Senin, 14 November 2011

Penciptaan Alam Semesta Menurut Al Ghazali dan Ibnu Rusyd

Penciptaan Alam Semesta Menurut Al Ghazali dan Ibnu Rusyd

Rabu, 01 Desember 2010 13:31 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Al-Ghazali merupakan tokoh penentang dan penyanggah falsafa (filsafat Islam) yang paling brilian. Oliver Leaman dalam Pengantar Filsafat Islam menulis bahwa Al-Ghazali seringkali menyerang para filsuf dengan dasar argumen yang mereka pergunakan sendiri, sambil menyampaikan pendapatnya secara filosofis dengan menyatakan bahwa tesis-tesis utama mereka adalah tidak benar dilihat dari sudut-sudut dasar logika itu sendiri.

Sebagai contoh, dalam bukunya The Incoherence of the philosophers (Tahafut al-Falasifah), Al-Ghazali membentangkan dua puluh pernyataan yang ia coba buktikan kesalahannya. Tujuh belas di antaranya menimbulkan bid’ah karena dianggap menyimpang dari ajaran yang asli, yakni Alquran. Dan, tiga di antaranya benar-benar membuktikan apa yang ia ka tegorikan sebagai orang yang tidak beriman, bahkan dengan tuduhan yang lebih berat lagi.

Mengenai pandangan yang keliru dari para filsuf ini, Al-Ghazali mengungkapkan pendapatnya sebagaimana ia paparkan dalam bukunya yang berjudul Munqidh min adh-Dhalal bahwa “kekeliruan para filsuf terdapat dalam ilmu-ilmu metafisik. Karena ternyata mereka tidak dapat memberikan bukti-bukti yang pasti menurut persyaratan yang mereka perkirakan ada dalam logika. Maka, dalam banyak hal mereka berbeda pendapat dalam persoalan-persoalan metafisik. Ajaran Aristoteles tentang masalah-masalah ini, sebagaimana yang dilansir oleh Farabi dan Ibnu Sina, mendekati inti pokok ajaran filsafat Islam”.

Salah satu filsuf Muslim yang mendapat kritikan dari Al-Ghazali adalah Ibnu Rusyd. Menurut Leaman, silang pendapat antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd sangat menarik karena argumen-argumen yang disampaikan oleh keduanya selalu melahirkan masalah-masalah khusus yang bersifat kontroversial. Contohnya adalah perdebatan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd tentang penciptaan alam.

Tentang penciptaan alam, Al-Ghazali mempunyai konsep yang sangat berbeda dari konsepsi yang dimiliki para filsuf Muslim. Para filsuf Muslim, termasuk Ibnu Rusyd, berpendapat bahwa alam itu azali, atau qadim, yakni tidak bermula dan tidak pernah ada. Sementara itu, Al-Ghazali berpikir sebaliknya.

Bagi Al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim, mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadim-nya alam membawa kepada simpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan Tuhan. Dan, ini berarti bertentangan dengan ajaran Alquran yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya).

Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam, alam ada di samping adanya Tuhan. Sebaliknya, bagi para filsuf Muslim, paham bahwa alam itu qadim sedikit pun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Menurut mereka, alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakannya sejak azali/qadim. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan alam.

Gambaran bahwa pada awalnya Tuhan tidak mencipta, kemudian baru menciptakan alam, menurut para filsuf Muslim, menunjukkan berubahnya Tuhan. Tuhan, menurut mereka, mustahil berubah, dan oleh sebab itu mustahil pula Tuhan berubah dari pada awalnya tidak atau belum mencipta, kemudian mencipta.

Dalam rangka menangkis serangan Al-Ghazali terhadap paham qadim-nya alam, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham itu tidak bertentangan dengan ajaran Alquran. Bahkan sebaliknya, pendapat para teolog yang mengatakan bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada, justru tidak mempunyai dasar dalam Alquran.

Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat Alquran (QS 11: 7; QS 41: 11; dan QS 21: 30) dapat diambil simpulan bahwa alam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada (al-'adam), tapi dari sesuatu yang telah ada. Ia mengungkapkan hal ini dalam kitabnya Tahafut Tahafut al-Falasifah (Kehancuran bagi Orang yang Menghancurkan Filsafat). Selain itu, ia mengingatkan bahwa paham qadim-nya alam tidaklah harus membawa kepada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau dijadikan oleh Tuhan.

Sementara itu, menurut Sulaiman Dunya dalam pengantarnya tentang "Al-Ghazali: Biografi dan Pemikirannya", dalam Terjemahan Tahafut al-Falasifah, karya Al-Ghazali ini belum menggambarkan secara keseluruhan pemikiran Al-Ghazali. Sebab, komentar AlGhazali tentang kehancuran para filsuf ini, kata Sulaiman, sebelum ia mendapatkan pencerahan petunjuk mengenai `ketersingkapan tabir­sufistik' (al-kasyf ash-Shufiyyah). Maksudnya, secara keseluruhan AlGhazali menerima pemikiran filsafat selama pandangan itu sesuai dengan pandangan Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW

PENCIPTAAN ALAM SEMESTA DARI KETIADAAN

PENCIPTAAN ALAM SEMESTA DARI KETIADAAN

Dalam bentuk standarnya, teori Dentuman Besar (Big Bang) mengasumsikan bahwa semua bagian jagat raya mulai mengembang secara serentak. Namun bagaimana semua bagian jagat raya yang berbeda bisa menyelaraskan awal pengembangan mereka? Siapa yang memberikan perintah?
(Andre Linde, Profesor Kosmologi.) 2

Seabad yang lalu, penciptaan alam semesta adalah sebuah konsep yang diabaikan para ahli astronomi. Alasannya adalah penerimaan umum atas gagasan bahwa alam semesta telah ada sejak waktu tak terbatas. Dalam mengkaji alam semesta, ilmuwan beranggapan bahwa jagat raya hanyalah akumulasi materi dan tidak mempunyai awal. Tidak ada momen "penciptaan", yakni momen ketika alam semesta dan segala isinya muncul.
Gagasan "keberadaan abadi" ini sesuai dengan pandangan orang Eropa yang berasal dari filsafat materialisme. Filsafat ini, yang awalnya dikembangkan di dunia Yunani kuno, menyatakan bahwa materi adalah satu-satunya yang ada di jagat raya dan jagat raya ada sejak waktu tak terbatas dan akan ada selamanya. Filsafat ini bertahan dalam bentuk-bentuk berbeda selama zaman Romawi, namun pada akhir kekaisaran Romawi dan Abad Pertengahan, materialisme mulai mengalami kemunduran karena pengaruh filsafat gereja Katolik dan Kristen. Setelah Renaisans, materialisme kembali mendapatkan penerimaan luas di antara pelajar dan ilmuwan Eropa, sebagian besar karena kesetiaan mereka terhadap filsafat Yunani kuno.

Filsuf Jerman, Immanuel Kant adalah orang pertama yang mengajukan pernyataan "alam semesta tanpa batas" pada Zaman Baru. Tetapi penemuan ilmiah menggugurkan pernyataan Kant.
Immanuel Kant-lah yang pada masa Pencerahan Eropa, menyatakan dan mendukung kembali materialisme. Kant menyatakan bahwa alam semesta ada selamanya dan bahwa setiap probabilitas, betapapun mustahil, harus dianggap mungkin. Pengikut Kant terus mempertahankan gagasannya tentang alam semesta tanpa batas beserta materialisme. Pada awal abad ke-19, gagasan bahwa alam semesta tidak mempunyai awal- bahwa tidak pernah ada momen ketika jagat raya diciptakan-secara luas diterima. Pandangan ini dibawa ke abad ke-20 melalui karya-karya materialis dialektik seperti Karl Marx dan Friedrich Engels.
Pandangan tentang alam semesta tanpa batas sangat sesuai dengan ateisme. Tidak sulit melihat alasannya. Untuk meyakini bahwa alam semesta mempunyai permulaan, bisa berarti bahwa ia diciptakan dan itu berarti, tentu saja, memerlukan pencipta, yaitu Tuhan. Jauh lebih mudah dan aman untuk menghindari isu ini dengan mengajukan gagasan bahwa "alam semesta ada selamanya", meskipun tidak ada dasar ilmiah sekecil apa pun untuk membuat klaim seperti itu. Georges Politzer, yang mendukung dan mempertahankan gagasan ini dalam buku-bukunya yang diterbitkan pada awal abad ke-20, adalah pendukung setia Marxisme dan Materialisme.
Dengan mempercayai kebenaran model "jagat raya tanpa batas", Politzer menolak gagasan penciptaan dalam bukunya Principes Fondamentaux de Philosophie ketika dia menulis:
Alam semesta bukanlah objek yang diciptakan, jika memang demikian, maka jagat raya harus diciptakan secara seketika oleh Tuhan dan muncul dari ketiadaan. Untuk mengakui penciptaan, orang harus mengakui, sejak awal, keberadaan momen ketika alam semesta tidak ada, dan bahwa sesuatu muncul dari ketiadaan. Ini pandangan yang tidak bisa diterima sains.3
Politzer menganggap sains berada di pihaknya dalam pembelaannya terhadap gagasan alam semesta tanpa batas. Kenyataannya, sains merupakan bukti bahwa jagat raya sungguh-sungguh mempunyai permulaan. Dan seperti yang dinyatakan Politzer sendiri, jika ada penciptaan maka harus ada penciptanya.

