak mempunyai kemampuan sama sekali.
• Allah itu ‘Alim (Maha mengetahui) dan ilmu Allah adalah Dzat-Nya . Allah itu qadir (Maha berkuasa ) dan qudrah Allah adalah Dzat-Nya. Demikian seterusnya, seluruh sifat Allah ia nyatakan Dzat-Nya.
• Seorang mukallaf wajib mengetahui Allah sebelum datangnya wahyu. Barangsiapa tidak bersungguh-sungguh dalam hal ini ia akan diadzab. Artinya, akal semata sudah cukup untuk menjadikan tegaknya hujjah, tanpa memerlukan wahyu.
4) Ibrahim bin Sayar al Nadzam (wafat 231 H). Ia murid Abu Hudzail Al Allaf. Ia seorang ahli kalam Mu’tazilah. Tumbuh di Bashrah dan tinggal di Baghdad sampai meninggal. Ia seorang ahli sya’ir dan ilmu mantiq. Di antara pendapatnya adalah:
• Allah tidak mempunyai sifat qudrah (mampu) atas perbuatan jahat dan maksiat. Artinya seluruh perbuatan jahat itu berasal dari manusia semata, manusialah yang menciptakannya.
• Al Qu’ran tidak mempunyai i’jaz daalam susunannya. Ia juga mengingkari mukjizat Nabi seperti terbelahnya bulan dan bertasbihnya kerikil dalam tangan beliau.
• Menghujat para sahabat Nabi.
5) Abu Utsman Al Jahidz. Lahir dan meninggal di Bashrah. Ia belajar di Bashrah dan Baghdad sehingga menjadi pembesar Mu’tazilah saat itu. Ia terkenal sebagai orang yang cerdas dan kuat berfikir. Dari pemikiran-pemikirannya timbul kelompok Al Jahidziyah.
6) Bisyr bin al Mu’tamad (wafat 226 H). Seorang pembesar Mu’tazilah pada masa itu, darinya timbul kelompok al Bisyriyah.
7) Ma’mar bin Ibad al Silmy. (wafat 320 H). Ia seorang ulama Mu’tazilah yang paling keras dalam menafikan sifat Allah dan taqdir. Darinya timbul kelompok Ma’mariyah.
8) Abu Musa Isa bin Shubaih, terkenal dengan julukannya Mardar. (wafat 326 H). Ia begitu memperluas pemikiran akal filsafatnya sampai menimbulkan kelompok baru Mu’tazilah yang dikenal dengan nama Mardariyah.
9) Tsumamah bin Asyras al Numairi (wafat 213 H). Ia meyakini setiap orang fasiq kekal di neraka. Ia merupakan pentolan Mu’tazilah di masa Al Ma’mun, Al Watsiq, dan Al Mu’tashim. Menurut riwayat, dialah yang membujuk Al Ma’mun agar mengikuti faham Mu’tazilah. Darinya tumbuh kelompok Tsumamiyah.
10) Abu Husain bin Abu Umar al Khayath (wafat 300 H). Seorang tokoh Mu’tazilah di Baghdad. Di antara keyakinan sesatnya adalah pendapat bahwa segala sesuatu yang tidak ada itu jism (badan). Sesuatu sebelum ia ada merupakan badan. Dengan pendapatnya ini ia menyatakan alam itu kekal. Dengan demikian ia menyelisihi keyakinan seluruh sempalan Mu’tazilah lainnya. Darinya timbul kelompok baru Al Khayathiyah.
11) Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad bin Abdul Jabbar al Hamdany. (wafat 414 H). Termasuk pentolan Mu’tazilah terbesar di abad-abad akhir. Ia menjadi qadhi di daerah Ra’i. Ia membukukan sejarah Mu’tazilah dan ideologinya.
5. Aqidah Mu’tazilah
(1). Lima Dasar Utama (Al Ushulul Khamsatu / Pancasila), semacam rukun Iman bagi mereka. Yaitu:
 Tauhid.
Menurut mereka tauhid maknanya mengingkari sifat-sifat Allah karena menetapkannya berarti menetapkan banyak dzat yang qadim, itu artinya menyamakan makhluk dengan khaliq dan menetapkan adanya banyak Sang Pencipta. Mereka menta’wil sifat-sifat Allah dengan mengatakan sifat Allah adalah Dzat-Nya. Sebagai contoh, Allah ‘Alim (Maha Mengetahui) maknanya ilmu Allah adalah Dzat-Nya, dan seterusnya. Di antara sebagian konsekuensinya, mereka mengingkari ru’yatullah di akhirat dan mengatakan Al Qur’an itu makhluq.
 Al ‘Adlu (keadilan).
Keadilan versi mereka adalah menolak takdir karena menetapkannya berarti Allah mendzalimi hamba-Nya. Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafy berkata: “Mengenai al ‘adl mereka menutupi dibaliknya pengingkaran taqdir. Mereka mengatakan Allah tidak menciptakan keburukan dan tidak menghukum dengan adanya perbuatan jahat, karena jika Allah menciptakan kejahatan kemudian menyiksa mereka atas kejahatan mereka, itu artinya Allah dzalim, padahal Allah adil dan tidak dzalim. Sebagai konsekuensinya, mereka menyatakan dalam (kekuasaan) kerajaan Allah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan Allah. Allah menginginkan sesuatu tetapi hal itu tidak terjadi. Juga (konsekuensinya) mensifati Allah itu lemah, Maha Tinggi (Suci) Allah dari hal itu[12] Sebab kesesatan mereka ini adalah ketidak mampuan mereka membedakan antara iradah kauniyah dengan iradah syar’iyah.[13]
 Infadzu al Wa’id.
Maknanya orang yang berbuat dosa besar bila belum bertaubat sebelum meninggal, pasti kekal di neraka dan tidak ada syafa’at baginya. Ibnu Taimiyah berkata: “Di antara pokok ajaran Mu’tazilah bersama Khawarij adalah terlaksananya ancaman di akhirat dan bahwasanya Allah tidak menerima syafa’at bagi pelaku dosa besar serta tak seorang pelaku dosa besar pun yang keluar dari neraka.”[14] Mereka mengatakan jika Allah mengancam hamba-Nya dengan suatu ancaman maka Allah wajib menyiksanya dan tidak boleh mengingkari ancaman-Nya karena Allah tidak mengingkari janji-Nya. Allah tidak memberi ma’af dan ampunan bagi orang yang dikehendaki-Nya dan tidak pula mengampuni pelaku dosa besar yang tidak bertaubat.[15]
 Al Manzilah Baina al Manzilatain.
Imam Ibnu Abil Izz berkata: “Adapun Al Manzilah Baina al Manzilatain menurut mereka adalah pelaku dosa besar keluar dari iman dan tidak masuk dalam kekafiran.”[16]
 Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Imam Ibnu Abil Izz berkata: “Adapun Amar Ma’ruf Nahi Munkar, mereka berkata: “Kita wajib menyuruh orang selain kita untuk melaksanakan hal yang diperintahkan kepada kita dan mewajibkan mereka dengan apa yang wajib kita kerjakan. Itulah Amar Ma’ruf Nahi Munkar (versi mereka— pent). Di antara kandungannya adalah boleh memberontak dengan senjata melawan penguasa yang dzalim.”[17] Dr. Abdul Majid Al Masy’abi berkata: “(maksud mereka dengan Amar Ma’ruf Nahi Munkar) adalah boleh melawan para imam (pemimpin) dan memerangi mereka dengan pedang (senjata).”[18] Ibnu Taimiyah meringkas lima dasar ajaran Mu’tazilah ini dengan penjelasan beliau dalam ‘Majmu’ Fatawa’nya.[19]
(2). Mengandalkan akal secara penuh dalam masalah aqidah. Mereka mendahulukan akal atas nash, menta’wil ayat yang tak sesuai dengan akal mereka dan menolak hadits yang bertentangan dengan akal —menurut anggapan mereka —. Ciri kedua ini menjadi tanda khusus mereka. Mereka terkenal berani dan melampaui batas dalam menggunakan akal. Karena itu mereka sering juga disebut sebagai kaum rasionalis.
Abu Zahrah berkata: “Mu’tazilah merupakan sampah dari ghazwul fikr ini, di mana manhaj mereka yang salah terwujud dalam menjadikan akal sebagai penentu dalam segala hal. Mereka berlandaskan kepada hal-hal yang masuk akal saja dalam studi mereka terhadap masalah aqidah. Setiap masalah mereka ketengahkan/ujicoba dengan akal. Apa yang diterima akal mereka terima dan apa yang ditolak akal mereka tolak.”[20]
Syaikh Ahmad Salam berkata,” Dasar mereka yang paling penting adalah berpedoman dengan akal dalam masalah iman, nash-nash sifat, dalam menetapkan pendapat dan aqidah mereka serta tidak mempercayai an-naql dalam masalah ini.”[21]
Sikap ini menyeret mereka untuk menyimpang dari kebenaran dengan melakukan beberapa hal bid’ah:
 Menolak hadits-hadits shahih yang bertentangan dengan akal dan dasar-dasar madzhab mereka.
 Menta’wil sifat-sifat Allah dengan ta’wilan yang sesuai dengan akal mereka.
 Menghukumi baik buruknya segala persoalan dengan akal. Menurut mereka, manusia terkena beban taklif sekalipun belum datang Rasul dengan alasan akalnya bisa membimbing menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
(3). Menghujat dan mencela para sahabat Rasulullah. Mu’tazilah gemar mengkritik dan mencela sahabat dengan tuduhan-tuduhan keji. Tuduhan keji ini menunjukkan bahwa mereka bukan mencari kebenaran, namun justru menunjukkan niat yang buruk. Mereka mengkritik keras ijtihad yang dilakukan para sahabat dengan tuduhan mendahulukan hawa nafsu atas nash.
- Tokoh Mu’tazilah, An Nadzam bahkan tidak malu-malu untuk mengatakan para pembesar sahabat kekal di neraka.[22]
- Tokoh lainnya, Ali Al Juba-I terang-terangan menyelisihi ijma’ ulama dengan mengatakan tidak tahu mana di antara khulafa’ ar rasyidin yang lebih utama.[23]
- Sementara tokoh lainnya, Abu Hudzail mengatakan: ”Kami tidak tahu, apakah Utsman terbunuh dalam keadaan mendzalimi atau didzalimi.” Sebelumnya, Washil bin Atha’ juga terang-terangan menyatakan ia tidak tahu apakah Utsman yang salah ataukah Utsman terbunuh secara dzalim.”[24]
- Atha’ mengatakan perihal para sahabat yang terlibat dalam perang Jamal atau Shifin: “Derajat minimal dari kedua pihak adalah kesaksiaannya tidak diterima, sebagaimana dua orang yang saling melaknat tidak diterima kesaksiannya.”[25]
- Lebih tegas lagi adalah Amru bin Ubaid yang menyatakan kedua belah pihak sahabat yang terlibat perang Jamal atau Shifin sebagai orang-orang fasiq sehingga kesaksiannya tidak diterima.[26]
- Sementara itu Ibrahim An Nadzam dan Bisyr bin Mu’tamar menyatakan Ali di pihak yang benar, sementara Thalhah, Zubair, Aisyah’ dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhum berada di pihak yang salah dan keadilan mereka telah gugur.[27]
