Senin, 07 November 2011

MEMIKIRKAN KEMBALI SUNNAH NABI DALAM ISLAM MODERN
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern (terj), Bandung: Mizan, 2000
Sebagian gagasan Islam klasik tentang autoritas keagamaan dalam berbagai bidang telah mulai mendapat tantangan sejak pertengahan abad ke-19. Tantangan ini langsung dan terutama dihadapkan pada lembaga-lembaga dan etika-etika sosial Islam. Jelas sekali bahwa tantangan ini—seperti yang diungkapkan Fazlur Rahman (Islam, 1984: 313)—bukan  berangkat dari anggapan bahwa lembaga-lembaga dan etika sosial Islam tersebut salah atau tidak rasional, tetapi adalah kenyataan bahwa sistem sosial yang ada perlu dimodifisir dan disesuaikan. Pada masa lalu sistem sosial ini betul-betul rasional dan bekerja sempurna. Persoalannya adalah bahwa kaum muslim harus menghadapi perkembangan situasi.
Tantangan terhadap sebagian gagasan Islam klasik tentu saja menimbulkan pergolakan pemikiran yang bermuara pada pengujian kembali sumber-sumber klasik. Sunnah Nabi—praktek normatif yang dicontohkan oleh Rasulullah—merupakan bagian yang paling penting dari pengujian ini, sebab ia merupakan simbol kewenangan Nabi saw sebagai sebuah sumber kewenangan keagamaan setelah al-Qur’an, dan merupakan sumber kesinambungan dengan masa lalu. Karenya, diskusi-diskusi tentang sunnah dari sarjana-sarjana muslim tak dapat lagi terhindarkan dan akhirnya meluas. Tidak hanya oleh pakar-pakar di bidangnya (muhadditsin) tapi juga melibatkan sarjana-sarjana di bidang lain semisal teolog dan filosof.[1] Diskusi yang intens dan lebih serius terjadi di Mesir dan Pakistan.
Buku Daniel W. Brown yang dibahas di sini sesungguhnya ingin memotret keterlibatan kaum muslim modern dalam proses memikirkan kembali tradisi mereka (hal 14).  Karena itu fokus karya ini adalah kaum pembaharu yang berjuang untuk merestrukturisasi sunnah terutama sekali di Mesir dan juga Pakistan. Tentu saja, menurutnya, keterlibatan kaum muslim modern, sebagian ada yang menyangkal memiliki hubungan dengan tradisi dan sebagian lagi menyangkal bahwa aktivitas mereka dapat disebut “memikirkan kembali”, dan memilih untuk melihat hal ini sebagai kebangkitan kembali atau pemeliharaan bebeapa model yang ideal dan tidak berubah.  Bagi para penentang tradisi yang paling radikal sekalipun tidak meninggalkan tradisi, tetapi mencetaknya dan mencoba meletakkan klaim otentisitas yang dari yang diberitakannya. Sementara itu, pendukung tradisi yang paling konservatif hanya dapat membentuk kembali tradisi yang mereka coba lindungi agar tidak berubah.
Salah satu tesisnya adalah tentang dorongan kuat munculnya perhatian dan pertanyaan kaum muslim modern terhadap hadis Nabi saw.  Tampaknya ia menolak anggapan sepenuhnya bahwa desakan bagi kaum muslim melakukan pengkajian kembali terhadap sunnah sema-mata datang dari luar, yakni dampak Barat yang pada abad ke-19 (periode modernisasi di dunia muslim) merupakan periode hegemoni Barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama masyarakat muslim, di mana secara politis Barat adalah penguasa situasi dan secara psikologis adalah tak terkalahkan akibat kemajuan teknologinya. Bahkan lebih lanjut ia menyatakan adalah suatu kesalahan serius kalau menyimpulkan demikian (hal 37). Menurutnya, meskipun dorongan kuat dari luar tersebut jelas ada dan berpengaruh, namun pola peninjauan ulang hadis sebagai alat untuk beradaptasi dengan perubahan telah tertanam baik sebelum orang-orang muslim merasakan dampak langsung dari hegomoni Barat. Hal terpenting dari kecenderungan ini adalah kemunculan gerakan reformis yang penting pada abad ke-18 dan ke-19 dengan tokoh-tokoh Syah Waliyullah (1702-1762) dan Muhammad al-Syawkani (1760-1834). Dari pandangannya ini maka  potret gerakan-gerakan reformasi abad ke-18 juga tak terelakkan untuk ditampilkan Brown. Dengan demikian, rentang waktu yang menjadi concern karya Brown ini adalah abad 18 dan 19 M.