Pengembangan Alam Semesta dan Penemuan Dentuman Besar
Tahun 1920-an adalah tahun yang penting dalam perkembangan astronomi modern. Pada tahun 1922, ahli fisika Rusia, Alexandra Friedman, menghasilkan perhitungan yang menunjukkan bahwa struktur alam semesta tidaklah statis dan bahwa impuls kecil pun mungkin cukup untuk menyebabkan struktur keseluruhan mengembang atau mengerut menurut Teori Relativitas Einstein. George Lemaitre adalah orang pertama yang menyadari apa arti perhitungan Friedman. Berdasarkan perhitungan ini, astronomer Belgia, Lemaitre, menyatakan bahwa alam semesta mempunyai permulaan dan bahwa ia mengembang sebagai akibat dari sesuatu yang telah memicunya. Dia juga menyatakan bahwa tingkat radiasi (rate of radiation) dapat digunakan sebagai ukuran akibat (aftermath) dari "sesuatu" itu.

Edwin Hubble menemukan bahwa alam semesta mengembang. Pada akhirnya dia menemukan bukti "Ledakan Besar", peristiwa besar yang penemuannya memaksa ilmuwan meninggalkan anggapan alam semesta tanpa batas dan abadi.
Pemikiran teoretis kedua ilmuwan ini tidak menarik banyak perhatian dan barangkali akan terabaikan kalau saja tidak ditemukan bukti pengamatan baru yang mengguncangkan dunia ilmiah pada tahun 1929. Pada tahun itu, astronomer Amerika, Edwin Hubble, yang bekerja di Observatorium Mount Wilson California, membuat penemuan paling penting dalam sejarah astronomi. Ketika mengamati sejumlah bintang melalui teleskop raksasanya, dia menemukan bahwa cahaya bintang-bintang itu bergeser ke arah ujung merah spektrum, dan bahwa pergeseran itu berkaitan langsung dengan jarak bintang-bintang dari bumi. Penemuan ini mengguncangkan landasan model alam semesta yang dipercaya saat itu.
Menurut aturan fisika yang diketahui, spektrum berkas cahaya yang mendekati titik observasi cenderung ke arah ungu, sementara spektrum berkas cahaya yang menjauhi titik observasi cenderung ke arah merah. (Seperti suara peluit kereta yang semakin samar ketika kereta semakin jauh dari pengamat). Pengamatan Hubble menunjukkan bahwa menurut hukum ini, benda-benda luar angkasa menjauh dari kita. Tidak lama kemudian, Hubble membuat penemuan penting lagi; bintang-bintang tidak hanya menjauh dari bumi; mereka juga menjauhi satu sama lain. Satu-satunya kesimpulan yang bisa diturunkan dari alam semesta di mana segala sesuatunya saling menjauh adalah bahwa alam semesta dengan konstan "mengembang".
Hubble menemukan bukti pengamatan untuk sesuatu yang telah "diramalkan" George Lamaitre sebelumnya, dan salah satu pemikir terbesar zaman kita telah menyadari ini hampir lima belas tahun lebih awal. Pada tahun 1915, Albert Einstein telah menyimpulkan bahwa alam semesta tidak mungkin statis dengan perhitungan-perhitungan berdasarkan teori relativitas yang baru ditemukannya (yang mengantisipasi kesimpulan Friedman dan Lemaitre). Terkejut oleh temuannya, Einstein menambahkan "konstanta kosmologis" pada persamaannya agar muncul "jawaban yang benar", karena para ahli astronomi meyakinkan dia bahwa alam semesta itu statis dan tidak ada cara lain untuk membuat persamaannya sesuai dengan model seperti itu. Beberapa tahun kemudian, Einstein mengakui bahwa konstanta kosmologis ini adalah kesalahan terbesar dalam karirnya.
Penemuan Hubble bahwa alam semesta mengembang memunculkan model lain yang tidak membutuhkan tipuan untuk menghasilkan persamaan sesuai dengan keinginan. Jika alam semesta semakin besar sejalan dengan waktu, mundur ke masa lalu berarti alam semesta semakin kecil; dan jika seseorang bisa mundur cukup jauh, segala sesuatunya akan mengerut dan bertemu pada satu titik. Kesimpulan yang harus diturunkan dari model ini adalah bahwa pada suatu saat, semua materi di alam semesta ini terpadatkan dalam massa satu titik yang mempunyai "volume nol" karena gaya gravitasinya yang sangat besar. Alam semesta kita muncul dari hasil ledakan massa yang mempunyai volume nol ini. Ledakan ini mendapat sebutan "Dentuman Besar" dan keberadaannya telah berulang-ulang ditegaskan dengan bukti pengamatan.
Ada kebenaran lain yang ditunjukkan Dentuman Besar ini. Untuk mengatakan bahwa sesuatu mempunyai volume nol adalah sama saja dengan mengatakan sesuatu itu "tidak ada". Seluruh alam semesta diciptakan dari "ketidakadaan" ini. Dan lebih jauh, alam semesta mempunyai permulaan, berlawanan dengan pendapat materialisme, yang mengatakan bahwa "alam semesta sudah ada selamanya".

Hipotesis "Keadaan-Stabil"
Teori Dentuman Besar dengan cepat diterima luas oleh dunia ilmiah karena bukti-bukti yang jelas. Namun, para ahli astronomi yang memihak materialisme dan setia pada gagasan alam semesta tanpa batas yang dituntut paham ini menentang Dentuman Besar dalam usaha mereka mempertahankan doktrin fundamental ideologi mereka. Alasan mereka dijelaskan oleh ahli astronomi Inggris, Arthur Eddington, yang berkata, "Secara filosofis, pendapat tentang permulaan yang tiba-tiba dari keteraturan alam sekarang ini bertentangan denganku."4
Ahli astronomi lain yang menentang teori Dentuman Besar adalah Fred Hoyle. Sekitar pertengahan abad ke-20 dia mengemukakan sebuah model baru yang disebutnya "keadaan-stabil", yang tak lebih suatu perpanjangan gagasan abad ke-19 tentang alam semesta tanpa batas. Dengan menerima bukti-bukti yang tidak bisa disangkal bahwa jagat raya mengembang, dia berpendapat bahwa alam semesta tak terbatas, baik dalam dimensi maupun waktu. Menurut model ini, ketika jagat raya mengembang, materi baru terus-menerus muncul dengan sendirinya dalam jumlah yang tepat sehingga alam semesta tetap berada dalam "keadaan-stabil". Dengan satu tujuan jelas mendukung dogma "materi sudah ada sejak waktu tak terbatas", yang merupakan basis filsafat materialis, teori ini mutlak bertentangan dengan "teori Dentuman Besar", yang menyatakan bahwa alam semesta mempunyai permulaan. Pendukung teori keadaan-stabil Hoyle tetap berkeras menentang Dentuman Besar selama bertahun-tahun. Namun, sains menyangkal mereka.

Kemenangan Dentuman Besar
Pada tahun 1948, George Gamov mengembangkan perhitungan George Lemaitre lebih jauh dan menghasilkan gagasan baru mengenai Dentuman Besar. Jika alam semesta terbentuk dalam sebuah ledakan besar yang tiba-tiba, maka harus ada sejumlah tertentu radiasi yang ditinggalkan dari ledakan tersebut. Radiasi ini harus bisa dideteksi, dan lebih jauh, harus sama di seluruh alam semesta.

Pernyataan Sir Arthur Eddington bahwa "pendapat tentang permulaan yang tiba-tiba dari keteraturan alam sekarang ini bertentangan denganku," adalah pengakuan bahwa Ledakan Besar telah menimbulkan keresahan di kalangan materialis.
Dalam dua dekade, bukti pengamatan dugaan Gamov diperoleh. Pada tahun 1965, dua peneliti bernama Arno Penzias dan Robert Wilson menemukan sebentuk radiasi yang selama ini tidak teramati. Disebut "radiasi latar belakang kosmik", radiasi ini tidak seperti apa pun yang berasal dari seluruh alam semesta karena luar biasa seragam. Radiasi ini tidak dibatasi, juga tidak mempunyai sumber tertentu; alih-alih, radiasi ini tersebar merata di seluruh jagat raya. Segera disadari bahwa radiasi ini adalah gema Dentuman Besar, yang masih menggema balik sejak momen pertama ledakan besar tersebut. Gamov telah mengamati bahwa frekuensi radiasi hampir mempunyai nilai yang sama dengan yang telah diperkirakan oleh para ilmuwan sebelumnya. Penzias dan Wilson dianugerahi hadiah Nobel untuk penemuan mereka.
Pada tahun 1989, George Smoot dan tim NASA-nya meluncurkan sebuah satelit ke luar angkasa. Sebuah instrumen sensitif yang disebut "Cosmic Background Emission Explorer" (COBE) di dalam satelit itu hanya memerlukan delapan menit untuk mendeteksi dan menegaskan tingkat radiasi yang dilaporkan Penzias dan Wilson. Hasil ini secara pasti menunjukkan keberadaan bentuk rapat dan panas sisa dari ledakan yang menghasilkan alam semesta. Kebanyakan ilmuwan mengakui bahwa COBE telah berhasil menangkap sisa-sisa Dentuman Besar.