- An Nadzam menuduh Abu Bakar tidak konsisten; di mana dalam ayat mutasyabihat beliau tidak mentakwil dan mengatakan, ”Langit yang mana yang menaungiku, bumi mana tempatku berpijak, kalau aku mengatakan tentang sebuah ayat dengan selain apa yang diinginkan Allah. Tetapi dalam ayat kalalah, beliau berijtihad: ”Ini pendapatku. Kalau benar maka dari Allah, kalau salah dariku. Kalalah artinya orang yang tidak meninggalkan anak dan orang tua.”
- An Nadzam menuduh sahabat Umar dengan tuduhan mengalami keraguan iman, ketika mendebat Rasulullah dalam peristiwa Hudaibiyah.
- An Nadzam mengimani kedustaan Syi’ah yang menyebutkan Rasulullah menulis wasiat pengangkatan Ali sebagai khalifah setelah beliau. Dengan demikian, ia telah menuduh seluruh sahabat bersekongkol untuk mengkhianati wasiat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam.
- An Nadzam menuduh sahabat Ibnu Mas’ud yang berijtihad dalam beberapa masalah dengan tuduhan mengedepankan ra’yu (pikiran murni) atas wahyu. An Nadzam menolak beberapa hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud.
- An Nadzam juga mengkritik habis sahabat Utsman, Abu Hurairah, dan Hudzaifah bin Yaman.
- Sebagian Mu’tazilah menyalahkan Mu’awiyah dan tidak mengakui kepemimpinannya.
- Masih banyak lagi tuduhan-tuduhan Mu’tazilah yang mendeskriditkan para sahabat. Sikap mereka beragam; mulai dari meragukan keadilan sahabat seperti Washil, hingga menuduh mereka sebagai pendusta, bodoh dan munafiq seperti An Nadzam. Dengan tuduhan-tuduhan ini, Mu’tazilah tidak mau menerima riwayat hadits para sahabat tersebut.[28]
(4). Mengingkari hadits Mutawatir.
An Nadzam mengatakan bahwa hadits mutawatir bisa saja mengandung kedustaan. Ia berpendapat demikian karena ia meyakini dalil akal bisa menasakh akhbar (Al Qur’an maupun As Sunah).[29] Menurut Abu Hudzail, dalam masalah-masalah ghaibiyah, dalil tidak bisa tegak kecuali dengan riwayat dua puluh orang perawi dan di antara mereka harus ada seorang atau lebih calon penghuni syurga. Bumi tak akan pernah kosong dari wali-wali Allah yang ma’shum, tidak pernah berdusta, tidak melakukan dosa besar. Mereka inilah yang menjadi hujjah, bukannya hadits mutawatir. Karena boleh saja terjadi sekelompok perawi yang banyak jumlahnya berdusta jika di antara mereka tidak terdapat wali-wali Allah yang ma’shum.[30]
(5). Menolak kehujjahan hadits ahad.
Ahlus Sunah wal Jama’ah tidak membeda-bedakan antara kehujjahan hadits mutawatir dengan hadits ahad, selama sanad dan matannya shahih, maka hadits tersebut bisa diterima dan dijadikan hujjah. Namun Mu’tazilah menyatakan bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah. Tokoh Mu’tazilah yang bernama Abul Hasan Al Khayath menolak kehujjahan hadits ahad.[31] Abu Ali al Juba-i menolak hadits ahad kecuali kalau:
(a). Ada hadits ahad lain yang digabungkan dengannya, yang diriwayatkan oleh perawi yang adil.
(b). Atau dikuatkan oleh dhahir hadits lain atau sesuai denggan dhahir ayat Al Qur’an.
(c). Atau dikerjakan oleh sebagian sahabat.
Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa Al Juba-i menolak hadits jika tidak diriwayatkan dari empat sanad.[32]
(6). Membuat keragu-raguan terhadap hadits, meragukan banyak hadits, dan membuat hadits palsu.
Ahmad Amien berkata dalam bukunya “Dhuha Islam” tentang sikap Mu’tazilah terhadap hadits: “Kadang-kadang menunjukkan sikap seorang yang meragukan keshahihan hadits dan kadang-kadang sikap seorang yang mengingkari hadits. Ini dikarenakan mereka menjadikan akal sebagai hakim atas hadits, bukannya hadits atas akal.”[33]
Kesesatan-kesesatan Mu’tazilah ini banyak disebabkan oleh penerimaan mereka terhadap filsafat Yunani kuno, terutama sekali pendapat-pendapat Aristoteles, yang dibangun di atas landasan akal semata dan pengingkaran akan adanya Allah.[34]
Amru bin Ubaid, tokoh Mu’tazilah lainnya, dengan tegas menolak hadits Ibnu Mas’ud yang menyatakan seorang janin pada usia empat bulan telah dituliskan (ditentukan) rizqi, ajal, dan amalnya. Ia mengatakan: ”Kalau saya mendengar hadits ini dari Al A’masy saya akan mendustakannya. Kalau saya mendengar hadits ini dari Rasulullah tentulah akan saya tolak. Kalau saya mendengar hadits ini langsung dari Allah, tentulah akan saya jawab: ”Bukan atas hal ini Engkau mengambil perjanjian dengan kami.”[35]
Lebih dari itu, para tokoh Mu’tazilah juga sering membuat hadits palsu. Tokoh mereka, Amru bin Ubaid termasuk seorang pemalsu hadits. Di antara hadits yang palsu periwayatannya adalah hadits yang menurutnya dari Hasan Al Bashri bahwa orang yang mabuk karena anggur tidak dijilid. Ketika hadits ini ditanyakan kepada Ayub As Sikhtiyani, ia menjawab: ”Ia telah berdusta. Saya mendengar Hasan Al Bashri mengatakan: ”Orang yang mabuk karena anggur dijilid.”[36]
Hadits palsu lain yang diriwayatkannya adalah hadits: ”Kalau kalian melihat Mu’awiyah di atas mimbarku maka bunuhlah ia.” Banyak sekali hadits yang kata Amru bin Ubaid diriwayatkan dari Hasan Al Bashri, ternyata adalah hadits palsu. Amru bin Ubaid menggunakan popularitas imam Hasan Al Bashri untuk menyebarkan hadits-hadits palsu karangannya.[37]
An Nadzam membolehkan membuat hadits palsu dalam keadaan dipaksa (mukrah). Dalam kenyataannya, Mu’tazilah termasuk An Nadzam sendiri memalsu hadits bukan karena dipaksa, namun dengan tujuan menguatkan pendapat-pendapat sesat mereka seperti selalu dikerjakan oleh Amru bin Ubaid.
Contoh paling kongkrit dari hal ini adalah hadits riwayat tokoh Mu’tazilah Qadhi Abdul Jabbar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda: ”Lima hal yang seseorang tidak akan dimaafkan bila tidak mengetahuinya: Mengetahui Allah Ta’ala dan tidak menyerupakannya dengan sesuatu apapun, cinta karena Allah, benci karena Allah, amar ma’ruf nahi mungkar, dan menjauhi kedzaliman.” Hadits ini dinyatakan hadits palsu oleh para ulama, tetapi dipegang teguh oleh Mu’tazilah demi melegitimasi aqidah ushulul khamsah mereka.[38]
(7). Sebagian Mu’tazilah mengingkari kehujjahan ijma’ dan qiyas.
An Nadzam mengingkari kehujjahan ijma’ dan qiyas karena menurutnya hujjah hanya akan tegak dengan adanya pendapat imam yang ma’shum dengan meniru aqidah Syi’ah yang menyatakan kewajiban taat hanya kepada imam Syi’ah semata.[39] Karena pendapatnya ini, An Nadzam menyelisihi beberapa hal yang telah disepakati oleh umat Islam seperti wajibnya wudhu karena tidur dan lain-lain.
Dalam hal ijma’ pendapat seluruh Mu’tazilah hampir seragam yaitu menolak kehujjahan ijma’ kecuali qadhi Abdul Jabbar yang menyatakan kehujjahan ijma’ dengan dasar hadits: “Umatku tak akan berkumpul dalam kesesatan.” Namun ijma’ menurutnya tidak harus berasal dari kesepakatan seluruh Ulama Mujtahidin. Meski hanya seorang bisa memungkinkan terjadi ijma’. Ia melegitimasi pendapat ganjilnya ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud: ”Jama’ah adalah kebenaran itu sendiri meskipun kau sendirian.”
Beberapa tokoh Mu’tazilah tetap mengakui kehujjahan qiyas, seperti Bisyr bin Mu’tamar, Abu Hudzail, dan Bisyr bin Ghiyats al Muraisy.[40]
Boleh dikata Mu’tazilah adalah sekte gado-gado, di dalamnya terkumpul perpaduan berbagai ajaran sesat dari banyak sekte sesat lain. Bila diteliti secara mendalam, akan ditemukan bahwa di dalam sekte Mu’tazilah terdapat beberapa pemikiran sesat dari berbagai kelompok lain, yaitu:
1. Mu’tazilah mengambil pendapat menolak takdir dari Qadariyah. Syaikh Ghalib Ali Iwaji berkata: “Patut disebutkan di sini, sesungguhnya Mu’tazilah telah sependapat dengan Qadariyah dalam masalah yang termasuk masalah aqidah yang paling penting, yaitu masalah taqdir dan kedudukan manusia menurut taqdir. Mu’tazilah dan Qadariyah berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia tapi manusialah yang menciptakan perbuatan mereka sendiri. Allah tidak mempunyai penciptaan apapun dalam hal ini, begitu juga tidak mempunyai kemampuan (qudrah), kehendak (masyi-ah), maupun keputusan (qadha’)[41]
2. Mu’tazilah mengambil pendapat pengingkaran sifat Allah dari Jahmiyah. Ibnu Taimiyah berkata: “Orang yang pertama kali berpendapat demikian dalam Islam adalah Ja’d bin Dirham. Ia dibunuh oleh Khalid bin Abdullah al Qasary pada hari ‘Idul Adha…Pendapat ini kemudian diambil oleh Jahm bin Shafwan yang kemudian dibunuh oleh wali Khurasan, Salamah bin Ahwaz. Pendapat ini kemudian dinisbahkan kepadanya dan dikenal dengan nama pendapat Jahmiyah, yaitu meniadakan sifat-sifat Allah. Mereka mengatakan Allah tidak bisa dilihat di akhirat, tidak berbicara kepada hamba-Nya, tidak mempunyai sifat Ilmu, Hayat, Qudrah, dan sifat-sifat Allah lainnya. Mereka mengatakan Al Qur’an itu makhluk. Mu’tazilah pengikut Amru bin Ubaid sependapat dengan Jahmiyah dalam masalah ini dan mereka menambah beberapa bid’ah baru dalam masalah taqdir dan lain-lain.”[42]