Pernyataan yang senada juga diungkapkan oleh Fazlur Rahman—tokoh yang dinyatakan Brown memberikan inspirasi terhadap karyanya ini. Tetapi berbeda dengan Brown, Fazlur Rahman hanya melihat gerakan-gerakan tersebut sebagai pencetus dan pembuka jalan bagi tantangan terhadap sebagian lembaga-lembaga dan etika-etika sosial Islam dengan penolakan mereka atas otorita-otorita zaman pertengahan dan desakan atas ijtihad serta penegasan mereka kembali kepada otoritas al-Qur’an dan teladan Nabi (Fazlur Rahman, 1984: 313).

PRISMA MODERNITAS DAN ISU SENTRAL

Dalam memandang perjuangan kaum muslim modern terhadap pemikiran kembali sunnah Nabi, Wilfred Cantwell Smith dalam, Islam in Modern History, seperti yang dijelaskan Brown (hal 12), menggambarkan perdebatan mengenai sunnah sebagai pertempuran kecil-kecilan dalam suatu pertarungan tanpa henti antara tradisi dan modernitas, wahyu dan akal, serta liberalisme dan reaksi. Paradigma ini yang digunakan oleh kebanyakan orientalis dalam mencermati perjuangan kaum muslim modern dalam pemikiran kembali sunnah Nabi. Menurut Brown, pendekatan semacam ini mengasumsikan adanya dikotomi yang tegas antara tradisi dan modernitas. Akarnya adalah pemikiran Pencerahan, di mana para pemikir Pencerahan, akal merupakan lampu sorot, yang menembus kegelapan tradisi, yang menerobos kabut kebodohan untuk menerangi kebenaran. Pemikiran pencerahan ini pun sebetulnya masih berlaku dalam kebudayaan akademik Barat.
Bagi Brown modernitas dan tradisi tidak harus dipandang sebagai secara diametris saling beralawanan. Pandangannya ini jelas berbeda dengan paradigma yang digunakan oleh kebanyakan orientalis seperti yang dijelaskan di atas. Jika modernitas dan tradisi tidak dipandang sebagai yang berlawanan, lalu bagaimana memahaminya hubungan antara keduanya? Menurutnya ini dapat dipahami dengan melihat kebalikan dari metafor Pencerahan. Di sini modernitas tidak dipandang sebagai sumber pencerahan, yang menyingkirkan kegelapan tradisi, tetapi membayangkan  tradisi sebagai pemberi cahaya, yang dibiaskan oleh prisma modernitas. Sebuah tradisi muncul dari prisma modernitas sebagai spektrum respons yang beraneka warna. Sebagian respons akan memperlihatkan dampak modernitas secara jauh lebih dramatis dibanding sebagian lainnya, tetapi tak akan ada yang sama sekali tersentuh. Pada saat yang sama, setiap warna dari spektrum tersebut, respons masing-masing yang berbeda, jelas berakar pada tradisi. Seluruh respons terhadap modernitas suatu tradisi keagamaan, dan bahkan yang tampaknya meninggalkan tradisi sama sekali mengandung kontinuitas tertentu dengan tradisi, seperti halnya setiap pita spektrum ada dalam cahaya yang  memasuki sebuah prisma. Hal ini didasarkannya pada posisi sunnah itu sendiri, di mana sunnah merupakan titik tumpu tempat perdebatan sentral mengenai kewenangan agama berkisar.