Radiasi Latar Belakang Kosmik yang ditemukan oleh Penzias dan Wilson dianggap sebagai bukti Ledakan Besar yang tak terbantahkan oleh dunia ilmiah.
Ada lagi bukti-bukti yang muncul untuk Dentuman Besar. Salah satunya berhubungan dengan jumlah relatif hidrogen dan helium di alam semesta. Pengamatan menunjukkan bahwa campuran kedua unsur ini di alam semesta sesuai dengan perhitungan teoretis dari apa yang seharusnya tersisa setelah Dentuman Besar. Bukti itu memberikan tusukan lagi ke jantung teori keadaan-stabil karena jika jagat raya sudah ada selamanya dan tidak mempunyai permulaan, semua hidrogennya telah terbakar menjadi helium.
Dihadapkan pada bukti seperti itu, Dentuman Besar memperoleh persetujuan dunia ilmiah nyaris sepenuhnya. Dalam sebuah artikel edisi Oktober 1994, Scientific American menyatakan bahwa model Dentuman Besar adalah satu-satunya yang dapat menjelaskan pengembangan terus menerus alam semesta dan hasil-hasil pengamatan lainnya.
Setelah mempertahankan teori Keadaan-Stabil bersama Fred Hoyle, Dennis Sciama menggambarkan dilema mereka di hadapan bukti Dentuman Besar. Dia berkata bahwa semula dia mendukung Hoyle, namun setelah bukti mulai menumpuk, dia harus mengakui bahwa pertempuran telah usai dan bahwa teori keadaan-stabil harus ditinggalkan.5

Siapa yang Menciptakan Alam Semesta dari Ketiadaan?
Dengan kemenangan Dentuman Besar, tesis "alam semesta tanpa batas", yang membentuk basis bagi dogma materialis, dibuang ke tumpukan sampah sejarah. Namun bagi materialis, muncul pula dua pertanyaan yang tidak mengenakkan: Apa yang sudah ada sebelum Dentuman Besar? Dan kekuatan apa yang telah menyebabkan Dentuman Besar sehingga memunculkan alam semesta yang tidak ada sebelumnya?
Materialis seperti Arthur Eddington menyadari bahwa jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini dapat mengarah pada keberadaan pencipta agung dan itu tidak mereka sukai. Filsuf ateis, Anthony Flew, mengomentari masalah ini:
Jelas sekali, pengakuan itu baik bagi jiwa. Oleh karena itu, saya akan mulai dengan mengakui bahwa penganut ateis Stratonis harus merasa malu dengan konsensus kosmologis dewasa ini. Karena tampaknya para ahli kosmologi menyediakan bukti ilmiah untuk apa yang dianggap St. Thomas tidak terbukti secara filosofis; yaitu, bahwa alam semesta mempunyai permulaan. Selama alam semesta dapat dengan mudah dianggap tidak hanya tanpa akhir, namun juga tanpa permulaan, akan tetap mudah untuk mendesak bahwa keberadaannya yang tiba-tiba, dan apa pun yang ditemukan menjadi ciri-cirinya yang paling mendasar, harus diterima sebagai penjelasan akhir. Meskipun saya mempercayai bahwa teori itu (alam semesta tanpa batas) masih benar, tentu saja tidak mudah atau nyaman untuk mempertahankan posisi ini di hadapan kisah Dentuman Besar.6
Banyak ilmuwan yang tidak mau memaksakan diri menjadi ateis menerima dan mendukung keberadaan pencipta yang mempunyai kekuatan tak terbatas. Misalnya, ahli astrofisika Amerika, Hugh Ross, menyatakan Pencipta jagat raya, yang berada di atas segala dimensi fisik, sebagai:
Secara definisi, waktu adalah dimensi di mana fenomena sebab-dan-akibat terjadi. Tidak ada waktu, tidak ada sebab dan akibat. Jika permulaan waktu sama dengan permulaan alam semesta, seperti yang dikatakan teorema ruang-waktu, maka sebab alam semesta haruslah entitas yang bekerja dalam dimensi waktu yang sepenuhnya mandiri dan hadir lebih dulu daripada dimensi waktu kosmos... ini berarti bahwa Pencipta itu transenden, bekerja di luar batasan-batasan dimensi alam semesta. Ini berarti bahwa Tuhan bukan alam semesta itu sendiri, dan Tuhan juga tidak berada di dalam alam semesta.7

Penolakan terhadap Penciptaan dan Mengapa Teori-Teori Itu Bercacat
Sangat jelas bahwa Dentuman Besar berarti penciptaan alam semesta dari ketiadaan dan ini pasti bukti keberadaan pencipta yang berkehendak. Mengenai fakta ini, beberapa ahli astronomi dan fisika materialis telah mencoba mengemukakan penjelasan alternatif untuk membantah kenyataan ini. Rujukan sudah dibuat dari teori keadaan-stabil dan ditunjukkan ke mana kaitannya, oleh mereka yang tidak merasa nyaman dengan pendapat "penciptaan dari ketiadaan" meskipun bukti berbicara lain, sebagai usaha mempertahankan filsafat mereka.
Ada pula sejumlah model yang telah dikemukakan oleh materialis yang menerima teori Dentuman Besar namun mencoba melepaskannya dari gagasan penciptaan. Salah satunya adalah model alam semesta "berosilasi"; dan yang lainnya adalah "model alam semesta kuantum". Mari kita kaji teori-teori ini dan melihat mengapa keduanya tidak berdasar.
Model alam semesta berosilasi dikemukakan oleh para ahli astronomi yang tidak menyukai gagasan bahwa Dentuman Besar adalah permulaan alam semesta. Dalam model ini, dinyatakan bahwa pengembangan alam semesta sekarang ini pada akhirnya akan membalik pada suatu waktu dan mulai mengerut. Pengerutan ini akan menyebabkan segala sesuatu runtuh ke dalam satu titik tunggal yang kemudian akan meledak lagi, memulai pengembangan babak baru. Proses ini, kata mereka, berulang dalam waktu tak terbatas. Model ini juga menyatakan bahwa alam semesta sudah mengalami transformasi ini tak terhingga kali dan akan terus demikian selamanya. Dengan kata lain, alam semesta ada selamanya namun mengembang dan runtuh pada interval berbeda dengan ledakan besar menandai setiap siklusnya. Alam semesta tempat kita tinggal merupakan salah satu alam semesta tanpa batas itu yang sedang melalui siklus yang sama.
Ini tak lebih dari usaha lemah untuk menyelaraskan fakta Dentuman Besar terhadap pandangan tentang alam semesta tanpa batas. Skenario tersebut tidak didukung oleh hasil-hasil riset ilmiah selama 15-20 tahun terakhir, yang menunjukkan bahwa alam semesta yang berosilasi seperti itu tidak mungkin terjadi. Lebih jauh, hukum-hukum fisika tidak bisa menerangkan mengapa alam semesta yang mengerut harus meledak lagi setelah runtuh ke dalam satu titik tunggal: ia harus tetap seperti apa adanya. Hukum-hukum fisika juga tidak bisa menerangkan mengapa alam semesta yang mengembang harus mulai mengerut lagi.8
Bahkan kalaupun kita menerima bahwa mekanisme yang membuat siklus mengerut-meledak-mengembang ini benar-benar ada, satu hal penting adalah bahwa siklus ini tidak bisa berlanjut selamanya, seperti anggapan mereka. Perhitungan untuk model ini menunjukkan bahwa setiap alam semesta akan mentransfer sejumlah entropi kepada alam semesta berikutnya. Dengan kata lain, jumlah energi berguna yang tersedia menjadi berkurang setiap kali, dan setiap alam semesta akan terbuka lebih lambat dan mempunyai diameter lebih besar. Ini akan menyebabkan alam semesta yang terbentuk pada babak berikutnya menjadi lebih kecil dan begitulah seterusnya, sampai pada akhirnya menghilang menjadi ketiadaan. Bahkan jika alam semesta "buka dan tutup" ini dapat terjadi, mereka tidak bertahan selamanya. Pada satu titik, akan diperlukan "sesuatu" untuk diciptakan dari "ketiadaan".9
Singkatnya, model alam semesta "berosilasi" merupakan fantasi tanpa harapan yang realitas fisiknya tidak mungkin.
"Model alam semesta kuantum" adalah usaha lain untuk membersihkan teori Dentuman Besar dari implikasi penciptaannya. Pendukung model ini mendasarkannya pada observasi fisika kuantum (subatomik). Dalam fisika kuantum, diamati bahwa partikel-partikel subatomik muncul dan menghilang secara spontan dalam ruang hampa. Menginterpretasikan pengamatan ini sebagai "materi dapat muncul pada tingkat kuantum, ini merupakan sebuah sifat yang berkenaan dengan materi", beberapa ahli fisika mencoba menjelaskan asal materi dari ketiadaan selama penciptaan alam semesta sebagai "sifat yang berkenaan dengan materi" dan menyatakannya sebagai bagian dari hukum-hukum alam. Dalam model ini, alam semesta kita diinterpretasikan sebagai partikel subatomik di dalam partikel yang lebih besar.
Akan tetapi, silogisme ini sama sekali tidak mungkin dan bagaimanapun tidak bisa menjelaskan bagaimana alam semesta terjadi. William Lane Craig, penulis The Big Bang: Theism and Atheism, menjelaskan alasannya:
Ruang hampa mekanis kuantum yang menghasilkan partikel materi adalah jauh dari gagasan umum tentang "ruang hampa" (yang berarti tidak ada apa-apa). Melainkan, ruang hampa kuantum adalah lautan partikel yang terus-menerus terbentuk dan menghilang, yang meminjam energi dari ruang hampa untuk keberadaan mereka yang singkat. Ini bukan "ketiadaan", sehingga partikel materi tidak muncul dari "ketiadaan".10
Jadi, dalam fisika kuantum, materi "tidak ada kalau sebelumnya tidak ada." Yang terjadi adalah bahwa energi lingkungan tiba-tiba menjadi materi dan tiba-tiba pula menghilang menjadi energi lagi. Singkatnya, tidak ada kondisi "keberadaan dari ketiadaan" seperti klaim mereka.
Dalam fisika, tidak lebih sedikit daripada yang terdapat dalam cabang-cabang ilmu alam lain, terdapat ilmuwan-ilmuwan ateis yang tidak ragu menyamarkan kebenaran dengan mengabaikan titik-titik kritis dan detail-detail dalam usaha mereka mendukung pandangan materialis dan mencapai tujuan mereka. Bagi mereka, jauh lebih penting mempertahankan materialisme dan ateisme daripada mengungkapkan fakta-fakta dan kenyataan ilmiah.
Dihadapkan pada realitas yang disebutkan di atas, kebanyakan ilmuwan membuang model alam semesta kuantum. C.J Isham menjelaskan bahwa "model ini tidak diterima secara luas karena kesulitan-kesulitan yang dibawanya." 11 Bahkan sebagian pencetus gagasan ini, seperti Brout dan Spindel, telah meninggalkannya.12
Sebuah versi terbaru yang dipublikasikan lebih luas dari model alam semesta kuantum diajukan oleh ahli fisika, Stephen Hawking. Dalam bukunya, A Brief History of Time, Hawking menyatakan bahwa Dentuman Besar tidak harus berarti keberadaan dari ketiadaan. Alih-alih "tiada waktu" sebelum Dentuman Besar, Hawking mengajukan konsep "waktu imajiner". Menurut Hawking, hanya ada selang waktu imajiner 1043 detik sebelum Dentuman Besar terjadi dan waktu "nyata" terbentuk setelah itu. Harapan Hawking ha nyalah untuk mengabaikan kenyataan "ketiadaan waktu" (timelessness) sebelum Dentuman Besar dengan gagasan waktu "imajiner" ini.