3. Mu’tazilah mengambil pendapat kekalnya pelaku dosa besar di neraka dari Khawarij. Ibnu Taimiyah berkata: “Khawarij telah berpendapat tentang kafirnya para pelaku dosa dari kalangan ahlul kiblat (umat Islam) dan mereka mengatakan: “Mereka itu kafir dan kekal di neraka.” Maka manusia menyelami (ikut ramai berbicara) dalam pembicaraan masalah itu. Qadariyah juga ikut menyelami masalah ini setelah wafatnya Hasan al Bashri. Amru bin Ubaid dan pengikutnya mengatakan: “Mereka (pelaku dosa besar) tidak muslim dan tidak pula kafir tapi mereka mempunyai satu kedudukan di antara dua kedudukan tadi. Mereka kekal di neraka.” Mereka sependapat dengan Khawarij dalam kekalnya pelaku dosa besar di neraka dan bahwasanya pelaku dosa besar sama sekali tidak muslim. Namun mereka tidak menamakan pelaku dosa besar kafir. Mereka memisahkan diri dari halaqah murid-murid Hasan Al Bashri seperti Qatadah, Ayub As Sikhtiani dll. Sejak saat itu mereka disebut Mu’tazilah yaitu sejak meninggalnya Al-Hasan. Ada juga pendapat mengatakan bahwa Qatadahlah yang mengatakan: “Mereka itu Mu’tazilah.” Mu’tazilah sependapat dengan Khowarij dalam menghukumi pelaku dosa besar di akhirat namun tidak sependapat mengenai hukum mereka di dunia. Mu’tazilah tidak menghalalkan darah dan harta pelaku dosa besar sebagaimana dilakukan oleh Khawarij. Dalam masalah nama mereka mengadakan ikhtilaf baru ‘Al-Manzilah baina Manzilatain’. Ini merupakan ciri khas Mu’tazilah yang membedakam mereka dengan selain mereka. Pendapat-pendapat mereka yang lain juga dikatakan oleh sekte-sekte lain.”[43]
6. Kafirkah Mu’tazilah ?.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini.
a. Kafir. Menurut imam Ahmad, Mu’tazilah telah kafir. Beliau berkata: “Adapun Mu’tazilah yang terlaknat maka para ulama yang telah kami temui menyatakan mereka (Mu’tazilah) mengkafirkan pelaku dosa (besar). Barang siapa berpendapat demikian berarti telah berpendapat Adam itu kafir, begitu juga saudara-saudara Yusuf ketika berbohong kepada bapaknya yaitu Ya’kub. Mu’tazilah telah sepakat siapa yang mencuri biji-bijian maka ia telah kafir, isterinya tertalaq ba’in dan dia harus mengulangi lagi hajinya jika dia sedang mengerjakan haji. Mereka yang berpendapat demikian ini (yaitu Mu’tazilah—pent) kafir, tidak boleh dinikahi dan kesaksiannya tidak diterima.”[44]
b. Tidak kafir. Menurut mayoritas ulama termasuk Ibnu Taimiyah, mereka tidak kafir dengan alasan :
 Mereka menampakkan sikap beragama yang baik.
 Sejak awal maksud mereka bukan menentang Rasul, namun mereka ingin menetapkan tauhid, rahmat, hikmah, kebenaran, dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Hanya saja mereka salah jalan dan mentakwil nash-nash tidak pada tempatnya.[45] Ibnu Taimiah berkata: “Adapun orang yang berpendapat dengan sebagian pendapat Jahmiyah seperti Mu’tazilah dan lainnya yang menampakkan sikap beragama yang baik dalam batin mereka maka mereka itu tidak diragukan lagi termasuk umat Muhammad.”[46]
7. SEMPALAN-SEMPALAN MU’TAZILAH
Sempalan-sempalan Mu’tazilah banyak sekali, Asy Syahrastani menyebutkan ada 12 sekte. Sekte-sekte pecahan itu, yaitu:
a) Al WAASILIAH
Mereka adalah pengikut Abu Hudzaifah Wasil bin Atha’. Pendapat mereka dibangun di atas 4 dasar:
 Meniadakan sifat-sifat Allah Ta’ala.
 Meniadakan taqdir Allah Ta’ala.
 Manzilah bainal manzilatain.
 Menyatakan salah satu dari dua pihak yang terlibat dalam perang Jamal dan Shiffin bersalah tanpa menunjuk pihak yang mana. Mereka juga menyatakan pihak yang membunuh dan membela Utsman fasiq tanpa menunjuk pihak yang mana. Derajat fasiq yang paling rendah menurut mereka adalah kesaksiannya tidak diterima.
b) AL HUDZAILIYAH
Mereka adalah pengikut Abu Hudzail Hamdan bin Hudzail Al-’Allaf. Dia mengambil fikrah Mu’tazilah dari Utsman bin Khalid At-Thawil, murid Wasil bin Atha’. Aqidah kelompok ini dibangun atas sepuluh dasar:
 Sifat Allah adalah Dzat Allah itu sendiri.
 Menetapkan bahwa iradah Allah tidak mempunyai ruang untuk terealisasi.
 Menetapkan sebagian firman Allah tidak mempunyai ruang untuk terealisasi seperti frman-Nya “kun” namun sebagian firman-Nya yang lain mungkin untuk direalisasikan seperti perintah, larangan, dan berita.
 Manusia di dunia bebas berbuat apa saja tanpa campur tangan Allah sedikit pun (meniadakan taqdir di dunia) namun di akhirat perbuatan mereka diciptakan Allah, karena kalau diusahakan oleh mereka sendiri berarti mereka terkena taklif.
 Gerak makhluk di akhirat itu berhenti dan tenang selamanya. Penduduk neraka tenang selamanya dalam siksaan. Penduduk syurga tenang selamanya dalam kenikmatan. Pendapat ini mirip pendapat Jahmiyah yang mengatakan syurga dan neraka itu tidak kekal.
 Kemampuan itu hanyalah syarat selain kesehatan. Perbuatan hati tidak sah bila tidak ada kemampuan, tapi perbuatan anggota badan sah meski tidak ada kemampuan.
 Seseorang itu menjadi mukallaf sebelum datangnya wahyu, dikarenakan baik dan buruk itu bisa diukur dengan akal.
 Seseorang jika tidak dibunuh akan mati pada waktu itu juga, tidak mungkin ditambah atau dikurangi umurnya. Adapun dalam masalah rizki mereka mempunyai dua pendapat. Satu: apa yang diciptakan oleh Allah dan dimanfaatkan makhluq-Nya boleh dikatakan Allah menciptakannya sebagai rizki bagi hamba-Nya. Dua: apa yang dihalalkan Allah maka itulah rizki, sedang yang diharamkan maka bukan rizki (tidak diperintahkan untuk memanfaatkannya).
 Iradah Allah bukanlah apa yang Allah kehendaki. Sebagai contoh Allah berkehendak menciptakan sesuatu maka kehendak Allah adalah penciptaan itu, sedang penciptaan itu sendiri bukanlah benda yang diciptakan. Mereka juga berpendapat bahwasanya Allah tetap Maha mendengar, Maha Melihat dengan makna Allah akan mendengar dan melihat.
 Dalam masalah yang ghaib, hujjah tidak akan tegak kecuali dengan khabar dari 20 orang dan di antara 20 orang ini ada seorang atau lebih ahli syurga. Bumi tidak akan pernah kosong dari sekelompok wali Allah yang ma’shum, yang tidak berdusta dan tidak berbuat dosa besar. Mereka itulah yang menjadi hujjah, bukan hadits mutawatir karena bisa saja sekelompok orang berdusta jika mereka bukan wali Allah dan di antara mereka tidak ada yang ma’shum.
c) AN-NADHAMIAH
Mereka adalah pengikut Ibrahim bin Sayar bin Hanik An-Nadham, seorang pentolan Mu’tazilah yang banyak menelaah buku-buku fisafat. Ia membuat bid’ah-bid’ah baru yaitu:
 Allah tidak mampu menciptakan keburukan dan kemaksiatan.
 Allah tidak disifati dengan sifat iradah secara hakikat. Kalau Allah disifati dengannya maka maknanya adalah Allahlah yang menciptakannya.
 Seluruh perbuatan hamba itu sekedar gerakan saja. Bukan gerakan berpindah namun merupakan awal berubahnya sesuatu.
 Manusia itu pada hakikatnya hanyalah jiwanya (ruh). Adapun badan itu hanya alat saja, ruhlah yang mempunyai kekuatan kehidupan, keinginan dan kemampuan. Jadi kemampuan itu ada sebelum adanya perbuatan.
 Setiap perbuatan yang di luar batas kemampuan maka Allahlah yang menciptakannya.
 Allah menciptakan seluruh makhluq dalam sekali ciptaan seperti keadaannya saat ini, hanya saja Allah menyembunyikan sebagian dalam sebahagiaan yang lain.
 Ijma’ dan qiyas itu bukan hujjah, yang menjadi hujjah itu hanya imam yang ma’shum saja.
 Cenderung kepada Rafidhah, ia mencela para sahabat senior, menyatakan imam itu harus dengan nash dan penunjukan yang dhahir. Mereka juga berpendapat bahwa Rasulullah telah menyatakan Ali sebagai imam sesudahnya.
 Orang yang berakal sehat sebelum datangnya wahyu tetap wajib mengenal Allah karena akal itu bisa menunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk.
 Seorang yang mencuri misalnya, tidak disebut fasiq sampai ia mencuri melebihi nishab.
d) AL KHABITIYYAH dan AL HADTSIYAH
Mereka adalah pengikut Ahmad bin Khabit (wafat 232 H), sedang Al Hadtsiyah adalah pengikut Fadhl Al Hadtsi (wafat 257 H). Kedua tokoh ini adalah murid An Nadzam, keduanya banyak menelaah buku-buku filsafat. Keduanya juga menambah beberapa bid’ah baru atas bid’ah guru mereka, An Nadzam, yaitu:
 Menetapkan sifat ketuhanan atas diri Al Masih Ibnu Maryam, sebagaimana menjadi keyakinan orang Nashrani.
 Reinkernasi. Artinya: manusia yang banyak berbuat dosa atau kafir setelah matinya akan dihidupkan Allah kembali dalam wujud binatang atau manusia yang sesuai kadar kejahatan dan kebaikannya. Siapa kejahatannya lebih banyak, maka bentuk jasadnya juga semakin jelek dan penderitaan hidupnya juga semakin berat. Selama ia masih berbuat dosa dan kemaksiatan, ia akan senantiasa mengalami reinkernasi, sampai bersih dari dosa.
 Mereka menta’wil setiap hadits shahih yang menyatakan bahwa umat Islam akan melihat Allah di hari kiamat dengan jelas sebagaimana mereka melihat bulan purnama. Hadits–hadits ini mereka artikan dengan pandangan akal yang pertama. Mereka berpegang pada hadits palsu: ”Makhluk yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah akal. Allah berfirman kepada akal: ”Datanglah!” Maka akal datang. Allah berfirman kepada akal: ”Pergilah!” Maka akalpun pergi. Allah lalu berfirman: ”Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, tidaklah Aku menciptakan makhluk yang lebih baik darimu. Denganmu Aku memuliakan atau menghinakan makhluk lain, denganmu Aku memberi atau menahan (rizqi).” Pada hari kiamat, akal akan datang dan terbukalah hijab yang menutupi Allah dari pandangan makhluknya.