Berkaitan dengan pemahamannya tentang hubungan tradisi dengan modernitas yang dikemukakannya, maka dalam buku ini, ia memilih pendekatan yang menekankan  pada mazhab pemikiran ketimbang individu, yakni lebih menganalisis kecenderungan umum di dalam pemikiran ketimbang menganalisis individu (hal. 15). Namun tentu saja Brown tak bisa melepaskan diri dari analisisnya terhadap setiap pemikir. Berangkat dari sini, dalam memilih sumber-sumber, ia menerapkan uji sederhana, yakni: jika suatu pernyataan menarik banyak respons, maka pernyataan itu penting; jika berlalu begitu saja tanpa diperhatikan; maka pernyataan tersebut tidak penting (hal. 16). Dengan demikian tampak bahwa Brown mengukur pentingnya suatu pemikiran atau karya berdasarkan tingkat kontroversi yang ditimbulkannya. Karena itu tentu saja sumber-sumber utamanya adalah pemikiran atau karya yang kontroversial mengenai sunnah, seperti yang terjadi di Mesir dan Pakistan.
Metode yang digunakan dalam menganalisis tulisan-tulisan modern mengenai sunnah dan literatur kontroversial tentangnya adalah menggali tema-tema yang paling penting (yaitu yang paling sering berulang) dari tulisan-tulisan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk dapat membangun konteks dan latar belakang tema-tema ini dalam keserjanaan Islam klasik serta untuk menganalisis cara pandang modern terhadap topik tersebut (hal. 16). Artinya, Brown berupaya memetakan isu-isu yang paling menonjol yang menjadi pusat pembahasan sunnah untuk menganalisis posisi-posisi utama yang dibangun oleh kaum muslim modern terhadap isu-isu tersebut. Menurut Brown, isu sentral dalam perjuangan yang terus berlangsung ini adalah masalah hakikat, status dan otoritas sunnah (contoh-contoh normatif Nabi Muhammad saw) (hal 11). bMasalah hakikat sunnah menjadi penting karena persoalan ini membahas batas-batas manusiawi utusan Allah berperan dalam proses wahyu. Hal ini tampak sudah menjadi dilema umum dalam risalah kenabian, karena yang transenden menjadi imanen, yang universal menjadi partikular, kesempurnaan disampaikan melalui saluran yang tidak sempurna. Di sisi lain, persoalan status sunnah juga merupakan hal yang tak dapat diabaikan. Karena jelas sekali bahwa sunnah Nabi saw yang diketahui melalui hadis disampaikan dengan cara berantai hingga beberapa generasi. Pertanyaan yang mendesak tentang ini tentu saja seberapa jauh sunnah Nabi saw dapat diakui validitasnya benar-benar bersumber dari Nabi saw. Sementera persoalan otoritas sunnah jelas pula menjadi masalah yang tak kalah pentingnya. Hal ini karena menyangkut sejauh mana sunnah dapat mengikat kaum muslim.

BEBERAPA PANDANGAN BROWN

Berangkat dari isu sentral perjuangan kuam muslim modern ini, Brown membagi bukunya dalam enam bab. Bab pertama, yang berisi enam sub bab mendiskusikan konsep klasik tentang kewenangan Rasullah saw. Brown tampaknya mengangap ini bagian penting perlu disuguhkan dalam rangka memahami perjuangan pemikiran kembali sunnah berdasarkan sunnah yang dipahami dalam tahap awal. Pada bagian awal ini khusus membahas pemahaman sunnah dalam tahap awal sekali dan dalam pandangan kesarjanaan klasik khususnya masa Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H) dan setelahnya. Pada bab ini tampaknya Brown ingin menunjukkan gagasan sunnah pada tahun-tahun awal Islam sangat berbeda dengan defenisi klasik. Perbedaan tersebut dapat dilihat: pertama, orang-orang muslim awal tidak menempatkan sunnah Nabi Muhammad saw lebih tinggi dari sunnah-sunnah orang muslim terkemuka lainnya, terutama para khalifah yang pertama beserta sahabat-sahabatnya; kedua, pada tahap awal ini, orang-orang muslim tidak selalu mengidentifikasikan sunnah dengan riwayat khsusus mengenai Nabi Muhammad saw, yaitu riwayat hadis tidak menjadi wahana ekslusif bagi sunnahnya, seperti yang terjadi kemudian; ketiga,  orang-orang muslim awal tidak membuat perbedaan yang kaku antara berbagai sumber kewenangan keagamaan, terutama antara sunnah dan al-Qur’an yang dilukiskan dengan begitu saksama oleh para pakar terkemudian (lihat hal. 22).