Stephen Hawking juga mencoba mengajukan penjelasan berbeda untuk Ledakan Besar selain Penciptaan seperti yang dilakukan ilmuwan materialis lainnya dengan mengandalkan kontradiksi dan konsep keliru.
Sebagai sebuah konsep, "waktu imajiner" sama saja dengan nol atau seperti "tidak ada"nya jumlah imajiner orang dalam ruangan atau jumlah imajiner mobil di jalan. Di sini Hawking hanya bermain dengan kata-kata. Dia menyatakan bahwa persamaan itu benar kalau mereka dihubungkan dengan waktu imajiner, namun kenyataannya ini tidak ada artinya. Ahli matematika, Sir Herbert Dingle, menyebut kemungkinan memalsukan hal-hal imajiner sebagai hal nyata dalam matematika sebagai:
Dalam bahasa matematika, kita bisa mengatakan kebohongan di samping kebenaran, dan dalam cakupan matematika sendiri, tidak ada cara yang mungkin untuk membedakan satu dengan lainnya. Kita dapat membedakan keduanya hanya dengan pengalaman atau dengan penalaran di luar matematika, yang diterapkan pada hubungan yang mungkin antara solusi matematika dan korelasi fisiknya.13
Singkatnya, solusi imajiner atau teoretis matematika tidak perlu mengandung konsekuensi benar atau nyata. Menggunakan sifat yang hanya dimiliki matematika, Hawking menghasilkan hipotesis yang tidak berkaitan dengan kenyataan. Namun apa alasan yang mendorongnya melakukan ini? Hawking mengakui bahwa dia lebih menyukai model alam semesta selain dari Dentuman Besar karena yang terakhir ini "mengisyaratkan penciptaan ilahiah", dan model-model seperti itu dirancang untuk ditentang.14
Semua ini menunjukkan bahwa model alternatif dari Dentuman Besar, seperti keadaan-stabil, model alam semesta berosilasi, dan model alam semesta kuantum, kenyataannya timbul dari prasangka filosofis materialis. Penemuan-penemuan ilmiah telah menunjukkan realitas Dentuman Besar dan bahkan dapat menjelaskan "keberadaan dari ketiadaan". Dan ini merupakan bukti sangat kuat bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah, satu hal yang mentah-mentah ditolak materialis.
Sebuah contoh penolakan Dentuman Besar bisa ditemukan dalam esai oleh John Maddox, editor majalah Nature (majalah materialis), yang muncul pada tahun 1989. Dalam "Down with the Big Bang", Maddox menyatakan Dentuman Besar tidak dapat diterima secara filosofis karena teori ini membantu teologis dengan menyediakan dukungan kuat untuk gagasan-gagasan mereka. Penulis itu juga meramalkan bahwa Dentuman Besar akan runtuh dan bahwa dukungan untuknya akan menghilang dalam satu dekade.15 Maddox hanya bisa merasa semakin resah karena penemuan-penemuan selama sepuluh tahun berikutnya memberikan bukti semakin kuat akan keberadaan Dentuman Besar.
Sebagian materialis bertindak dengan lebih menggunakan akal sehat mengenai hal ini. Materialis Inggris, H.P. Lipson menerima kebenaran penciptaan, meskipun "tidak dengan senang hati", ketika dia berkata:
Jika materi hidup bukan disebabkan oleh interaksi atom-atom, kekuatan alam, dan radiasi, bagaimana dia muncul?.... Namun saya pikir, kita harus... mengakui bahwa satu-satunya penjelasan yang bisa diterima adalah penciptaan. Saya tahu bahwa ini sangat dibenci para ahli fisika, demikian pula saya, namun kita tidak boleh menolak apa yang tidak kita sukai jika bukti eksperimental mendukungnya.16
Sebagai kesimpulan, kebenaran yang terungkap oleh ilmu alam adalah: Materi dan waktu telah dimunculkan menjadi ada oleh pemilik kekuatan besar yang mandiri, oleh Pencipta. Allah, Pemilik kekuatan, pengetahuan, dan kecerdasan mutlak, telah menciptakan alam semesta tempat tinggal kita.

Tanda-Tanda Al Quran
Selain menjelaskan alam semesta, model Dentuman Besar mempunyai implikasi penting lain. Seperti yang ditunjukkan dalam kutipan dari Anthony Flew di atas, ilmu alam telah membuktikan pandangan yang selama ini hanya didukung oleh sumber-sumber agama.
Kebenaran yang dipertahankan oleh sumber-sumber agama adalah realitas penciptaan dari ketiadaan. Ini telah dinyatakan dalam kitab-kitab suci yang telah berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi manusia selama ribuan tahun. Dalam semua kitab suci seperti Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan Al Quran, dinyatakan bahwa alam semesta dan segala isinya diciptakan dari ketiadaan oleh Allah.
Dalam satu-satunya kitab yang diturunkan Allah yang telah bertahan sepenuhnya utuh, Al Quran, ada pernyataan tentang penciptaan alam semesta dari ketiadaan, di samping bagaimana kemunculannya sesuai dengan ilmu pengetahuan abad ke-20, meskipun diungkapkan 14 abad yang lalu.
Pertama, penciptaan alam semesta dari ketiadaan diungkapkan dalam Al Quran sebagai berikut:
"Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu." (QS. Al An'aam, 6: 101)
Aspek penting lain yang diungkapkan dalam Al Quran empat belas abad sebelum penemuan modern Dentuman Besar dan temuan-temuan yang berkaitan dengannya adalah bahwa ketika diciptakan, alam semesta menempati volume yang sangat kecil:
"Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (QS. Al Anbiyaa', 21: 30)
Terjemahan ayat di atas mengandung pemilihan kata yang sangat penting dalam bahasa aslinya, bahasa Arab. Kata ratk diterjemahkan sebagai "suatu yang padu" yang berarti "bercampur, bersatu" dalam kamus bahasa Arab. Kata itu digunakan untuk merujuk dua zat berbeda yang menjadi satu. Frasa "Kami pisahkan" diterjemahkan dari kata kerja bahasa Arab, fatk yang mengandung makna bahwa sesuatu terjadi dengan memisahkan atau menghancurkan struktur ratk. Tumbuhnya biji dari tanah adalah salah satu tindakan yang menggunakan kata kerja ini.
Mari kita tinjau lagi ayat tersebut dengan pengetahuan ini di benak kita. Dalam ayat itu, langit dan bumi pada mulanya berstatus ratk. Mereka dipisahkan (fatk) dengan satu muncul dari yang lainnya. Menariknya, para ahli kosmologi berbicara tentang "telur kosmik" yang mengandung semua materi di alam semesta sebelum Dentuman Besar. Dengan kata lain, semua langit dan bumi terkandung dalam telur ini dalam kondisi ratk. Telur kosmik ini meledak dengan dahsyat menyebabkan materinya menjadi fatk dan dalam proses itu terciptalah struktur keseluruhan alam semesta.
Kebenaran lain yang terungkap dalam Al Quran adalah pengembangan jagat raya yang ditemukan pada akhir tahun 1920-an. Penemuan Hubble tentang pergeseran merah dalam spektrum cahaya bintang diungkapkan dalam Al Quran sebagai berikut:
"Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesung-guhnya Kami benar-benar meluaskannya." (QS. Adz-Dzaariyat, 51: 47)
Singkatnya, temuan-temuan ilmu alam modern mendukung kebenaran yang dinyatakan dalam Al Quran dan bukan dogma materialis. Materialis boleh saja menyatakan bahwa semua itu "kebetulan", namun fakta yang jelas adalah bahwa alam semesta terjadi sebagai hasil penciptaan dari pihak Allah dan satu-satunya pengetahuan yang benar tentang asal mula alam semesta ditemukan dalam firman Allah yang diturunkan kepada kita.
 