 Ibnu Khabit juga berpendapat bahwa seluruh hewan itu umat, sebagaimana disebut oleh ayat: ”Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya kecuali mereka itu juga umat seperti kalian.” [Al An’am :38]. Dalam setiap umat ada Rasul yang diutus dari bangsanya, berdasar ayat: ”Dan tak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.” [Faathir :24]. Dengan demikian, menurutnya ada Rasul dari semut, gajah dst.
e). AL BISYRIYAH
Mereka adalah pengikut Bisyr bin Mu’tamar. Di antara bid’ah barunya adalah:
 Siapa bertaubat atas dosa lalu mengulangi dosa itu lagi, maka ia akan tetap mendapat hukuman atas dosa pertama yang dikerjakan sebelum bertaubat.
 Allah bisa saja mengadzab anak kecil, namun jika Allah melakukan hal itu maka Allah telah berbuat dzalim, karena itu dikatakan: “Anak itu telah baligh dan melakukan dosa sehingga berhak diadzab”.
g). AL MU’AMMARIYAH
Mereka adaalah pengikut Mu’ammar bin Ibad al Sualami. Sekte ini merupakan sekte Mu’tazilah yang paling banyak menafikan sifat-sifat Allah, menafikan taqdir, mengkafirkan dan memfasikkan. Di antara bid’ah barunya:
 Yang dimiliki manusia hanyalah keinginan saja. Adapun perbuatan taklifiyah manusia sepertai makan, bergerak, ibadah dst, tak lain adalah wujud dari keinginannya.
 Allah tak mungkin mengetahui diri-Nya sendiri karena bila hal itu terjadi berarti ‘Alim (Yang Mengetahui, dalam hal ini Allah) dengan ma’lum yang diketahui itu tidak satu, berarti Allah ada dua.
 Allah tidak qadim (terdahulu), karena qadim diambil dari kata kerja qadama-yaqdumu-qadiim, seakan-akan Allah melalui proses taqaadum zamani, melakukan kerja “ada” di zaman lampau.
h). AL MARDARIYAH
Mereka adalah pengikut Mardar Abu Musa, Isa bin Shubaih (wafat 226 H). Dia dijuluki Rahibul Mu’tazilah (pendeta/ahli ibadah Mu’tazilah). Ia merupakan murid Bisyr bin Mu’tamar. Di antara bid’ah barunya adalah:
 Allah bisa saja berdusta dan berbuat dzalim.
 Al Qur’an itu makhluk, karena itu, manusia bisa saja membuat buku yang semisal Al Qur’an baik segi balaghah, fashahah maupun nadmnya. Ia juga mengkafirkan orang yang menetapkan qadamain (dua telapak kaki) dan ru’yatullah serta sifat-sifat lain. Begitu ekstremnya dalam mengkafirkan orang lain, sampai ia mengkafirkan seluruh penduduk bumi. Suatu saat Ibrahim bin Sindi menanyainya: ”Syurga yang luasnya seluas langit dan bumi itu hanya dimasuki oleh kamu dan tiga orang yang setuju denganmu?” Maka ia terdiam.
 Akal bisa menuntun kepada ma’rifatullah sebelum adanya wahyu. Baik dan buruk ukurannya adalah akal.
Dia mempuanyai beberapa murid, yaitu:
1) Ja’far bin Harb Ats Tsaqafi (wafat 234 H).
2) Ja’far bin Mubasyir Al Hamdani (wafat 236 H). Menurutnya, di antara pelaku dosa dari umat Islam sekalipun ia bertauhid ada yang lebih buruk dari Yahudi dan Nashrani. Menurutnya juga, ijma’ sahabat dalam masalah had khamr salah karena berdasar pada akal semata.
3) Muhammad bin Suwaid.
4) Abu Zufar.
i). AL TSUMAMIYAH
Pengikut Tsumamah bin Asras An Numairi, pimpinan Mu’tazilah di era Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al watsiq. Bid’ah barunya antara lain:.
 Orang-orang kafir, musyrik, majusi, Yahudi, Nashrani, Zindiq, binatang ternak, dan anak-anak kaum muslimin akan menjadi tanah pada hari kiamat.
 Akal itu merupakan tolok ukur baik dan buruk.
j). AL HISYAMIYAH
Pengikut Hisyam bin Amru al Fuwathi (wafat 226 H). Ia sangat ekstrem dalam mengingkari takdir. Selain mengingkari perbuatan-perbuatan Allah, ia juga menambahkan bid’ah baru, seperti:
 Saat ini syurga dan neraka belum diciptakan karena tak ada gunanya.
 Imamah tak boleh diangkat pada masa fitnah dan perbedaan.
k). AL JAHIDZIYAH
Pengikut Abu Utsman Amru bin Bahr al Jahidz. Di antara bid’ahnya:
 Di antara penduduk neraka ada yang tidak kekal, namun sifatnya berubah menjadi sifat api.
 Al Qur’an mempunyai jasad, suatu saat bisa berwujud laki-laki dan suatu saat bisa berwujud hewan.
l). AL JUBBAIYAH dan AL BAHMASYIYAH
Pengikut Abu Muhammad bin Abdul Wahab al Jubba-i (wafat 295 H) dan anaknya, Abu Hasyim Abdus Salam (wafat 321 H). Keduanya dari Baghdad. Banyak bid’ah Mu’tazilah secara umum juga diyakini kedua sekte pecahan ini.
 Mereka sepakat dengan Ahlus Sunah bahwa imam itu dipilih serta urutan khulafaur rasyidun menunjukkan urutan keutamaan mereka.
 Mengingkari karamah para wali.
 Ekstrem dalam masalah kema’shuman Nabi, baik dari dosa kecil maupun dosa besar, sampai niat berbuat dosa sekalipun.
 Ulama-ulama Mu’tazilah Baghdad ada yang cenderung ke Rafidzah dan ada juga yang cenderung ke Khawarij.
Demikian sekilas sekte-sekte pecahan Mu’tazilah.[47]
8. PENUTUP
Siapa saja yang membaca ideologi Mu’tazilah barangkali akan menggeleng-geleng kebingungan dengan permainan logika mereka. Boleh dikata, lima dasar aqidah mereka (Al Ushul al Khamsah) sudah tidak populer lagi saat ini, kecuali pada sebagian kecil orang saja. Yang populer justru adalah pengedepanan akal mereka dalam membahas masalah-masalah aqidah dan dien secara umum. Siapa yang mengikuti perkembangan ” Neo Mu’tazilah ” hari ini tentu akan menyadari hal ini. Mu’tazilah dengan Al Ushul al Khamsah-nya sudah jarang terlihat di masa sekarang ini, namun bencana yang meracuni aqidah dan pemikiran umat Islam dewasa ini adalah penuhanan akal ala “Neo Mu’tazilah” ini, lewat filsafat dan ilmu mantiq. Barangkali itulah yang seharusnya menjadi perhatian para da’i dan penuntut ilmu serta segenap umat Islam yang mempunyai kepedulian untuk menjaga kemurnian Islam, untuk mengcounter pemikiran mereka. Bila dibiarkan meraja lela, tentu korban umat Islam akan semakin banyak.
Wallahu A’lam Bish Shawab.
  1.  Lisanul Arab 11/440, Al Mishbahul Munir I/57.
  2. Lihat Al Milal Wan Nihal hal. 47-48.
  3. Mauqiful Mu’tazilah Minas Sunah An Nabawiyah hal. 9-10.
  4. Al Milal wan Nihal hal. 47-48, Al Qamush Al Muhith IV/15
  5. Mauqifu Mu’tazilah Minas Sunah An Nabawiyah, hal. 12, menukil dari buku Al Farqu Bainal Firaq dan Fadhlul I’tizal.
  6. Firaqun Muasshirah 2/823.
  7. Firaqun Muasshirah 2/824-825.
  8. Mauqifu Mu’tazilah Minas Sunah An Nabawiyah hal. 14.
  9. At Tafsir wal Mufasirun I/ 241-242.
  10. Al Mausu’ah al Muyassarah 1/70-71.
  11. Muqadimah Syarh Ushul I’tiqad /Tarikhu Dhuhuril Bida’, hal. 29.
  12. Syarhu Al Aqidatu ath Thahawiyah hal. 792.
  13. Al Mausu’ah Al Muyassarah 1/73.
  14. Majmu’ Fatawa 13/358.
  15. Al Mausu’ah al Muyassarah 1/73.
  16. Syarhu Aqidah Thahawiyah hal. 793.
  17. Syarhu Aqidah Thahawiyah hal. 793.
  18. Manhaju Ibni Taimiyah fi Masalati al Takfir hal. 336.
  19. Majmu’ Fatawa 13/357-358.
  20. Tarikhu al Madzahib al Islamiyah 1/144, dinukil dari Al Inhirafat al ‘Aqdiyah wa al ‘Ilmiah hal. 63.
  21. Maa Ana ‘Alaihi wa Ashabi hal. 31.
  22. Mauqiful Mu’tazilah minal Sunah an Nabawiyah hal. 79, menukil dari Al Farqu Bainal Firaq.
  23. Mauqiful Mu’tazilah minal Sunah an Nabawiyah hal. 79, menukil dari Maqalatul Islamiyin.
  24. Mauqiful Mu’tazilah minas Sunah an Nabawiyah hal. 79, menukil dari Al Farqu Bainal Firaq dan Maqalatul Islamiyin.
  25. Al Milal Wan Nihal I/49.
  26. Mauqiful Mu’tazilah minas Sunah an Nabawiyah hal. 81, menukil dari Al Farqu Bainal Firaq dan Mizanul I’tidal.
  27. Mauqiful Mu’tazilah minas Sunah an Nabawiyah hal. 81, menukil dari Maqalatul Islamiyin.
  28. Mauqiful Mu’tazilah hal. 80-88.
  29. Mauqiful Mu’tazilah hal. 91, menukil dari Ta’wilu Mukhtalafil Hadits.
  30. Mauqiful Mu’tazilah hal. 91, menukil dari Al Farqu Bainal Firaq dan Al Milal wan Nihal.
  31. Mauqiful Mu’tazilah, hal. 92, menukil dari ‘Al Farqu Bainal Firaq’.
  32. Mauqiful Mu’tazilah, hal. 93, Tadribur Rawi I/73.
  33. Mauqiful Mu’tazilah, hal. 98.
  34. Al Mausu’ah Al Muyasarah 1/73-74.
  35. Tarikhu Dhuhuril Bida’, hal.
  36. Muqadimah Syarhu Shahih Muslim I/ .
  37. Mizanul I’tidal III/273.
  38. Mauqiful Mu’tazilah, hal. 101-104.
  39. Al Milal wan Nihal I/147,154.
  40. Mauqiful Mu’tazilah, hal. 104-111.
  41. Firaqun Mu’ashirah II/826.
  42. Majmu’ Fatawa XII/502-503.
  43. Majmu’ Fatawa XIII/36-37.
  44. Manhaju Ibni Taimiah Fie Mas-alatit Takfir hal: 337-338.
  45. Manhaju Ibni Taimiah Fie Mas-alatitTakfir hal: 338.
  46. Majmu’ Fatawa XVII/448.
  47. Selengkapnya, bisa dibaca di Al Milal wa Al Nihal hal. 46-85.
DAFTAR PUSTAKA 
  • At Tafsiru wal Mufassirun., Dr. Muhammad Adz Dzahabi,
  • Tarikhu Dhuhuril Bida’, Dr. Ahmad Sa’ad Hamdan, Daru Thayibah, Riyadh.
  • Al Milalu wan Nihalu, Abu Fath Muhammad Abdul Karim bin Abu Bakar Ahmad Asy Syahrastani, Darul Fikr, Beirut, tanpa tahun, tahqiq: Abdul Aziz Muhammad al Wakil.
  • Firaqun Mu’ashirah Tantasibu Lil Islam, Ghalib bin Ali ‘Iwaji.
  • Maa Ana ‘Alaihi wa Ash-habi, Ahmad Salam
  • Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, cet. 1997 M.
  • Al Mausu’ah Al Muyassarah lil Adyan wal Madzahib wal Ahzab Al Mu’ashirah, WAMY, ed. Dr. Mani’ bin Hammad, Dar wah ‘Alamiyah, cet. 3, 1418 H.
  • Ahlus Sunah wal Jama’ah Ma’alimul Inthilaqatil Kubra, Muhammad Abdul Hadi al Mishri
  • Manhaju Ibni Taimiah Fie Mas-alatit Takfir, Dr. Abdul Majid Salim Abdullah Al Masy’abi, Adhwaus Salaf, Riyadh, cet. 1, 1997 M.
  • Syarhu Aqidah Thahawiyah, Ibnu Abil Izz Al Hanafy, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki-Syu’aib Al Arnauth, Dar ‘Alamul Kutub, cet. 3, 1997 M, Riyadh.