Untuk mendukung kesimpulannya ini, ia mengemukakan sejumlah bukti yang ia kutip dari ahli-ahli fiqh yang dalam anggapannya cukup kuat. Misalnya, riwayat bahwa Nabi Muhammad dan Abu Bakar mengenakan empat puluh kali cambukan sebagai huuman untuk mabuk-mabukan, sementara Umar menerapkan delapan puluh kali cambukan. Dan “kesemua ini adalah sunnah”, seperti yang dinyatakan oleh Abu Yusuf (hal. 23). Tentang gagasan sunnah secara konseptual tetap terlepas dari preseden hadis spesifik, bukti-bukti yang lebih kuat diperoleh dari tulisan tulisan teologis awal, seperti dalam Kitab al-Qadar karya Al-Hasan al-Basri yang menyebutkan sunnah Rasul dengan cara yang sangat umum namun tidak merujuk kepada kasus-kasus khusus. Demikian pula dalam kitab al-Irja’ karya al-Hasan ibn Muhammamad Muhammad ibn al-Hanafiyyah, pemilahan yang tegas antara sunnah dan hadis dapat terlihat dengan jelas (hal. 25).  Berkaitan dengan itu, maka menurutnya diferensiasi al-Qur’an dan sunnah yang keseluruhannya ditandai dengan aura wahyu, dan keterkaitannya satu sama lain baru terjadi belakangan ketika timbul kebutuhan untuk menemukan penyangga yang kuat atas pandangan dan cara meruntuhkan alasan-alasan yang diajukan orang untuk yang menentang akitab konflik mengguncang masyarakat (hal 26-27).
Al-Syafi’i yang dikenal sebagai Nashir al-Sunnah adalah orang yang paling bertanggung jawab atas perubahan pandangan terhadap sunnah ini (hal. 19).[2]Usahanya yang besar terhadap identifikasi ekslusif sunnah dengan hadis Nabi Muhammad saw, penegakan superioritas sunnah Nabi atas sumber-sumber preseden lainnya dan juga sifat kewahyuan sunnah tampak cukup berhasil. Keberhasilan ini ditandai dengan istilah sunnah jarang ditemukan untuk penggunaan selain sunnah Nabi setelah Al-Syafi’i dalam waktu yang cukup lama hingga perdebatan mengenai sunnah muncul kembali pada abad kesembilan belas.
Berangkat dari pergeseran pandangan tentang  sunnah Nabi saw tersebut, dalam bab selanjutnya ia sangat berkepentingan untuk membahas munculnya tantangan modern terhadap sunnah. Pada bab 2 ini Brown ingin menunjukkan bahwa gagasan pemikiran kembali sunnah Nabi telah mempunyai akar yang kuat dalam abad ke-18 M dan telah memberikan kekuatan baru bagi para reformis abad ke-19 dan 20. Gagasan-gagasan yang dikemukakan pada abad ke-18 nyata sekali telah memberikan landasan dan merintis kategori-kategori utama respon yang digunakan kaum muslim abad kesembilan belas dan kedua puluh ketika menghadapi tantangan baru. Pada awalnya gagasan-gagasan ini munculnya didesak oleh kerusakan moral. Dalam mendiagnosis keadaan ini, para pemikir zaman ini segera menemukan penyakitnya: orang muslim telah menyimpang dari sunnah Rasul saw dan diracuni oleh Bid’ah dan taklid terhadap  kitab-kitab penafsiran  hukum klasik. Sebagian praktek sufi ikut pula menjadi kanker yang membahayakan. Obatnya adalah kembali kepada sumber utama: al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Di bawah bendera pembangkitan kembali sunnah (ihya al-sunnah), para ulama yang berorientasi reformasi bergerak melampaui kumulan dan penafsiran hukum klasik dan mulai mempelajari himpunan hadis-hadis yang pertama.