   
    
2. Andrei Linde, "The Self-Reproducing Inflationary Universe", Scientific American, vol. 271, 1994, hlm. 48 
3. George Politzer, Principes Fondamentaux de Philosophie, Editions Sociales, Paris 1954 ,hlm. 84 
4. S. Jaki, Cosmos and Creator, Regnery Gateway, Chicago, 1980, hlm. 54 
5. Stephen Hawking, Evreni Kucaklayan Karinca, Alkim Publishing, 1993, hlm. 62-63 
6. Henry Margenau, Roy Abraham Vargesse. Cosmos, Bios, Theos. La Salle IL: Open Court Publishing, 1992, hlm. 241 
7. Hugh Ross, The Creator and the Cosmos: How Greatest Scientific Discoveries of The Century Reveal God, Colorado: NavPress,  revised edition, 1995, hlm. 76 
8. William Lane Craig, Cosmos and Creator, Origins & Design, Spring 1996, vol. 17, hlm. 19 
9. William Lane Craig, Cosmos and Creator, Origins & Design, Spring 1996, vol. 17, hlm. 19 
10. William Lane Craig, Cosmos and Creator, Origins & Design, Spring 1996, vol. 17, hlm. 20 
11. Christopher Isham, "Space, Time and Quantum Cosmology", paper presented at the conference "God, Time and Modern Physics", March 1990, Origins & Design, Spring 1996, vol. 17, hlm. 27 
12. R. Brout, Ph. Spindel, "Black Holes Dispute", Nature, vol 337, 1989, hlm. 216 
13. Herbert Dingle, Science at the Crossroads, London: Martin Brian & O'Keefe, 1972, hlm. 31-32 
14. StephenHawking, A Brief History of Time, New York: Bantam Books, 1988, hlm. 46 
15. John Maddox, "Down with the Big Bang", Nature, vol. 340, 1989, hlm. 378 
16. H. P. Lipson, "A Physicist Looks at Evolution", Physics Bulletin, vol. 138, 1980, hlm. 138 

Senin, 07 November 2011

MEMIKIRKAN KEMBALI SUNNAH NABI DALAM ISLAM MODERN
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern (terj), Bandung: Mizan, 2000
Sebagian gagasan Islam klasik tentang autoritas keagamaan dalam berbagai bidang telah mulai mendapat tantangan sejak pertengahan abad ke-19. Tantangan ini langsung dan terutama dihadapkan pada lembaga-lembaga dan etika-etika sosial Islam. Jelas sekali bahwa tantangan ini—seperti yang diungkapkan Fazlur Rahman (Islam, 1984: 313)—bukan  berangkat dari anggapan bahwa lembaga-lembaga dan etika sosial Islam tersebut salah atau tidak rasional, tetapi adalah kenyataan bahwa sistem sosial yang ada perlu dimodifisir dan disesuaikan. Pada masa lalu sistem sosial ini betul-betul rasional dan bekerja sempurna. Persoalannya adalah bahwa kaum muslim harus menghadapi perkembangan situasi.
Tantangan terhadap sebagian gagasan Islam klasik tentu saja menimbulkan pergolakan pemikiran yang bermuara pada pengujian kembali sumber-sumber klasik. Sunnah Nabi—praktek normatif yang dicontohkan oleh Rasulullah—merupakan bagian yang paling penting dari pengujian ini, sebab ia merupakan simbol kewenangan Nabi saw sebagai sebuah sumber kewenangan keagamaan setelah al-Qur’an, dan merupakan sumber kesinambungan dengan masa lalu. Karenya, diskusi-diskusi tentang sunnah dari sarjana-sarjana muslim tak dapat lagi terhindarkan dan akhirnya meluas. Tidak hanya oleh pakar-pakar di bidangnya (muhadditsin) tapi juga melibatkan sarjana-sarjana di bidang lain semisal teolog dan filosof.[1] Diskusi yang intens dan lebih serius terjadi di Mesir dan Pakistan.
Buku Daniel W. Brown yang dibahas di sini sesungguhnya ingin memotret keterlibatan kaum muslim modern dalam proses memikirkan kembali tradisi mereka (hal 14).  Karena itu fokus karya ini adalah kaum pembaharu yang berjuang untuk merestrukturisasi sunnah terutama sekali di Mesir dan juga Pakistan. Tentu saja, menurutnya, keterlibatan kaum muslim modern, sebagian ada yang menyangkal memiliki hubungan dengan tradisi dan sebagian lagi menyangkal bahwa aktivitas mereka dapat disebut “memikirkan kembali”, dan memilih untuk melihat hal ini sebagai kebangkitan kembali atau pemeliharaan bebeapa model yang ideal dan tidak berubah.  Bagi para penentang tradisi yang paling radikal sekalipun tidak meninggalkan tradisi, tetapi mencetaknya dan mencoba meletakkan klaim otentisitas yang dari yang diberitakannya. Sementara itu, pendukung tradisi yang paling konservatif hanya dapat membentuk kembali tradisi yang mereka coba lindungi agar tidak berubah.
Salah satu tesisnya adalah tentang dorongan kuat munculnya perhatian dan pertanyaan kaum muslim modern terhadap hadis Nabi saw.  Tampaknya ia menolak anggapan sepenuhnya bahwa desakan bagi kaum muslim melakukan pengkajian kembali terhadap sunnah sema-mata datang dari luar, yakni dampak Barat yang pada abad ke-19 (periode modernisasi di dunia muslim) merupakan periode hegemoni Barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama masyarakat muslim, di mana secara politis Barat adalah penguasa situasi dan secara psikologis adalah tak terkalahkan akibat kemajuan teknologinya. Bahkan lebih lanjut ia menyatakan adalah suatu kesalahan serius kalau menyimpulkan demikian (hal 37). Menurutnya, meskipun dorongan kuat dari luar tersebut jelas ada dan berpengaruh, namun pola peninjauan ulang hadis sebagai alat untuk beradaptasi dengan perubahan telah tertanam baik sebelum orang-orang muslim merasakan dampak langsung dari hegomoni Barat. Hal terpenting dari kecenderungan ini adalah kemunculan gerakan reformis yang penting pada abad ke-18 dan ke-19 dengan tokoh-tokoh Syah Waliyullah (1702-1762) dan Muhammad al-Syawkani (1760-1834). Dari pandangannya ini maka  potret gerakan-gerakan reformasi abad ke-18 juga tak terelakkan untuk ditampilkan Brown. Dengan demikian, rentang waktu yang menjadi concern karya Brown ini adalah abad 18 dan 19 M.
Pernyataan yang senada juga diungkapkan oleh Fazlur Rahman—tokoh yang dinyatakan Brown memberikan inspirasi terhadap karyanya ini. Tetapi berbeda dengan Brown, Fazlur Rahman hanya melihat gerakan-gerakan tersebut sebagai pencetus dan pembuka jalan bagi tantangan terhadap sebagian lembaga-lembaga dan etika-etika sosial Islam dengan penolakan mereka atas otorita-otorita zaman pertengahan dan desakan atas ijtihad serta penegasan mereka kembali kepada otoritas al-Qur’an dan teladan Nabi (Fazlur Rahman, 1984: 313).