S..E..X

"S.E.X. normalizes sexuality in all the best ways: encouraging communication, helping with responsible decision making, respectfully acknowledging differences in individual and family approach to morality and giving up to date scientifically valid information as a foundation for lifetime sexual development....

Nervous Breakdown

I'm afraid it has all caught up with me. Maybe you do have to hit rock bottom. I think I may have done just that.
Whether I can climb back up again...
Time will tell.
For now, I have been fired in the crucible, and found wanting.
I'm sorry.
I hope it doesn't end this way......

Loosing a Friend...

I don't remember when or how, but I found a blog.  It was a life-giving, awakening and everything I needed kind of blog.  I was struggling with pain and then I found her, who was struggling with so much more pain.  But, she was made of strength and most of all joy.  She doesn't wallow in what she can't do or what the disease is doing to her, she instead focused on what she could do.  GitzenGirl lives life so well, even though her most recent years have been spent in her house never to leave.  Now she is dying from complications from her disease.  I can't explain how sad I am, even though I never met her in person.  It is like a light being extinguished.  If I could live just half as good as she has I will have done well.  When her light goes out I will work harder at making mine shine.  If you don't know her or have never read her blog, you should.  Even if you don't struggle with illness she is just a life example of living past your circumstances.
Thank you GitzenGirl for being you.  For striving for joy.  Thanks for making me a piece of art.  But, most of all thank you for teaching me how to live and walk with God.

Objectives of Islamic Belief and Creed..

The Arabic word Hadaf (Objective) has several meanings: an object which one takes aim at and shoots at; an object of want and desire.
The objectives of Islamic creed can be defined as those noble purposes which one aims to achieve by believing in and adhering to it. They are many and some of them are as follows:
The first objective: sincerity and purity of intention. Allah is the Creator Who has no partner and the intention and worship must be only to Him alone.
The second objective: liberation of the mind and intellect from false notions foolishness and irrationality. Whoever is devoid of this true belief and creed becomes depraved intellectually and spiritually becomes a worshipper of material things and physical desires or stumbles along with various misguided deviant and foolish doctrines and ideologies.
The third objective: tranquility and peace of heart and mind. Belief dissolves despair loss of heart and anxiety because by belief one is attached to his Lord Creator and Cherisher. He accepts His Lord and Sustainer as his Lawmaker Legislator Ruler and Judge and becomes satisfied with Allah’s wise Qadar. His heart opens wide for the religion of Islam and doesn’t desire any substitute.
The fourth objective: A clear consciousness purity and sincerity in intention and actions in the worship of Allah the one true God and also in all dealings and relationships with people. The fundamental principle of Islam is following the Messengers in purity and sincerity and in intention and action.
The fifth objective: seriousness and determination in all affairs. A faithful believer does not miss an opportunity to do a good deed hoping for its reward and to avoid the temptation towards evil deeds fearing its punishment because from among the fundamental principles of Islam is belief in the Resurrection and the Reckoning for good and evil deeds. Allah the Most Exalted said:
For all there will be degrees (or ranks) according to what they did. And your Lord is not unaware of what they do. [Surah al-An’aam (6):132]
The Messenger of Allah () encouraged us with this objective saying:
A strong believer is better and more beloved to Allah than a weak believer and there is good in every believer. Be keen to get that which gives you benefit and seek help from Allah and do not lose heart. And if anything befalls you do not say: “If I had not done this or that such and such would not have happened to me” but say “Allah has ordained and He does as He wills” because “if” is an opening for Satan’s actions. (Reported by Muslim)
The sixth objective: establishment of a strong nation and community of believing Muslims who give generously all that they have for the sake of Allah to protect and reinforce its foundations. These kinds of believers are not concerned about the problems they face in Allah’s cause as Allah the Most Exalted said:
Verily the believers are only those who have believed in Allah and His Messengers and do not afterward doubt who strive with their lives in the Cause of Allah. Those are indeed the truthful ones. [Surah al-Hujuraat (49):15]
The seventh objective: ultimate happiness and felicity in this life and the Hereafter by reformation and cultivating good actions in individuals and groups in order to achieve the highest and most noble of rewards. In this context Allah the Most Exalted said:
Whoever works righteously whether male of female while he or she is a true believer verily We will give them good life (in this world) and We shall pay them certainly a reward in proportion to the best of what they used to do (in Hereafter). [Surah an-Nahl (16):97]
These are some of the noble objectives that we hope to achieve and wish for all the Muslims.

Senin, 26 September 2011

Teologi Islam:
Sejarah dan Problematik (I)*


            Adalah Ilmu Kalam atau Teologi Islam (selanjutnya penulis akan menggunakan istilah teologi saja), sebuah disiplin ilmu yang kerap didefinisikan sebagai sebuah  ilmu (baca, pengetahuan) tentang keyakinan keagamaan berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan. Secara sederhana Teologi juga bisa diartikan sebagai disiplin yang mengupas tentang teori-teori yang digunakan sebagai perangkat untuk memahami dan mengimani Tuhan, akhirat, hal-hal gaib dll. Teologi tumbuh bersamaan dengan munculnya agama itu sendiri. Teologi berawal dari teori (keyakinan) sederhana terhadap adanya Dzat Maujud (Tuhan) dan kemudian berkembang menjadi dogma dan kredo agama yang kompleks. Ia berkembang dan berevolusi sesuai dengan tingkat tantangan dan daya akal penganutnya dalam memahami, merespon tantangan dan mengolah sumber ajaran yang sering bersifat lugas tersebut. Sebagai contoh, Teologi Kristen. Pada awal kemunculan agama Kristen, teori ketuhanan mereka cukup sederhana.  Umat kristiani berkeyakinan bahwa disamping Tuhan Bapa ada Tuhan Yesus. Ketika itu mereka masih belum memikirkan dimanakah posisi Roh Kudus. Mereka juga belum memikirkan bagaimana Yesus Kristus menjadi Tuhan dalam cara yang sama dengan Tuhan Bapa dst. Sampai akhirnya muncul wacana-wacana menggelitik yang mendorong umat kristiani untuk berpikir dan berdialog guna memperoleh formula teologi yang benar. [2]
Seperti halnya agama Kristen dan agama-agama lain, Islam hadir ke dunia dengan teologi sederhana yang terrangkum dalam surah al-Ikhlas.
 