Di sini, walaupun secara tidak jelas dikemukakan Brown, dari pembahasannya tentang kecenderungan pemikiran terhadap sunnah,   tampak bahwa tantangan-tantangan yang dimunculkan terhadap sunnah Nabi saw secara bertingkat. Dalam masa awal sekali, tokoh yang paling menonjol seperti Syah Wali Allah dari India dan Muhammad al-Syawkani dari Yaman, menekankan perhatiannya pada melalukan studi terhadap sunnah yang dianggap sudah mapan dalam keilmuan klasik. Sedangkan generasi berikutnya Ahmad Khan dan Abduh skeptisme mereka terhadap hadis menjadi semakin jelas, walaupun tokoh yang disebutkan belakangan lebih berhati-hati. Tetapi, pada generasi berikutnya, dengan tokoh-tokoh seperti Taufiq Shidqi, Ghulam Ahmad Parwez, Abu Rayyah, tidak hanya skeptis terhadap hadis, bahkan menyatakannya sebagai hadis sebagai penyebab kemalangan di dunia Islam. Karena itu, perhatian mereka hanya tertuju pada al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber ajaran Islam. Tetapi, nyata sekali, seperti yang ditulis Brown (hal. 61), yang terakhir ini tidak diterima secara luas.
Tentu saja tantangan-tantangan terhadap sunnah ini didahului kritik terhadap sunnah, baik itu terhadap proses sejarah yang dilalui, seperti pencatatan, maupun proses transformasi, terutama sekali bangunan ilmu hadis, serta otoritasnya. Karena itu dalam karya ini, pembahasan-pembahasan tentangnya sebagai pemikiran tokoh-tokoh muslim bahkan juga orientalis tak terlewatkan dalam karya Brown ini. Karena itu, kita menemui pembahasannya tentang batas-batas wahyu pada bab-3 di mana yang menjadi permasalahan dasar adalah mengenai hakikat wahyu. Di mana wahyu berakhir dan penafsiran dimulai? Apa yang membedakan  suara Tuhan dengan suara manusia yang menyampaikan atau yang menafsirkannya? Demikian pula bab 4 yang membahas sifat dasar otoritas Rasulullah saw dengan sub-sub bahasan seperti “memanusiawikan Rasulullah saw, Rasulullah saw sebagai perantara, Rasulullah sebagai paradigma, Rasulullah saw sebagai teladan. Bab 5 yang membahas adalah para sahabat, keaslian hadis memuat sub-sub pembahasan tentang pelestarian dan penyampaian hadis, kefektifan kritik isnad, dan sunnah tanpa hadis? .
Bab 6 yang menjadi bab inti  karya ini berisi tentang sunnah dan kebangkitan-kembali Islam yang memperlihatkan  kesibukan dan “perjuangan” para pembaru Islam di Mesir dan Pakistan dalam mengatasi masalah kemodernan dengan berbekal tradisi, dalam hal ini sunnah Nabi. Tampaknya, menurut Brown, buku al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabiwiyyah Bayna Ahl al-Fiqh  wa Ahl al-Hadits, yang mengetengahkan banyak tema sentral dalam diskusi muslim modern tentang otoritas religius, seperti hubungan antara al-Qur’an dan sunnah, posisi otoritas Nabi sebagai sumber hukum Islam dan metode kritik hadis, dapat dianggap mewakili gambaran tentang kesibukan dan perjuangan kaum pembaru. Ini terlihat dari pembuka bab 6 yang menyuguhkan karya al-Ghazali dalam beberapa paragraf (lihat hal. 38 dan 39). Menurut Brown, para pembaru Islam bergerak ke pusat debat modern tentang otoritas religius, berdasarkan fakta sederhana bahwa bahwa mereka adalah pembaru, yang memiliki komitmen untuk menghidupkan dan menonjolkan kembali Islam. Ditekankannya perjuangan tanpa henti untuk menghidupkan dan mengangkat kembali Islam di dunia merupakan karakteristik paling penting dari gerakan kebangkitan. Akibatnya, kebanyakan pemimpin kebangkitan Islam pada mulanya adalah aktivis, dan kemudian menjadi sarjana. Mereka sibuk dengan isu praktis hukum Islam dan tak sabat dengan teori (hal. 39).