PRISMA MODERNITAS DAN ISU SENTRAL

Dalam memandang perjuangan kaum muslim modern terhadap pemikiran kembali sunnah Nabi, Wilfred Cantwell Smith dalam, Islam in Modern History, seperti yang dijelaskan Brown (hal 12), menggambarkan perdebatan mengenai sunnah sebagai pertempuran kecil-kecilan dalam suatu pertarungan tanpa henti antara tradisi dan modernitas, wahyu dan akal, serta liberalisme dan reaksi. Paradigma ini yang digunakan oleh kebanyakan orientalis dalam mencermati perjuangan kaum muslim modern dalam pemikiran kembali sunnah Nabi. Menurut Brown, pendekatan semacam ini mengasumsikan adanya dikotomi yang tegas antara tradisi dan modernitas. Akarnya adalah pemikiran Pencerahan, di mana para pemikir Pencerahan, akal merupakan lampu sorot, yang menembus kegelapan tradisi, yang menerobos kabut kebodohan untuk menerangi kebenaran. Pemikiran pencerahan ini pun sebetulnya masih berlaku dalam kebudayaan akademik Barat.
Bagi Brown modernitas dan tradisi tidak harus dipandang sebagai secara diametris saling beralawanan. Pandangannya ini jelas berbeda dengan paradigma yang digunakan oleh kebanyakan orientalis seperti yang dijelaskan di atas. Jika modernitas dan tradisi tidak dipandang sebagai yang berlawanan, lalu bagaimana memahaminya hubungan antara keduanya? Menurutnya ini dapat dipahami dengan melihat kebalikan dari metafor Pencerahan. Di sini modernitas tidak dipandang sebagai sumber pencerahan, yang menyingkirkan kegelapan tradisi, tetapi membayangkan  tradisi sebagai pemberi cahaya, yang dibiaskan oleh prisma modernitas. Sebuah tradisi muncul dari prisma modernitas sebagai spektrum respons yang beraneka warna. Sebagian respons akan memperlihatkan dampak modernitas secara jauh lebih dramatis dibanding sebagian lainnya, tetapi tak akan ada yang sama sekali tersentuh. Pada saat yang sama, setiap warna dari spektrum tersebut, respons masing-masing yang berbeda, jelas berakar pada tradisi. Seluruh respons terhadap modernitas suatu tradisi keagamaan, dan bahkan yang tampaknya meninggalkan tradisi sama sekali mengandung kontinuitas tertentu dengan tradisi, seperti halnya setiap pita spektrum ada dalam cahaya yang  memasuki sebuah prisma. Hal ini didasarkannya pada posisi sunnah itu sendiri, di mana sunnah merupakan titik tumpu tempat perdebatan sentral mengenai kewenangan agama berkisar.
Berkaitan dengan pemahamannya tentang hubungan tradisi dengan modernitas yang dikemukakannya, maka dalam buku ini, ia memilih pendekatan yang menekankan  pada mazhab pemikiran ketimbang individu, yakni lebih menganalisis kecenderungan umum di dalam pemikiran ketimbang menganalisis individu (hal. 15). Namun tentu saja Brown tak bisa melepaskan diri dari analisisnya terhadap setiap pemikir. Berangkat dari sini, dalam memilih sumber-sumber, ia menerapkan uji sederhana, yakni: jika suatu pernyataan menarik banyak respons, maka pernyataan itu penting; jika berlalu begitu saja tanpa diperhatikan; maka pernyataan tersebut tidak penting (hal. 16). Dengan demikian tampak bahwa Brown mengukur pentingnya suatu pemikiran atau karya berdasarkan tingkat kontroversi yang ditimbulkannya. Karena itu tentu saja sumber-sumber utamanya adalah pemikiran atau karya yang kontroversial mengenai sunnah, seperti yang terjadi di Mesir dan Pakistan.
Metode yang digunakan dalam menganalisis tulisan-tulisan modern mengenai sunnah dan literatur kontroversial tentangnya adalah menggali tema-tema yang paling penting (yaitu yang paling sering berulang) dari tulisan-tulisan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk dapat membangun konteks dan latar belakang tema-tema ini dalam keserjanaan Islam klasik serta untuk menganalisis cara pandang modern terhadap topik tersebut (hal. 16). Artinya, Brown berupaya memetakan isu-isu yang paling menonjol yang menjadi pusat pembahasan sunnah untuk menganalisis posisi-posisi utama yang dibangun oleh kaum muslim modern terhadap isu-isu tersebut. Menurut Brown, isu sentral dalam perjuangan yang terus berlangsung ini adalah masalah hakikat, status dan otoritas sunnah (contoh-contoh normatif Nabi Muhammad saw) (hal 11). bMasalah hakikat sunnah menjadi penting karena persoalan ini membahas batas-batas manusiawi utusan Allah berperan dalam proses wahyu. Hal ini tampak sudah menjadi dilema umum dalam risalah kenabian, karena yang transenden menjadi imanen, yang universal menjadi partikular, kesempurnaan disampaikan melalui saluran yang tidak sempurna. Di sisi lain, persoalan status sunnah juga merupakan hal yang tak dapat diabaikan. Karena jelas sekali bahwa sunnah Nabi saw yang diketahui melalui hadis disampaikan dengan cara berantai hingga beberapa generasi. Pertanyaan yang mendesak tentang ini tentu saja seberapa jauh sunnah Nabi saw dapat diakui validitasnya benar-benar bersumber dari Nabi saw. Sementera persoalan otoritas sunnah jelas pula menjadi masalah yang tak kalah pentingnya. Hal ini karena menyangkut sejauh mana sunnah dapat mengikat kaum muslim.