Katakanlah (hai Muhammad): Dialah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah tempat meminta. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia. (QS. Al-Ikhlas, 1-4).[3]
                       
            Ajaran keesaan Tuhan yang terdapat dalam ayat-ayat diatas cukup lugas dan sederhana. Dalam ayat-ayat lain al-Quran juga menyebutkan sifat-sifat dan nama-nama Allah secara lugas seperti al-Alim, al-Qodir. Demikian pula dalam hadits-hadits rasulillah. Para sahabat tidak pernah mempersoalkan apakah 'Kalam Allah' itu qodim atau hadits. Mereka juga tidak pernah meributkan apakah sifat Allah adalah Dzat Allah itu sendiri atau hal lain yang berada pada Dzat Allah. Sampai akhirnya muncul al-Ja'd ibn Dirham, orang pertama yang berbicara secara krirtis tentang sifat (shifaat dan aushof).
            Al-Ja'd ibn Dirham mengingkari adanya sifat bagi Allah. Kemudian disusul oleh al-Jahm ibn Shofwan, salah seorang yang mengutip dan mengembangkan pendapat al-Ja'd ibn Dirham. Dan selanjutnya,  teori-teori teologi dalam Islam semakin berkembang dan perbedaan pun tidak dapat dihindari. Beberapa madzhab tak jarang meminjam tangan penguasa untuk mengukuhkan teori mereka, misalnya Ahl al-Sunnah dan al-Mu'tazilah..[4] Urusan kepentingan yang sejatinya adalah bukan urusan teologi secara tidak disadari meresap ke dalam pola dan jiwa teologi. Sisi positif dari hal ini adalah, nalar umat Islam semakin terangsang untuk mengembangkan teologi menjadi sebuah disiplin yang ilmiah dan progresif.  
            Dalam paper singkat ini penulis akan memaparkan secara singkat fase-fase pertumbuhan teologi serta bebebarapa aliran-aliran mayor ilmu kalam yang selanjutnya bisa dijadikan sebagai landasan untuk melakukan kajian lebih jauh tentang pernik-pernik teologi. 
            Secara garis besar teologi melewati empat fase pertumbuhan. Karya yang tercipta selama empat fase tersebut dapat kita klasifikasikan ke dalam dua jenis, mereka adalah ilmu kalam yang disandarkan pada para pakar ilmu kalam angkatan pertama (al-Mutaqodimin) dan ada pula teologi yang disandarkan pada pakar teologi angkatan terakhir (al-Muta'akhirin).
 
 
1. Periode Pertumbuhan
 
            Periode ini diawali oleh dialog dan pembahasan seputar permasalahan keyakinan (al-I'tiqodiyyah). Perbedaan pendapat dalam dialog dan pembahasan tersebut memicu munculnya kecenderungan-kecenderungan baru yang akan menjadi aliran dan bahkan madzhab teologi di masa yang akan datang. Pada periode ini kecenderumgan-kecenderungan tersebut masih belum terkodifikasikan dan tersisitemkan seperti layaknya sebuah disiplin ilmu. Kecenderungan-kecenderungan yang ada pada masa itu juga masih belum merupakan kecenderungan yang dapat mewakili sebuah teori atau aliran secara utuh. Pembahasan mereka masih bersifat parsial dan insidental. Karakter politik lebih mendominasi daripada karakter intelektual.[5] Contoh yang sederhana adalah golongan al-Khawarij.
            Khawarij, salah satu golongan yang awalnya adalah termasuk orang-orang Ali ibn Abi Thalib, keluar dari kelompok Ali ketika terjadi perang Shiffin (657 M.). Kekecawaan terhadap sikap politis Ali menyebabkan mereka membuat kelompok serta model kecenderungan pemahaman terhadap pesan-pesan Tuhan di al-Quran yang didasarkan slogan La Hukma illa lillah. Mereka mengkafirkan Ali dan Muawiyah serta kelompok-kelompok yang tidak sepaham dengan mereka.[6] Bersamaan dengan munculnya kelompok Khawarij, muncul pula kelompok-kelompok lain seperti Murji'ah, Qodariyah, Jabariyyah sehingga secara tak terelakkan dialog dan perbedaan pendapat terjadi di antara mereka.
            Tema-tema yang mengemuka pada saat itu diantaranya adalah tentang hukum pelaku dosa besar. Didorong oleh kekecawaan politis, kelompok Khawarij mempunyai pendapat yang cukup ekstrim dan radikal terhadap muslim yang telah melakukan dosa besar. Mereka berpendapat bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar berarti dia telah menjadi kafir dan akan masuk neraka untuk selama-lamanya. Pada perjalanan selanjutnya kelompok ini terbelah menjadi dua, 'al-Azariqoh' dan 'al-Ibadliyyah.'
            Pada masa itu kelompok Murji'ah[7] juga berkembang sebagaimana Khawarij dan kelompok-kelompok lain. Dalam masalah dosa besar, Murji'ah berpendapat bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar tidak serta-merta dicap sebagai kafir, tapi dia tetap orang muslim dan perbuatan dosa tersebut tidaklah berpengaruh terhadap kapasitas iman. Bagi mereka, hal-hal yang bersifat aksi (amaliyyah) tidak bisa disamakan dengan hal-hal yang bersifat keyakinan (i'tiqodiyyah).[8] Hal lain yang juga booming di masa itu adalah qodlo dan qodar, imâmah dll.   
 
2. Periode Pembukuan dan Madzhab                                          
                                                  
            Sejak awal abad kedua hijriyyah kajian umat Islam tentang teologi memasuki babak baru. Hal ini ditandai dengan munculnya kecenderungan-kecenderungan yang berproses menuju munculnya madzha-madzhab dengan teori-teori teologi secara utuh. Ragam teori yang dihasilkan oleh madzhab-madzhab pada masa itu teraplikasikan dalam kehidupan rohani, sosial dan politik melalui aktivitas kehidupan kaum muslimin yang kental dengan aroma keagamaan. Tak jarang suatu aliran akan menyulut konflik dan friksi politik yang dapat mempengaruhi laju penbangunan negara. Madzhab-madzhab teologi inilah yang menjadi inspirator dinamika kehidupan intelektual pada masa itu. Dengan tetap merujuk Kepada al-Qurân mereka mengembangkan teologi sesuai dengan kecenderungan mereka. Sebagian diantara mereka dapat dikategorikan sebagai aliran yang memegang teguh naql (al-Qurân dan al-Hadits) sebagai rujukan utama. Mereka adalah al-Hasyawiyyah, al-Hanabilah, al-Dhohiriyyah, al-Asya'iroh dan al-Maturidiyyah.[9] Dalam konteks kekinian predikat golongan kanan mungkin akan sangat cocok jika diberikan kepada madzhab-madzhab ini.
Rival mereka adalah madzhab-madzhab yang mengedepankan akal dalam memahami intisari teologi dalam al-Quran. Madzhab-madzhab kiri ini meliputi al-Ismailiyyah, al-Mu'tazilah, Syi'ah Itsna Asyar, al-Khawarij, Syiah Zaidiyyah. Dalam kesempatan ini, penulis hanya akan memaparkan sebagian dari madzhab-madzhab tersebut di atas.
 
a. Al-Hasyawiyyah
 
Sebenarnya kelompok al-Hasyawiyyah bukanlah sebuah madzhab pertikular seperti halnya Mu'tazilah atau Asya'iroh. Al-Hasyawiyyah sebenarnya adalah nama yang diberikan kepada beberapa golongan yang mempunyai konsep teologi yang sama. Konsep teologi mereka sangat berpegang teguh pada pandangan bahwa nash agama (al-Quran dan al-Hadits) adalah sumber utama dalam beragama dan nash tersebut harus dipahami sebagaimana adanya (baca, secara leksikal) tanpa perlu dipikir dan dianalisa. Model pemahaman leksikal ini berpotensi memunculkan faham tajsim (mengkonsepsikan Tuhan sebagai sesuatu yang menempati ruang dan waktu). Misalnya, kata Yad (berarti tangan) dalam ayat Yadullah fouqo Aidihim akan dipahami sebagaimana tangan manusia.[10] Dan masih banyak contoh dari konsep teologi mereka yang didasarkan pada cara pembacaan yang leksikal pada sumber-sumber agama.
 