Pendekatan para pembaru terhadap sunnah dicirikan oleh: pertama, dukungan penuh untuk otoritas sunnah dan keotentikan literatur hadis pada umumnya. Beberapa pendukung sunnah terutama sekali Maududi di Pakistan dan al-Siba’i di Mesir adalah pemikir yang berada di garis depan medan pertempuran melawan para penentang hadis, dan karya-karya mereka adalah paling sering dikutip dalam mendukung hadis. Jelas sekali bahwa mereka tak menyetujui apapun yang tampak merongrong otoritas sunnah. Bagi mereka sunnah bersifat fundamental bagi program mereka untuk menghidupkan kembali Islam. Kedua, tentu saja pembaruan mereka lebih langsung berkaitan dengan kita di sini.  Mereka ingin mengenalkan kembali Islam dalam bentuk yang relevan dan karenya mereka menjadi prakmatis dalam praktik. Sikap mereka terhadap sunnah menghindar dari dua ekstrem dan mencari jalan tengah, yakni pendekatan alternatif terhadap hadis yang akan melengkapi sistem klasik dan akan memberinya fleksibelitas baru tanpa merusak.
Untuk dapat memberikan fleksibelitas, maka pengujian kembali keotentikan hadis tentu merupakan satu keharusan. Dari penjelasan Brown yang panjang, kita dapat menjelaskan bahwa pengujian kembali sunnah oleh pembaru modern salah satunya dengan melakukan pembalikan metode pengujian yang sebetulnya juga merupakan warisan klasik yang terabaikan, terutama dari warisan mazhab Hanafi (baca hal. 143-147) Kecenderungan umum sebelumnya adalah menggunakan hadis untuk mengakhiri monopoli faqih dalam menginterpretasi syariah, tetapi oleh pembaru menggunakan metode faqih besar untuk mengoreksi keterikatan harfiah dan doktriner kepada hadis. Artinya, kriteria-kriteria kritik hadis ketat dari faqih yang tampak diabaikan oleh ahli hadis—terutama sekali dalam kritik matan seperti apakah sebuah riwayat selaras dengan penalaran, dengan sifat dasar manusia, dan dengan kondisi sejarah–harus digunakan kembali. Demikian pula dalam hal hubungan al-Qur’an dengan hadis. Jika kecenderungan keilmuan klasik memandang sunnah sebagai penjelasan wahyu yang tidak mungkin salah dan dibatalkan oleh al-Qur’an karena membuat perintah-perintah al-Qur’an yang umum menjadi lebih spesifik, maka kaum pembaru justru membawa hadis kembali ke bawah pengayoman prinsip-prinsip al-Qur’an.
Tokoh-tokoh yang menjadi lokomotif pembaru dalam kebangkitan kembali Islam yang dikutip Brown di dalam karya ini adalah tokoh-tokoh semisal Al-Ghazali, Yusuf Qardhawi dan Al-Siba’I dari Mesir, sedangkan dari Pakistan disebut nama-nama seperti Syibli Nu’mani dan Maududi. Walaupun tokoh-tokoh ini sama dalam rangka kebangkitan kembali Islam, namun tentu saja terdapat kecenderungan-kecenderungan tertentu dari para tokoh ini. Tetapi—dari penjelas Brown—dalam level yang lebih luas, meskipun kaum pembaru cenderung menggunakan metode faqih, namun pembaru-pembaru Pakistan sedikit lebih menekankan kualitas faqih. Karena itu, individu-individu yang memiliki kualitas yang faqih yang disebut Maududi mizaj syinasi rasul,semacam internalisasi temperamen (mizaj) Nabi saw, akan lebih memiliki otoritas dalam menilai sunnah. Dia bebas menolak hadis yang isnadnya tidak cacat, apabila instingnya menyatakan bahwa hadis tersebut tidak sesuai dengan Islam. Dengan demikian, maka pembaru Pakistan tampak lebih berani dalam melakukan gerakan kebangkitan kembali Islam.