BEBERAPA PANDANGAN BROWN

Berangkat dari isu sentral perjuangan kuam muslim modern ini, Brown membagi bukunya dalam enam bab. Bab pertama, yang berisi enam sub bab mendiskusikan konsep klasik tentang kewenangan Rasullah saw. Brown tampaknya mengangap ini bagian penting perlu disuguhkan dalam rangka memahami perjuangan pemikiran kembali sunnah berdasarkan sunnah yang dipahami dalam tahap awal. Pada bagian awal ini khusus membahas pemahaman sunnah dalam tahap awal sekali dan dalam pandangan kesarjanaan klasik khususnya masa Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H) dan setelahnya. Pada bab ini tampaknya Brown ingin menunjukkan gagasan sunnah pada tahun-tahun awal Islam sangat berbeda dengan defenisi klasik. Perbedaan tersebut dapat dilihat: pertama, orang-orang muslim awal tidak menempatkan sunnah Nabi Muhammad saw lebih tinggi dari sunnah-sunnah orang muslim terkemuka lainnya, terutama para khalifah yang pertama beserta sahabat-sahabatnya; kedua, pada tahap awal ini, orang-orang muslim tidak selalu mengidentifikasikan sunnah dengan riwayat khsusus mengenai Nabi Muhammad saw, yaitu riwayat hadis tidak menjadi wahana ekslusif bagi sunnahnya, seperti yang terjadi kemudian; ketiga,  orang-orang muslim awal tidak membuat perbedaan yang kaku antara berbagai sumber kewenangan keagamaan, terutama antara sunnah dan al-Qur’an yang dilukiskan dengan begitu saksama oleh para pakar terkemudian (lihat hal. 22).
Untuk mendukung kesimpulannya ini, ia mengemukakan sejumlah bukti yang ia kutip dari ahli-ahli fiqh yang dalam anggapannya cukup kuat. Misalnya, riwayat bahwa Nabi Muhammad dan Abu Bakar mengenakan empat puluh kali cambukan sebagai huuman untuk mabuk-mabukan, sementara Umar menerapkan delapan puluh kali cambukan. Dan “kesemua ini adalah sunnah”, seperti yang dinyatakan oleh Abu Yusuf (hal. 23). Tentang gagasan sunnah secara konseptual tetap terlepas dari preseden hadis spesifik, bukti-bukti yang lebih kuat diperoleh dari tulisan tulisan teologis awal, seperti dalam Kitab al-Qadar karya Al-Hasan al-Basri yang menyebutkan sunnah Rasul dengan cara yang sangat umum namun tidak merujuk kepada kasus-kasus khusus. Demikian pula dalam kitab al-Irja’ karya al-Hasan ibn Muhammamad Muhammad ibn al-Hanafiyyah, pemilahan yang tegas antara sunnah dan hadis dapat terlihat dengan jelas (hal. 25).  Berkaitan dengan itu, maka menurutnya diferensiasi al-Qur’an dan sunnah yang keseluruhannya ditandai dengan aura wahyu, dan keterkaitannya satu sama lain baru terjadi belakangan ketika timbul kebutuhan untuk menemukan penyangga yang kuat atas pandangan dan cara meruntuhkan alasan-alasan yang diajukan orang untuk yang menentang akitab konflik mengguncang masyarakat (hal 26-27).
Al-Syafi’i yang dikenal sebagai Nashir al-Sunnah adalah orang yang paling bertanggung jawab atas perubahan pandangan terhadap sunnah ini (hal. 19).[2]Usahanya yang besar terhadap identifikasi ekslusif sunnah dengan hadis Nabi Muhammad saw, penegakan superioritas sunnah Nabi atas sumber-sumber preseden lainnya dan juga sifat kewahyuan sunnah tampak cukup berhasil. Keberhasilan ini ditandai dengan istilah sunnah jarang ditemukan untuk penggunaan selain sunnah Nabi setelah Al-Syafi’i dalam waktu yang cukup lama hingga perdebatan mengenai sunnah muncul kembali pada abad kesembilan belas.
Berangkat dari pergeseran pandangan tentang  sunnah Nabi saw tersebut, dalam bab selanjutnya ia sangat berkepentingan untuk membahas munculnya tantangan modern terhadap sunnah. Pada bab 2 ini Brown ingin menunjukkan bahwa gagasan pemikiran kembali sunnah Nabi telah mempunyai akar yang kuat dalam abad ke-18 M dan telah memberikan kekuatan baru bagi para reformis abad ke-19 dan 20. Gagasan-gagasan yang dikemukakan pada abad ke-18 nyata sekali telah memberikan landasan dan merintis kategori-kategori utama respon yang digunakan kaum muslim abad kesembilan belas dan kedua puluh ketika menghadapi tantangan baru. Pada awalnya gagasan-gagasan ini munculnya didesak oleh kerusakan moral. Dalam mendiagnosis keadaan ini, para pemikir zaman ini segera menemukan penyakitnya: orang muslim telah menyimpang dari sunnah Rasul saw dan diracuni oleh Bid’ah dan taklid terhadap  kitab-kitab penafsiran  hukum klasik. Sebagian praktek sufi ikut pula menjadi kanker yang membahayakan. Obatnya adalah kembali kepada sumber utama: al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Di bawah bendera pembangkitan kembali sunnah (ihya al-sunnah), para ulama yang berorientasi reformasi bergerak melampaui kumulan dan penafsiran hukum klasik dan mulai mempelajari himpunan hadis-hadis yang pertama.
Di sini, walaupun secara tidak jelas dikemukakan Brown, dari pembahasannya tentang kecenderungan pemikiran terhadap sunnah,   tampak bahwa tantangan-tantangan yang dimunculkan terhadap sunnah Nabi saw secara bertingkat. Dalam masa awal sekali, tokoh yang paling menonjol seperti Syah Wali Allah dari India dan Muhammad al-Syawkani dari Yaman, menekankan perhatiannya pada melalukan studi terhadap sunnah yang dianggap sudah mapan dalam keilmuan klasik. Sedangkan generasi berikutnya Ahmad Khan dan Abduh skeptisme mereka terhadap hadis menjadi semakin jelas, walaupun tokoh yang disebutkan belakangan lebih berhati-hati. Tetapi, pada generasi berikutnya, dengan tokoh-tokoh seperti Taufiq Shidqi, Ghulam Ahmad Parwez, Abu Rayyah, tidak hanya skeptis terhadap hadis, bahkan menyatakannya sebagai hadis sebagai penyebab kemalangan di dunia Islam. Karena itu, perhatian mereka hanya tertuju pada al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber ajaran Islam. Tetapi, nyata sekali, seperti yang ditulis Brown (hal. 61), yang terakhir ini tidak diterima secara luas.
Tentu saja tantangan-tantangan terhadap sunnah ini didahului kritik terhadap sunnah, baik itu terhadap proses sejarah yang dilalui, seperti pencatatan, maupun proses transformasi, terutama sekali bangunan ilmu hadis, serta otoritasnya. Karena itu dalam karya ini, pembahasan-pembahasan tentangnya sebagai pemikiran tokoh-tokoh muslim bahkan juga orientalis tak terlewatkan dalam karya Brown ini. Karena itu, kita menemui pembahasannya tentang batas-batas wahyu pada bab-3 di mana yang menjadi permasalahan dasar adalah mengenai hakikat wahyu. Di mana wahyu berakhir dan penafsiran dimulai? Apa yang membedakan  suara Tuhan dengan suara manusia yang menyampaikan atau yang menafsirkannya? Demikian pula bab 4 yang membahas sifat dasar otoritas Rasulullah saw dengan sub-sub bahasan seperti “memanusiawikan Rasulullah saw, Rasulullah saw sebagai perantara, Rasulullah sebagai paradigma, Rasulullah saw sebagai teladan. Bab 5 yang membahas adalah para sahabat, keaslian hadis memuat sub-sub pembahasan tentang pelestarian dan penyampaian hadis, kefektifan kritik isnad, dan sunnah tanpa hadis? .
Bab 6 yang menjadi bab inti  karya ini berisi tentang sunnah dan kebangkitan-kembali Islam yang memperlihatkan  kesibukan dan “perjuangan” para pembaru Islam di Mesir dan Pakistan dalam mengatasi masalah kemodernan dengan berbekal tradisi, dalam hal ini sunnah Nabi. Tampaknya, menurut Brown, buku al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabiwiyyah Bayna Ahl al-Fiqh  wa Ahl al-Hadits, yang mengetengahkan banyak tema sentral dalam diskusi muslim modern tentang otoritas religius, seperti hubungan antara al-Qur’an dan sunnah, posisi otoritas Nabi sebagai sumber hukum Islam dan metode kritik hadis, dapat dianggap mewakili gambaran tentang kesibukan dan perjuangan kaum pembaru. Ini terlihat dari pembuka bab 6 yang menyuguhkan karya al-Ghazali dalam beberapa paragraf (lihat hal. 38 dan 39). Menurut Brown, para pembaru Islam bergerak ke pusat debat modern tentang otoritas religius, berdasarkan fakta sederhana bahwa bahwa mereka adalah pembaru, yang memiliki komitmen untuk menghidupkan dan menonjolkan kembali Islam. Ditekankannya perjuangan tanpa henti untuk menghidupkan dan mengangkat kembali Islam di dunia merupakan karakteristik paling penting dari gerakan kebangkitan. Akibatnya, kebanyakan pemimpin kebangkitan Islam pada mulanya adalah aktivis, dan kemudian menjadi sarjana. Mereka sibuk dengan isu praktis hukum Islam dan tak sabat dengan teori (hal. 39).
Pendekatan para pembaru terhadap sunnah dicirikan oleh: pertama, dukungan penuh untuk otoritas sunnah dan keotentikan literatur hadis pada umumnya. Beberapa pendukung sunnah terutama sekali Maududi di Pakistan dan al-Siba’i di Mesir adalah pemikir yang berada di garis depan medan pertempuran melawan para penentang hadis, dan karya-karya mereka adalah paling sering dikutip dalam mendukung hadis. Jelas sekali bahwa mereka tak menyetujui apapun yang tampak merongrong otoritas sunnah. Bagi mereka sunnah bersifat fundamental bagi program mereka untuk menghidupkan kembali Islam. Kedua, tentu saja pembaruan mereka lebih langsung berkaitan dengan kita di sini.  Mereka ingin mengenalkan kembali Islam dalam bentuk yang relevan dan karenya mereka menjadi prakmatis dalam praktik. Sikap mereka terhadap sunnah menghindar dari dua ekstrem dan mencari jalan tengah, yakni pendekatan alternatif terhadap hadis yang akan melengkapi sistem klasik dan akan memberinya fleksibelitas baru tanpa merusak.
Untuk dapat memberikan fleksibelitas, maka pengujian kembali keotentikan hadis tentu merupakan satu keharusan. Dari penjelasan Brown yang panjang, kita dapat menjelaskan bahwa pengujian kembali sunnah oleh pembaru modern salah satunya dengan melakukan pembalikan metode pengujian yang sebetulnya juga merupakan warisan klasik yang terabaikan, terutama dari warisan mazhab Hanafi (baca hal. 143-147) Kecenderungan umum sebelumnya adalah menggunakan hadis untuk mengakhiri monopoli faqih dalam menginterpretasi syariah, tetapi oleh pembaru menggunakan metode faqih besar untuk mengoreksi keterikatan harfiah dan doktriner kepada hadis. Artinya, kriteria-kriteria kritik hadis ketat dari faqih yang tampak diabaikan oleh ahli hadis—terutama sekali dalam kritik matan seperti apakah sebuah riwayat selaras dengan penalaran, dengan sifat dasar manusia, dan dengan kondisi sejarah–harus digunakan kembali. Demikian pula dalam hal hubungan al-Qur’an dengan hadis. Jika kecenderungan keilmuan klasik memandang sunnah sebagai penjelasan wahyu yang tidak mungkin salah dan dibatalkan oleh al-Qur’an karena membuat perintah-perintah al-Qur’an yang umum menjadi lebih spesifik, maka kaum pembaru justru membawa hadis kembali ke bawah pengayoman prinsip-prinsip al-Qur’an.
Tokoh-tokoh yang menjadi lokomotif pembaru dalam kebangkitan kembali Islam yang dikutip Brown di dalam karya ini adalah tokoh-tokoh semisal Al-Ghazali, Yusuf Qardhawi dan Al-Siba’I dari Mesir, sedangkan dari Pakistan disebut nama-nama seperti Syibli Nu’mani dan Maududi. Walaupun tokoh-tokoh ini sama dalam rangka kebangkitan kembali Islam, namun tentu saja terdapat kecenderungan-kecenderungan tertentu dari para tokoh ini. Tetapi—dari penjelas Brown—dalam level yang lebih luas, meskipun kaum pembaru cenderung menggunakan metode faqih, namun pembaru-pembaru Pakistan sedikit lebih menekankan kualitas faqih. Karena itu, individu-individu yang memiliki kualitas yang faqih yang disebut Maududi mizaj syinasi rasul,semacam internalisasi temperamen (mizaj) Nabi saw, akan lebih memiliki otoritas dalam menilai sunnah. Dia bebas menolak hadis yang isnadnya tidak cacat, apabila instingnya menyatakan bahwa hadis tersebut tidak sesuai dengan Islam. Dengan demikian, maka pembaru Pakistan tampak lebih berani dalam melakukan gerakan kebangkitan kembali Islam.
CATATAN AKHIR: KRITIK DAN APRESIASI
Harus diakui bahwa karya Brown ini salah satu karya yang komprehensif menampilkan persoalan-persoalan  klasik dengan bahasa yang menggairahkan, seperti peran akal dalam menerima wahyu, dilema kritik hadis dan tentang apa sunnah dan hadis serta metodologi yang bagaimana dibawa oleh pembaru seperti Syibli Nu’mani, Muhammad al-Ghazali, al-Mawdudi, al-Siba’i dan Yusuf al-Qardhawi. Hal yang paling penting dicatat dari buku ini adalah bahwa perdebatan mengenai sunnah telah bergeser, dari para penentang hadis ke kaum pembaru, dan ini sesungguhnya menggambarkan  sebuah wajah baru kebangkitan Islam yang paling penting, namun jarang dipresentasikan. Mencermati ini Barat salah menanggapi gerakan pembaru Islam  muslim. Meskipun kadang-kadang, gerakan pembaru  cenderung kepada kekerasan, memusuhi kepentingan geopolitik Barat, namun tidaklah sepenuhnya benar. Disamping itu, pendekatan kaum pembaru terhadap sunnah bukan karena mengkhawatirkan kelangsungan hidup Islam, tetapi karena keyakinan bahwa Islam semakin kuat. Karena Islam sedang mendapatkan kembali inisiatif, sebuah cetak biru yang diperlukan untuk membimbing proses ini.
Tetapi, karya Brown yang ilmiah ini—terutama  tentang konsep sunnah seperti yang telah dijelaskan di atas—tampak  tidak berbeda jauh dari penulis-penulis Barat terdahulu semisal Ignaz Golziher dan Schacht. Karena itu, konsepnya tentang sunnah—meskipun karya ini lahir jauh lebih belakang—hanya pengulangan terhadap karya-karya terdahulu, meskipun gagasan-gagasan karya tersebut telah mendapat tantangan karena keberatan-keberatan logika dan sejarah, seperti  Fazlur Rahman (1984: 56), Ahmad Hasan (1984: 78-79) dan bahkan Musthafa A’zami (1994: 20-26). Keberatan-keberatan yang diajukan terhadap konsep sunnah dari penulis-penulis tersebut sama sekali tak mendapat perhatian Brown, meskipun ia pada awal tulisannya menyatakan bahwa bukunya ini mendapat inspirasi dari Fazlur Rahman.
Brown, ketika mengemukakan pendapatnya tentang sunnah tampak tidak dibangun dari bukti-bukti yang komprehensif, sehingga dengan demikian, kesimpulan-kesimpulannya pun menjadi parsial, seperti kesimpulannya tentang sunnah Rasulullah saw, misalnya, yang dalam pandangan kaum muslim awal tidak dipandang lebih tinggi dari sunnah-sunnah lainnya. Pada hal terdapat cukup bukti lain yang menyatakan bahwa sunnah Rasulullah dipandang lebih tinggi dari sunnah-sunnah lainnya, bahkan bukti dari tindakan Umar sendiri. Secara logika sangat sulit dipahami, bagaimana mungkin orang muslim memandang sunnah Nabi sebagai hal yang biasa saja, padahal jelas sekali bahwa, dari petunjuk al-Qur’an kaum muslim memandang perilaku Rasulullah sebagai suatu pola teladan dan contoh bagi mereka semenjak diturunkannya wahyu. Dengan demikian jelas sekali sunnah Nabi saw yang sifat normatifnya sudah mendapat legalitas dari Allah dibanding sunnah-sunnah lainnya. Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah, mengirim utusan ke berbagai kota dengan tujuan untuk mengajar penduduk kota-kota itu agama (din) dan sunnah Rasul saw, bukan sunnah Umar. Surat al-Hasan dari Bashrah (w. 110 H) pada Abdul Malik bin Marwan memuat menggandengkan perintah Allah denan sunnah Rasul (lihat Ahmad Hasan, 1984: 81).
Dari sini, sunnah Rasululllah saw jelas sekali telah mendapat perhatian yang cukup serius dan menjadi rujukan utama di setelah al-Qur’an. Meskipun tindakan umat diatur oleh al-Qur’an, tetapi Rasulullah-lah yang memberikan bentuk konkrit dan praktis bagi ajaran-ajarannya. Cara-cara Rasul menerapkan ajaran-ajaran al-Qur’an menjadi hukum bagi masyarakat. Itulah sebabnya, Ahmad Hasan mengatakan, bagaimana mungkin kita mengandaikan bahwa para sahabat di sekitar Rasulullah melalaikan peritah beliau yang melalui beliaulah al-Qur’an diajarkan kepada mereka.[3] Dengan demikian, Al-Qu’ran dan sunnah saling terkait erat bahkan terjalin sedemikian rupa sehingga keduanya satu sama lain tak bisa dipisahkan. Kita dapat menyebutkan keduanya sebagai satu keseluruhan yang terpadu (Ahmad Hasan, 1984: 80).
Sunnah Nabi saw yang normatif dan paling penting bagi umat berlangsung terus dalam generasi-generasi kaum muslim. Tetapi, tidak semua mereka, bahkan para sahabat, tidak mengetahui sunnah Nabi. Karena itu ada dua cara bagi orang untuk mengetahui sunnah Nabi, yaitu praktek umat dan hadis. Karena itu, identifikasi sunnah dengan hadis telah ada sejak masa yang paling awal, bukan hanya pasca Syafi’i. Namun jelas sekali bahwa sunnah dalam masa tertentu berjalan murni, terutama sekali hingga pada masa empat khalifah. Setelah itu sunnah mulai mengalami perubahan. Karena itu adalah wajar sekali jika Syafi’i menjadikan hadis sebagai wahana ekslusif bagi sunnah Nabi saw ketika praktek umat tidak lagi berjalan murni. M. Amin Abdullah (1996: 312) cukup wajar bila Syafi’i sangat berpegang teguh pada hadis. Hal ini adalah dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan pemekaran politik, hukum dan kalam pada saat itu yang mengacu pada disintegritas.
Akhirnya, dapat penulis katakan bahwa membaca karya Brown ini memang sangat menarik dan menggugah pikiran tentang relevansi sunnah dalam kehidupan modern. Tetapi, jelas sekali bahwa karya ini harus dibaca dengan bekal gagasan-gagasan tentang sunnah kaum muslim dan pandangan kritis, terutama sekali tentang konsep sunnah yang tampak tak jauh berbeda dengan gagasan-gagasan Barat sebelumnya seperti Ignaz Golziher, Margoliouth, Schacht.