b. Al-Mu'tazilah
 
Madzhab yang dipandegani oleh Washil ibn Atho' (131 H.) ini lahir di Bashroh. Teori-teori teologi Mu'tazilah sangat berkebalikan dengan teori al-Hasyawiyyah. Sisi rasionalitas sangat kental dalam teori teologi mereka walaupun tidak sekental madzhab al-Isma'iliyyah. Dalam hal Imamah, Mu'tazilah mempunyai banyak persamaan  dengan Ahl al-Sunnah walaupun sebagian di antara mereka lebih condong ke teori Imamah yang dimiliki oleh Syi'ah Zaidiyyah, terutama di Baghdad.[11]
Dasar-dasar teori dan pendapat mereka terangkum dalam lima pokok utama yang dikenal dengan sebutan al-Ushul al-Khomsah. Pokok-pokok itu adalah, Pertama, al-Tauhid (keesaan Tuhan). Dalam pokok ini, Mu'tazilah berpendapat bahwa sifat Allah yang paling utama adalah al-Qidam dan al-Azaliyyah. Mereka juga berpendapat bahwa sifat Allah adalah Dzat Allah itu sendiri dan bukan sesuatu selain Dzat [supra]. Mu'tazilah tidaklah seradikal al-Isma'iliyyah yang tidak mengakui adanya sifat bagi Allah. Mu'tazilah masih percaya bahwa Allah mempunyai sifat hanya saja sifat Allah adalah Dzat Allah itu sendiri. Di sinilah letak perbedaan antara Mu'tazilah dan Ahl al-Sunnah.[12]
Kedua, al-Adl. Dasar ini membahas tiga permasalahan pokok yang meliputi: (a) hukum baik dan buruk yang didasarkan pada akal, (b) adalah suatu kewajiban bagi Allah untuk berwelas asih dan menjauhkan hambanya dari kemaksiatan dalam batas yang wajar. (c) manusia mempunyai kebebasan dan kemampuan sendiri untuk menentukan perbuatannya.[13]
Ketiga, al-Wa'd (janji) dan al-Wa'id (ancaman). Dasar ini hampir merupakan penjelasan dari dasar-dasar sebelumnya. Dalam dasar ini diterangkan bahwa wajib bagi Allah melaksanakan ancamanNya sebagaimana wajib bagi Dia meluluskan janji-Nya. Jika Allah tidak konsisten dengan janji dan ancaman-Nya berarti Dia bohong. Pendapat seperti itu secara implisit menolak adanya syafa'at (grasi di hari kiamat) sebagaimana diyakini oleh Ahl al-al-Sunnah[14]. Keempat, al-Manzilah baina al-Manzilatain (berada di antara dua posisi). Seorang muslim yang melakukan maksiat atau berbuat dosa berdasarkan dasar ini tidak bisa dihukumi sebagai seorang kafir sebagaimana tidak patut dikatakan sebagai mu'min. Muslim tersebut berada di antara dua predikat tersebut dan akan kekal di neraka.[15]  Kelima, al-Amr bi al-Ma'ruf wa al-Nahyu 'an al-Munkar. Mu'tazilah berpendapat bahwa dasar kelima ini hukumnya fardl kifayah. Dalam buku Syarh al-Ushul al-Khomsah, al-Qogli Abd. Jabbar menegaskan:
 
[...ketahuilah! bahwa yang dimaksud dengan al-Amr bi al-Ma'ruf wa al-Nahyu 'an al-Munkar adalah: hendaknya kebajikan terlaksana dan kemunkaran tidak merajalela, ketika sebagian orang mukallaf telah melaksanakannya maka yang lain tidak berkewajiban lagi, oleh karena kami berpendapat bahwa hal ini hkumnya fardl al-kifayah...][16]    
 
c. Al-Asya'iroh dan al-Maturidiyyah
 
Dua aliran ini sering dianggap sebagai satu madzhab walaupun sebenarnya ada beberapa hal di antara keduanya yang berbeda. Dua aliran ini juga sering diklaim (lebih tepatnya, mengklaim diri) sebagai madzhab Ahl al-Sunnah dan madzhab yang akan selamat di akhirat nanti. Aliran Asy'ariyyah didirikan oleh Abu al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy'ari (935 M.), mantan aktivis Mu'tazilah.
Setelah mengumumkan bahwa dirinya keluar dari Mu'tazilah, ia memprakarsai teologi yang mencoba menggabungkan rasio (al-Aql)dan wahyu (al-Naql). Dalam hal perbuatan manusia dia juga mencoba untuk berdiri diantara al-jabr (fatalisme) dan al-tafwidl (manusia menentukan perbuatannya sendiri). Walaupun dia selalu berusaha untuk berdiri secara seimbang di antara rasio dan wahyu  tetapi dalam praktiknya terkadang dia lebih condong ke wahyu dan terkadang dia juga lebih condong pada rasio. Sebagai contoh, al-Asy'ari mengatakan bahwa semua sifat Tuhan adalah qodim dan bukan merupakan Dzat Tuhan itu sendiri. Tetapi ketika dia membahas tentang sifat al-Kalam, dia tidak mengatakan bahwa al-Kalam adalah sifat Dzat yang qodim saja. Dia membedakan antara al-Kalam al-Nafsi (al-Kalam yang merupakan sifat Dzat yang menurutnya bersifat qodim) dan ungkapan-ungkapan, kalimat-kalimat yang menunjukkan al-Kalam al-Nafsi. Sesungguhnya pendapat ini sangat mirip dengan pendapat Mu'tazilah.[17]  Dan masih banyak contoh yang tidak mungkin disebutkan di sini.
Seperti dikatakan di atas bahwa banyak pendapat al-Asyairoh yang hampir sama dengan pendapat al-Maturidiyyah. Namun, pada beberapa hal al-Maturidiyyah yang didirikan oleh Abu Manshur al-Maturidi (333 H.) ini mempunyai beberapa pendapat yang agak berbeda dengan al-Asya'iroh. Misalnya, al-Maturidiyyah menghukumi al-Shifat al-Fi'liyyah sebagai sesuatu yang hadits sementara al-Asya'iroh mengatakan qodim.[18] Walaupun demikian mereka tetap dianggap sebagai satu barisan dalam teologi Ahl al-Sunnah.       
 
3. Periode Evolusi dan Pengaruh Filsafat.
      
Periode ini dimulai sejak abad keenam hijriyah. Pada fase ini teologi berinteraksi dan banyak terpengaruh oleh produk filsafat ketuhanan yang dihasilkan oleh para filusuf muslim. Materi, metode, dan tema yang yang diangkat semakin meluas dibandingkan dengan teologi pada fase-fase sebelumnya. Produk teologi pada fase ini dikenal dengan nama teologi angkatan terakhir (Kalam al-Muta'akhirin).
Jika kita meneliti materi-materi teologi pada periode ini maka kita akan menemukan bahwa materi filsafat banyak diadopsi. Contoh sederhana adalah istilah wajib, mustahil dan jawaz pada sifat-sifat Allah. Istilah ini diadopsi oleh al-Farabi dari teori wujud (ontologi).
Bahkan kajian tentang filsafat alam juga ikut mempengaruhi evolusi teologi pada masa itu. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan kontradiksi dan memperkuat argumen teologi dengan pendepat-pendapat para filosofis sehingga potensi untuk menyusun struktur metafisika teologis atau menemukan sebuah teori yang lebih baik tentang wujud semakin terbuka.. Karya-karya al-Razi, al-Amadi dan teolog-teolog lain sesudah mereka berdua dari kalangan al-Asya'iroh menjadi bukti evolusi tersebut. Dari Syi'ah al-Itsna Asyar, kita juga bisa melihat karya-karya al-Thusi, al-Hulli yang juga mencerminkan betapa madzhab ini telah sampai pada puncak kematangan teologi. Seandainya al-Sam'iyyat (kenabian, hari akhir, imamah dll.) tidak dimasukkan oleh para teolog muslim dalam struktur materi bukan tidak mungkin materi teologi akan menjadi lebih istimewa dari materi filsafat.[19]
Dari segi metode kita juga akan menemukan betapa para teolog muslim sangat terpengaruh oleh Logika (Mantiq) Yunani. Mereka banyak menggunakan bentuk-bentuk gambaran seperti halnya metode yang juga sering dipakai Ushul al-Fiqh. Cara mereka mengkaji juga banyak mengalami perubahan. Kalau para teolog angkatan pertama selalu memulai pembahasannya dengan pengantar-metodik tentang teori dan  hakikat teologi, maka para teolog muslim angkatan terakhir banyak memulai karya mereka dengan hal-hal yang bersifat umum. Mereka memulai karya mereka dengan kaidah-kaidah metodik yang populer, penbahasan tentang mantiq, metafisika serta karakter-karakter yang berkaitan dengan hukum-hukum yang dimiliki oleh segala sesuatu yang wujud; apakah bersifat wajib atau mungkin. Dalam hal ini al-Razi bisa kita katakan sebagai pioner, sementara al-Amadi masih berada pada dua posisi antara model lama dan baru.[20] Hal ini adalah hal yang wajar karena kadar keberanian seseorang untuk melakukan inovasi berbeda-beda dalam diri tiap orang. Apalagi atmosfir pada masa itu sangat tidak memungkinkan seseorang untuk secara terus terang mempergunakan filsafat dan dan hal-hal yang yang bersifat rasional sebagao alat bantu analisa.
Hal yang patut disayangkan dalam periode ini adalah semakin redupnya madzhab Mu'tazilah sebagai salah satu madzhab istimewa. Sebenarnya ada beberapa orang yang bisa disebut sebagai representasi Mu'tazilah, tetapi mereka tidak Mu'tazilah penuh, mereka juga terafiliasikan ke madzhab lain. Orang-orang tersebut diantaranya adalah, Ibn Badran di Naisabur, Ibn Abi al-Hudud di Baghdad. Yang menggembirakan adalah Metode yang dipakai oleh Mu'tazilah banyak diadopsi oleh madzhab-madzhab lain, khususnya Zaidiyyah, al-Itsna Asyar dan al-Asya'iroh. Sebaliknya, Al-Asya'iroh dari waktu ke waktu semakin berkembang dan semakin mengukuhkan diri sebagai teologi mayor.[21] Dukungan para pakar fiqh yang dekat dengan penguasa cukup menentukan prestasi yang diraih oleh al-Asya'iroh.
 
4. Periode Kejumudan dan Kemunduran
 
            Masa ini dimulai sejak abad kesepuluh sampai sekarang. Kalau pada masa-sebelumnnya para teolog berhasil membuat inovasi-inovasi mengagumkan, maka pada masa ini para teolog tidak mampu mengembangkan teologi ke arah yang lebih progresif. Karya yang mampu diproduksi banyak berupa Syarh (penjelesan) atau komentar terhadap karya teolog lain. Kalaupun ada karya yang bersifat kritik biasanya mereka mendasarkan kritik tersebut pada teori terdahulu tanpa menawarkan sebuah teori atau inovasi baru.
            Pada masa ini teologi semakin didekatkan ke Tasawuf. Ruh rasional yang sempat hinggap di teologi dan pernah menjadikan teologi sebagai disiplin yang inspiratoris tergeser oleh ruh pasrah , suka kemapanan dan anti rasio. Kejumudan ini semakin dikukuhkan oleh sikap anti filsafat yang ditunjukkan sebagian besar generasi Islam. Sebenarnya sebab utama dari sikap itu adalah ketidak-tahuan mereka terhadap sejarah teologi yang mereka pelajari saat ini. Pembaharuan perlu dilakuakan, baik pembaharuan terhadap materi, metode dan teori.   
 