CATATAN AKHIR: KRITIK DAN APRESIASI
Harus diakui bahwa karya Brown ini salah satu karya yang komprehensif menampilkan persoalan-persoalan  klasik dengan bahasa yang menggairahkan, seperti peran akal dalam menerima wahyu, dilema kritik hadis dan tentang apa sunnah dan hadis serta metodologi yang bagaimana dibawa oleh pembaru seperti Syibli Nu’mani, Muhammad al-Ghazali, al-Mawdudi, al-Siba’i dan Yusuf al-Qardhawi. Hal yang paling penting dicatat dari buku ini adalah bahwa perdebatan mengenai sunnah telah bergeser, dari para penentang hadis ke kaum pembaru, dan ini sesungguhnya menggambarkan  sebuah wajah baru kebangkitan Islam yang paling penting, namun jarang dipresentasikan. Mencermati ini Barat salah menanggapi gerakan pembaru Islam  muslim. Meskipun kadang-kadang, gerakan pembaru  cenderung kepada kekerasan, memusuhi kepentingan geopolitik Barat, namun tidaklah sepenuhnya benar. Disamping itu, pendekatan kaum pembaru terhadap sunnah bukan karena mengkhawatirkan kelangsungan hidup Islam, tetapi karena keyakinan bahwa Islam semakin kuat. Karena Islam sedang mendapatkan kembali inisiatif, sebuah cetak biru yang diperlukan untuk membimbing proses ini.
Tetapi, karya Brown yang ilmiah ini—terutama  tentang konsep sunnah seperti yang telah dijelaskan di atas—tampak  tidak berbeda jauh dari penulis-penulis Barat terdahulu semisal Ignaz Golziher dan Schacht. Karena itu, konsepnya tentang sunnah—meskipun karya ini lahir jauh lebih belakang—hanya pengulangan terhadap karya-karya terdahulu, meskipun gagasan-gagasan karya tersebut telah mendapat tantangan karena keberatan-keberatan logika dan sejarah, seperti  Fazlur Rahman (1984: 56), Ahmad Hasan (1984: 78-79) dan bahkan Musthafa A’zami (1994: 20-26). Keberatan-keberatan yang diajukan terhadap konsep sunnah dari penulis-penulis tersebut sama sekali tak mendapat perhatian Brown, meskipun ia pada awal tulisannya menyatakan bahwa bukunya ini mendapat inspirasi dari Fazlur Rahman.
Brown, ketika mengemukakan pendapatnya tentang sunnah tampak tidak dibangun dari bukti-bukti yang komprehensif, sehingga dengan demikian, kesimpulan-kesimpulannya pun menjadi parsial, seperti kesimpulannya tentang sunnah Rasulullah saw, misalnya, yang dalam pandangan kaum muslim awal tidak dipandang lebih tinggi dari sunnah-sunnah lainnya. Pada hal terdapat cukup bukti lain yang menyatakan bahwa sunnah Rasulullah dipandang lebih tinggi dari sunnah-sunnah lainnya, bahkan bukti dari tindakan Umar sendiri. Secara logika sangat sulit dipahami, bagaimana mungkin orang muslim memandang sunnah Nabi sebagai hal yang biasa saja, padahal jelas sekali bahwa, dari petunjuk al-Qur’an kaum muslim memandang perilaku Rasulullah sebagai suatu pola teladan dan contoh bagi mereka semenjak diturunkannya wahyu. Dengan demikian jelas sekali sunnah Nabi saw yang sifat normatifnya sudah mendapat legalitas dari Allah dibanding sunnah-sunnah lainnya. Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah, mengirim utusan ke berbagai kota dengan tujuan untuk mengajar penduduk kota-kota itu agama (din) dan sunnah Rasul saw, bukan sunnah Umar. Surat al-Hasan dari Bashrah (w. 110 H) pada Abdul Malik bin Marwan memuat menggandengkan perintah Allah denan sunnah Rasul (lihat Ahmad Hasan, 1984: 81).