DAFTAR RUJUKAN

Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1996.
Brown, Daniel W, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern (terj), Mizan: Bandung, 2000.
Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Pustaka: Bandung, 1984.
Juynboll, G.H.A. Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), Mizan: Bandung, 1999.
Rahman, Fazlur, Islam, Pustaka: Bandung: 1984.

Footnote:
[1]Lihat misalnya G.H.A. Juynboll (1999: 1).  Dalam karyanya tersebut, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), ia mengemukakan para teolog Mesir sering membahas literatur Islam yang berkenaan dengan hadis seperti isu tentang tadwin, adalah, wadh’periwayatan hadis, israiliyyat, dan hadis-hadis tentang pengobatan.
[2]Untuk lebih jauh tentang peran al-Syafi’i terhadap sunnah,  lihat misalnya,  Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Mizan: Bandung, 1984.
[3]Orientalis seperti Margoliouth, menyatakan bahwa ketika setiap kali Nabi disandingkan dengan Allah dalam al-Qur’an, ini hanya merujuk kepada konteks al-Qur’an itu sendiri yakni, hanya mempunyai rujukan intra-Qur’ani. Artinya, bahwa ia ingin mengatakan  Nabi Muhammad tidak mempunyai sunnah ekstra Qur’ani yang mungkin telah dicatat dalam beberapa hadis. Tetapi, seperti yang dikatakan Fazlur Rahman, hal ini tak dapat diterima, sebab terdapat kasus-kasus di mana ketika al-Qu’ran berbicara tentang otoritas Nabi yang ekstra Qur’ani, seperti pembagian harta rampasan perang, yang kemudian didukung oleh al-Qur’an sendiri dengan pernyataannya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu ambillah, dan apa yang dilarangnya, hentikanlah. (Rahman, 1984: 62-63).