B. Dalil dalam Teologi
 
            Sebagaimana disiplin lain dalam tradisi Islam, teologi juga mempergunakan al-Naql (non-rasio) dan al-Aql (rasio) sebagai pijakan dan dalil pada setiap pembahasannya. Dalil mengantarkan kita pada al-madlul, al-madlul ke al-dal, al-dal ke al-mustadal, semua ini adalah aktifitas jiwa.
           
            1. Dalil Naqli             
 
            Hampir semua madzhab teologi Islam memakai dalil naqli baik sekedar untuk formalitas atau sungguh-sungguh untuk memperkuat pendapat mereka. Dalam disiplin teologi ketika disebut istilah 'dalil naqli' atau 'dalil sam'i', maka yang dimaksud adalah al-Quran, al-Hadits dan al-Ijma'. Madzhab Mu'tazilah pada awalnya juga mempergunakan dalil naqli sebagai salah satu pilar teologi mereka. Namun pada perjalanan selanjutnya mereka lebih berpegang pada dalil aqli. Perubahan ini mencapai puncaknya ketika Amr ibn Ubaid, salah satu tokoh Mu'tazilah, meragukan periwayatan dan para rawi hadits.[22]    
            Hal yang sama juga terjadi di al-Asya'iroh, hanya saja tidak separah Mu'tazilah. Dalam al-Asya'iroh posisi dalil naqli dan dalil aqli mengalami pasang surut juga. Pada periode pertama mereka cukup memegang teguh prinsip keseimbangan antara naqli dan aqli (walaupun banyak kalangan yang mengatakan bahwa a-Asy'ari lebih berat ke naqli), seperti yang dipraktekkan oleh al-Asy'ari dan al-Baqilani. Generasi selanjutnya membawa teologi asy'arian ke arah teologi yang didominasi aqli puncaknya ketika berada di tangan al-Razi. Pada periode berikutnya Juwaini berusaha menyeimbangkan antara naqli dan aqli.[23] Usaha-usaha tersebut di atas sebenarnya sebuah bentuk apresiasi terhadap fungsi naqli. Kalau kita jujur sebenarnya tanpa meremehkan dalil naqli--dalil aqli lebih banyak mempunyai banyak kelebihan. Banyak kendala yang mesti dihadapi ketika dalil naqli diterapkan apalagi diutamakan dalam disiplin ini.   
            Dalil naqli didasarkan pada penyerahan sepenuhnya terhadap Nash sebagai otoritas utama yang tidak mungkin dikritik atau ditolak. Ia adalah dalil yang berdimensi imani murni. Tentu saja dalil seperti ini jauh dari kadar ilmiah. Dia tidak mampu melaksanakan fungsi bela agama dari hujatan umat non-muslim dan hujatan akal kreatif atau nafsu dalam diri tiap insan. Semangat dialog tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna.[24] Titik tolak seperti ini mengingatkan kita pada periode kegelapan eropa yang menekankan iman (baca, menyerah) dulu baru berpikir dan kemudian aktifitas berpikir itu harus tetap dalam koridor iman tadi.
            Dalil naqli juga sering berbenturan dengan kendala bahasa, tafsir dan pemahaman. Nash bukanlah argumen rasional yang tanpa perlu dipikir, tapi ia adalah hal yang harus dipahami sesuai dengan kidah-kaidah bahasa, tafsir, metode-metode pemahaman. Nash itu sendiri bukanlah suatu argumen, tapi ia adalah bentuk pembacaan, pemahaman, penafsiran dalam masa dan tempat tertentu dan tidak bisa menjadi dalil naqli kecuali setelah tersusun. Dari sisi bahasa, misalnya. Bahasa tak lebih dari salah satu unsur berpikir yang hanya menunjukkan arti kalimat melalui tanda dan ritme nada. Ia hanyalah rumus, garis dan huruf. Padahal dalam teologi, indikator suatu lafadh tidak dapat memberikan sebuah keyakinan sebagaimana dalam Ushul al-Fiqh. Berdasarkan hal tersebut maka dalil naqli tidak bisa dijadikan dalil utama karena ia berpegang pada bahasa. Demikian pula halnya kendala yang akan dihadapi dalil naqli ketika dihadapka pada tafsir (cara pembacaan Nash).[25]                 
                           
2. Dalil Aqli
 
            Adalah hal yang maklum bahwa filsafat yunani mempunyai pengaruh besar terhadap pandangan kaum muslimin dalam teologi. Padangan para teolog muslim dalam dalil aqli banyak terinspirasi oleh buku karangan Plato yang berjudul "Timaeus." Tentu saja para teolog tersebut tidak mengambil secara utuh apa yang ada dalam 'Turats Yunani.' Mereka hanya mengambil unsur-unsur inti yang mencerminkan ruh pemikiran Yunani kemudian mencampurnya dengan unsur-unsur ketimuran.[26] Al-Qodli Abd. Jabbar, misalnya. Dalam salah satu uraiannya tentang al-Ushul al-Khomsah dia berkata:
 
            [...jika sudah jelas bahwa al-ajsam (hal-hal yang menempati ruang dan waktu) adalah hadits (baru, lawa qodim), maka harus ada yang menciptakannya. Pencipta itu tidak lain adalah Allah...][27]
                       
            Al-qodli Abd. Jabbar dalam frase di atas telah menggunakan bahasa (baca, cara) Plato dalam berargumen dengan bukti bahwa argumen semacam itu juga telah dipakai oleh Plato dalam buku 'Timaeus'.[28] Demikian pula yang terjadi pada al'Asy'ari ketika ia menjelaskan: [...Dia (Allah) mencipta tanpa mencontoh yang terdahulu.. ].[29] Argumen-argumen semacam ini banyak digunakan dalam Turats Yunani.
Dalam al-Quran juga disebutkan betapa penggunaan akal merupakan suatu keharusan dalam menjalani kehidupan ini, baik kehidupan lahir maupun batin (baca, keyakinan). Allah berfirman: Katakan! (hai Muhammad) renungkanlah apa yang ada di langit dan di bumi. (QS Yunus, ayat 101). Berdasarkan Fakta di atas maka adalah suatu yang wajar jika teologi ini harus menggunakan dalil-dalil aqli.
            Titik tolak dalil aqli merupakan kebalikan dari titik tolak dalil naqli. Jika dalil naqli bertolak dari sikap pasrah dan menerima secara mutlak terhadap nash yang dipergunakan sebagai dalil, maka dalil aqli diawali oleh akal yang berpegang pada argumen dan fakta. Akal akan mampu mencapai pemahaman pada Nash sebagaimana ia mampu mengatasi problem penafsiran leksikal atau materialistis. Akal adalah 'pewaris wahyu.' Ketika wahyu sudah sempurna, maka akal adalah 'evolusi' atas wahyu tersebut. Ketika Nash menjadi argumen aqli yang berdiri sendiri hingga kekuatan Nash tersebut tercermin dalam argumen aqli yang mengungkapkannya, maka argumen aqli itu akan dapat menyentuh nurani dan akan menuju pada ke ruh keharmonisan logis.[30]
            Dalam hal penggunaan dalil aqli aecara lebih mendalam sebagian madzhab cukup siap dan sebagian yang lain tidak. Al-Maturidiyyah lebih siap dan berani memulai pengunaan dalil aqli dari pada al-Asya'iroh. Hanya Mu'tazilah yang selalu siap sedia bahkan kadang terkesan kebablasan walaupun sebenarnya tidak seberapa.
            Penulis sengaja tidak membuat kesimpulan dalam makalah ini, karena makalah ini masih belum tuntas dan akan penulis lanjutkan pada diskusi mend     
           

 
 
[2] Lihat: Karen Armstrong, sejarah tuhan 155-156.
[3]  Al-Quran depag.
[4]  Awwad ibn Abdullah al-Mu'tiq, al_mu'tazilah wa ushuluhum al-Khomsah wa mauqif ahl al-Sunnah minha, Maktabah al-Rusyd, Riyadl, 1995, hal. 83.
[5] Hasan Mahmud al-Syafi'I, al-Madkhol ila Dirosah 'ilm al-Kalam, Maktabah Wahbah, Kairo, 1991, hal. 53.
[6]  Karen Armstrong, Islam: a Short HistoryAepintas Sejarah Islam, terj Ira Puspito Rini, (Yogyakarta, Ikon teralitera) 2002, hal. 42-44.
[7]  Kelompok Murji'ah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah murji'ah ekstrim. Mereka adalah golongan yang mentakwilkan nash-nash al-Quran sesuai denngan kepentingan mereka.
[8]  Hasan Mahmud al-Syafi'I, op. cit., hal. 60-61.
[9]  Ibid., hal.72.
[10]  Ibid., hal. 75-76.
[11]  Ibid., hal. 98.
[12]  Ibid., hal. 99.
[13]  Ibid., hal. 98-99.
[14]  Ibid., hal. 100.
[15]  Ibid., hal 100.
[16]  Al-Qodli Abd. Jabbar, Syarh Ushul al-Khomsah, Maktabah Wahbah, cet.I, 1965, hal.148.
[17]  Hasan Mahmud al-Syafi'I, op. cit., hal. 87.
[18]  Ibid., hal. 89-91.
[19]  Ibis., hal. 116.
[20]  Ibid., hal. 117
[21]  Ibid., hal 117-118
[22]  Ibid., hal 150
[23]  Ibid., hal. 153-159
[24]  Hasan Hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tsaurah, vol I, al-Markaz al-Tsaqofi al-Arabi, 1988, hal. 370.
[25]  Ibid., hal. 371
[26]  Mustafa Hasan al-Nasyar, Fikroh al-Uluhiyyah 'inda Aflathun wa atsaruha fi al-falsafah al-Islamiyyah wa al-Ghorbiyyah, Maktabah Madbuli, Kairo, hal. 267.
[27] Al-Qodli Abd. Jabbar, op. cit., hal. 112
[28]  Al-Nasyar, op. cit., hal. 269
[29]  Abu al-Hasan al-Asy'ari, Maqolat al-Islamiyyah, tahqiq M.Muhyiddin Abd. Hamid, vol I, Maktabah al-Nahdloh al-Mashriyyah 1969, hal. 235-236
[30]  Hasan Hanafi, op. cit., hal. 380-383