Dari sini, sunnah Rasululllah saw jelas sekali telah mendapat perhatian yang cukup serius dan menjadi rujukan utama di setelah al-Qur’an. Meskipun tindakan umat diatur oleh al-Qur’an, tetapi Rasulullah-lah yang memberikan bentuk konkrit dan praktis bagi ajaran-ajarannya. Cara-cara Rasul menerapkan ajaran-ajaran al-Qur’an menjadi hukum bagi masyarakat. Itulah sebabnya, Ahmad Hasan mengatakan, bagaimana mungkin kita mengandaikan bahwa para sahabat di sekitar Rasulullah melalaikan peritah beliau yang melalui beliaulah al-Qur’an diajarkan kepada mereka.[3] Dengan demikian, Al-Qu’ran dan sunnah saling terkait erat bahkan terjalin sedemikian rupa sehingga keduanya satu sama lain tak bisa dipisahkan. Kita dapat menyebutkan keduanya sebagai satu keseluruhan yang terpadu (Ahmad Hasan, 1984: 80).
Sunnah Nabi saw yang normatif dan paling penting bagi umat berlangsung terus dalam generasi-generasi kaum muslim. Tetapi, tidak semua mereka, bahkan para sahabat, tidak mengetahui sunnah Nabi. Karena itu ada dua cara bagi orang untuk mengetahui sunnah Nabi, yaitu praktek umat dan hadis. Karena itu, identifikasi sunnah dengan hadis telah ada sejak masa yang paling awal, bukan hanya pasca Syafi’i. Namun jelas sekali bahwa sunnah dalam masa tertentu berjalan murni, terutama sekali hingga pada masa empat khalifah. Setelah itu sunnah mulai mengalami perubahan. Karena itu adalah wajar sekali jika Syafi’i menjadikan hadis sebagai wahana ekslusif bagi sunnah Nabi saw ketika praktek umat tidak lagi berjalan murni. M. Amin Abdullah (1996: 312) cukup wajar bila Syafi’i sangat berpegang teguh pada hadis. Hal ini adalah dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan pemekaran politik, hukum dan kalam pada saat itu yang mengacu pada disintegritas.
Akhirnya, dapat penulis katakan bahwa membaca karya Brown ini memang sangat menarik dan menggugah pikiran tentang relevansi sunnah dalam kehidupan modern. Tetapi, jelas sekali bahwa karya ini harus dibaca dengan bekal gagasan-gagasan tentang sunnah kaum muslim dan pandangan kritis, terutama sekali tentang konsep sunnah yang tampak tak jauh berbeda dengan gagasan-gagasan Barat sebelumnya seperti Ignaz Golziher, Margoliouth, Schacht.

DAFTAR RUJUKAN

Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1996.
Brown, Daniel W, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern (terj), Mizan: Bandung, 2000.
Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Pustaka: Bandung, 1984.
Juynboll, G.H.A. Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), Mizan: Bandung, 1999.
Rahman, Fazlur, Islam, Pustaka: Bandung: 1984.

Footnote:
[1]Lihat misalnya G.H.A. Juynboll (1999: 1).  Dalam karyanya tersebut, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), ia mengemukakan para teolog Mesir sering membahas literatur Islam yang berkenaan dengan hadis seperti isu tentang tadwin, adalah, wadh’periwayatan hadis, israiliyyat, dan hadis-hadis tentang pengobatan.
[2]Untuk lebih jauh tentang peran al-Syafi’i terhadap sunnah,  lihat misalnya,  Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Mizan: Bandung, 1984.
[3]Orientalis seperti Margoliouth, menyatakan bahwa ketika setiap kali Nabi disandingkan dengan Allah dalam al-Qur’an, ini hanya merujuk kepada konteks al-Qur’an itu sendiri yakni, hanya mempunyai rujukan intra-Qur’ani. Artinya, bahwa ia ingin mengatakan  Nabi Muhammad tidak mempunyai sunnah ekstra Qur’ani yang mungkin telah dicatat dalam beberapa hadis. Tetapi, seperti yang dikatakan Fazlur Rahman, hal ini tak dapat diterima, sebab terdapat kasus-kasus di mana ketika al-Qu’ran berbicara tentang otoritas Nabi yang ekstra Qur’ani, seperti pembagian harta rampasan perang, yang kemudian didukung oleh al-Qur’an sendiri dengan pernyataannya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu ambillah, dan apa yang dilarangnya, hentikanlah. (Rahman, 1984: 62-63).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar