MU'TAZILAH
  
1. Definisi 
Secara Bahasa :
Kata Mu’tazilah berasal dari kata ‘azala–ya’taziluhu ‘azlan wa’azalahu  fa’tazala wa-in’azala wa-ta’azzala yang artinya menyingkir atau  memisahkan diri.[1]
Secara Istilah :
Mu’tazilah berarti sebuah sekte sempalan yang mempunyai lima pokok  keyakinan (al ushul  al-khamsah), meyakini dirinya merupakan kelompok  moderat  di antara dua kelompok ekstrim yaitu Murji’ah yang menganggap  pelaku dosa besar tetap sempurna imannya dan Khawarij yang menganggap  pelaku dosa besar telah kafir.[2]
 
2.    Awal Kelahiran dan Penamaan Mu’tazilah
 
Di kalangan para peniliti terjadi perbedaan pendapat yang cukup  mencolok mengenai asal usul penamaan Mu’tazilah. Penyebabnya adalah  penamaan tersebut erat kaitannya dengan berbagai peristiwa sejarah yang  terjadi di dunia Islam pada masa kelahiran gerakan ini.  Pendapat-pendapat tersebut di antaranya:
(1).  Sebagian pihak menyatakan penamaan Mu’tazilah berasal dari lawan mereka yaitu Ahlus Sunah wal Jama’ah.
(2).    Sebagian pihak lain menyatakan nama Mu’tazilah berasal dari diri mereka sendiri.
(3).   Sebagian pihak menyatakan Mu’tazilah lahir dengan adanya i’tizal  siyasi (pengasingan diri dari dunia politik) pada masa awal fitnah (masa  kekhilafahan Ali). Sebagian peneliti lain menyatakan Mu’tazilah lahir  karena sebab-sebab lain.[3]
 
Mayoritas peneliti yang menyatakan penamaan Mu’tazilah berasal dari  Ahlus Sunah wal Jama’ah mengaitkan penamaan tersebut dengan perdebatan  mengenai hukum pelaku dosa besar antara Imam Hasan Al Bashri dan Washil  bin Atha’ (80 H-131 H) yang hidup pada masa pemerintahan Hisyam bin  Abdul Malik Al Umawy.
Imam Hasan Al Bashri mempunyai majelis pengajian di masjid Bashrah. Pada  suatu hari seorang laki-laki masuk ke dalam pengajian imam Hasan Al  Bashri dan bertanya,” Wahai imam, di zaman kita ini  telah timbul  kelompok yang mengkafirkan para pelaku dosa besar yaitu kalangan  Wa’idiyah Khawarij dan juga timbul kelompok lain yang mengatakan maksiat  tidak membahayakan iman sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat sama  sekali bila bersama kekafiran yaitu kelompok Murji’ah. Bagaimana sikap  kita?” Imam Hasan Al Bashri terdiam memikirkan jawabannya, saat itulah  murid beliau yang bernama Washil menyela,” Saya tidak mengatakan pelaku  dosa besar itu mukmin secara mutlak dan tidak pula kafir secara mutlak,  namun dia berada di satu posisi di antara dua posisi, tidak mukmin dan  tidak pula kafir.” Jawaban ini tidak sesuai dengan ayat-ayat Al Qur’an  dan As Sunah yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin namun  imannya berkurang. Tentu saja Imam Hasan Al Bashri membantah jawaban  Washil yang tak berlandaskan dalil tadi. Washil kemudian pergi ke salah  satu sudut masjid, maka imam Hasan Al Bahsri berkata,” Ia telah  memisahkan diri dari kita  (I’tazalnaa).” Sejak saat itu ia dan  orang-orang yang mengikutinya di sebut Mu’tazilah, artinya kelompok yang  memisahkan diri (menyempal).[4]
 
Mayoritas peneliti menyatakan pendapat mereka yang menyelisihi Ahlus  Sunah wal Jama’ah dalam masalah hukum pelaku dosa besar inilah yang  menyebabkan mereka dikenal sebagai sekte Mu’tazilah. Al Baghdadi  menambahkan satu sebab lagi, yaitu pendapat mereka yang menyelisihi  Ahlus Sunah wal Jama’ah dalam masalah taqdir.[5]
 
Dalam perkembangan selanjutnya, sekte Mu’tazilah mempunyai banyak  nama, baik penamaan dari mereka sendiri maupun dari pihak luar.  Nama-nama tersebut adalah:
 
 Mu’tazilah, berawal dari penamaan imam Hasan Al Bashri terhadap Washil bin Atha’ seperti yang telah disebutkan di awal tadi.
 
 Jahmiyah, dinamakan demikian karena Jahmiyah lebih dahulu muncul,  juga karena Mu’tazilah sependapat dengan Jahmiyah dalam beberapa hal dan  karena di awal kemunculannya Mu’tazilah menghidupkan prinsip-prinsip  Jahmiyah.[6]
 
 Qadariyah (kelompok yang menolak iman kepada taqdir), dinamakan  demikian karena mereka juga mengingkari taqdir dan berpendapat  manusialah yang menciptakan perbuatannya sebagaimana pendapat Qadariyah .
 
 Tsanawiyah dan Qadariyah, dinamakan demikian karena Mu’tazilah  berpendapat bahwa perbuatan baik itu dari Allah dan perbuatan jelek itu  dari manusia. Ini menyerupai Tsanawiyah dan Qadariyah yang meyakini  adanya dua tuhan, tuhan kebaikan dan tuhan kejahatan.
 
 Wa’idiyah, dinamakan demikian karena mereka berpendapat bahwa Allah  harus menyiksa pelaku dosa yang belum bertaubat sebelum matinya.
 
 Mu’athilah (kelompok yang meniadakan), dinamakan demikian karena mereka meniadakan sifat-sifat Allah.
 
 Ahlul ‘Adl Wat Tauhid Wal ‘Adalah (kelompok yang bertauhid dan  menegakkan keadilan). Ini nama yang mereka akui berdasar aqidah lima  pokok mereka.
 Ahlul Haq (kelompok yang berada di atas  kebenaran). Ini nama yang mereka akui berdasar aqidah lima pokok mereka.
 
 Firqah Najiyah (kelompok yang selamat). Ini juga nama yang mereka yang mereka sematkan untuk mereka sendiri.
 
 Al Munazihun Lillah (orang-orang yang mensucikan Allah). Ini juga nama yang mereka sematkan untuk mereka sendiri.[7]
 
 Al Haraqiyah: Karena mereka berpendapat bahwa orang kafir tidak disiksa dalam api neraka kecuali sekali saja.
 
 Al Mufaniyah: Karena mereka berpendapat bahwa neraka dan surga itu tidak kekal.
 Al Lafdziyah: Karena mereka berpendapat bahwa lafal-lafal Al Qur’an itu adalah makhluk.
 Al Qabriyah: Karena mereka berpendapat bahwa adzab kubur itu tidak ada.[8]
3.    Perkembangan Mu’tazilah
 
Sekte Mu’tazilah lahir pada masa pemerintahan Umawiyah, namun  berkembang menjadi sebuah gerakan pemikiran yang menyibukkan dunia Islam  dalam rentang waktu yang panjang pada masa pemerintahan Abbasiyah. 
 
Mu’tazilah lahir pertama kali di kota Bashrah, namun berkembang  dengan cepat di Baghdad. Sekte sesat ini dianut oleh khalifah Yazid bin  Al-Walid dan Marwan bin Muhammad dari pemerintahan Umawiyah. Sekte ini  semakin merajalela pada masa pemerintahan Abbasiyah. Mu’tazilah  mempunyai dua madrasah besar yang menjadi  pusat pengkaderan dan  penyebaran ide-idenya, yaitu Bashrah dengan pimpinannya Washil dan  Baghdad dengan pimpinannya Bisyr bin Mu’tamar. Meski sama-sama  Mu’tazilah, di antara kedua madrasah ini terjadi perbedaan pendapat dan  perdebatan yang tajam.[9]
 
Perkembangan Mu’tazilah sepanjang sejarah bisa digambarkan secara ringkas sebagai berikut:
 Sebelum Mu’tazilah lahir dalam bentuk sebuah sekte, di masyarakat saat  itu sudah berkembang perdebatan yang sengit dalam hal pemikiran dan  keagamaan. yaitu:
 
1. Pendapat yang mengatakan manusia itu merdeka secara mutlak  (penuh), manusia menciptakan seluruh perbuatannya tanpa ada campur  tangan dari Allah sedikitpun. Ini merupakan pendapat Ma’bad Al Juhani  dan pendapat ini menjadi dasar sekte sesat Qadariyah. Ia bersama  Abdurrahman bin Asy’ats memberontak melawan Abdul Malik bin Marwan.  Ketika pemberontakan gagal, Ma’bad dibunuh oleh Hajaj bin Yusuf Ats  Tsaqafi, yaitu pada tahun 80 H. 
 
2. Pendapat ini diulang lagi oleh Ghilan Ad Dimasqi pada masa Umar  bin Abdul Aziz. Saat itu setelah dipanggil oleh khalifah ia bertaubat.  Namun setelah Umar bin Abdul Aziz meninggal ia mengulangi lagi  kesesatannya. Maka khalifah Hisyam bin Abdul Malik menghukum mati  Ghilan.
3. Pendapat yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk dan meniadakan  sifat-sifat Allah. Ini pendapat Jahm bin Shafwan, pendapat sesatnya ini  melatar belakangi lahirnya sekte sesat Jahmiyah. Ia dibunuh oleh  gubernur Salim bin Ahwas di daerah Marwa pada tahun 128 H .
 
4. Pendapat yang meniadakan sifat Allah ini kembali dihidupkan oleh  Ja’ad bin Dirham. Karena kesesatannya membahayakan kemurnian Islam, ia  dibunuh oleh gubernur Kufah, Khalid bin Abdullah Al Qasari. 
 
  Kemudian Mu’tazilah tumbuh sebagai sebuah sekte sesat dengan  keluarnya Washil bin Atha’ dari pengajian imam Hasan Al Bashri. Ia hidup  pada masa Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul Malik.
 
 Pada masa pemerintahan Al Makmun di masa khilafah Abbasiyah, sekte  Mu’tazilah menjadi sekte yang memegang peranan penting dalam  pemerintahan karena khalifah menganut sekte ini, Pada masa itu para  pemimpin Mu’tazilah seperti Biysr Al Muraisy, Tsumamah bin Asyras dan  Ibnu Abi Du’at menjadi penasehat-penasehat Al Makmun. Pada masa inilah  timbul fitnah yang terkenal dengan nama fitnah khalqul Qur’an di mana  para ulama Ahlus Sunnah yang menolak mengakui Al Qur’an itu makhluk  dipenjarakan dan disiksa, contohnya Imam Ahmad. Hal ini berlangsung  sampai pada pemerintahan Al Mu’tashim dan Al Watsiq.
 
 Pada masa pemerintahan Al Mutawakil pada tahun 232 H, keadaan  kembali normal dengan sikap khalifah yang menganut aqidah Ahlus Sunnah  dan dibebaskannya para ulama setelah selama 14 tahun berjuang keras  melawan Mu’tazilah yang memaksakan aqidahnya melalui struktur negara.
 
 Pada masa pemerintahan bani Buwaih di Persia, tahun 334 H, terjalin  hubungan yang erat antara Mu’tazilah dan pemerintah yang berkuasa yang  menganut ideologi Rafidhah. Pemimpin Mu’tazilah, Abdul Jabbar, diangkat  menjadi qadhi di daerah Ra’i sejak tahun 360 H, atas perintah Shahib bin  ‘Ibad menteri Muayyid Daulah. Shahib ini menurut imam Adz Dzahabi  adalah seorang Syi’i Mu’tazili Mubtadi’. Menurut imam Al Mu’tazi, di  bawah perlindungan daulah Buwaihiyah inilah Mu’tazilah bisa berkembang  di Iraq, Khurasan dan negeri-negeri di belakang sungai / bilaadu ma  wara-a nahr (Uzbekistan saat ini).[10]
 
4.    Tokoh-Tokoh Mu’tazilah   
 
Tokoh-tokoh Mu’tazilah yang berjasa besar mengembangkan dan membidani  kelahiran serta kelangsungan hidup sekte sesat ini banyak sekali,  antara lain yang paling terkenal adalah:
 
1) Washil bin Atha’, lahir pada tahun 80 H. di Madinah, belajar pada  imam Hasan Al Bashri di Bashrah, kemudian memisahkan diri dalam kasus  hukum bagi pelaku dosa besar. Meninggal pada tahun 131 H. Ia melakukan  dua bid’ah (dua ajaran sesat dan menyimpang), yaitu:
 
• Pelaku dosa besar berada di manzilah di antara manzilatain.
• Mencela keadilan sahabat dengan mengatakan salah satu di antara dua  pihak sahabat yang terlibat perang Shifin adalah fasiq tanpa menunjukkan  pihak yang mana. Akhirnya ia dan pengikutnya tidak menerima kesaksian  kedua belah pihak.[11]
 
2) Amru bin Ubaid Abu Utsman Al Bashri, wafat tahun 144 H. Ia lahir  di Balkh, hidup di Bashrah dan berguru pada Washil bin Atha’. Bid’ah  yang paling nampak dilakukannya adalah menolak semua hadits yang tidak  sesuai dengan akal.
 
3) Abu Huzail Al ‘Allaf, wafat tahun 235 H. Ia seorang pemikir dan  ahli kalam Mu’tazilah. Lahir dan belajar di Bashrah kemudian pindah ke  Baghdad. Di antara pemikiran-pemikirannya yang menyimpang adalah ;
 
• Kemampuan Allah itu fana (rusak tidak kekal). Ketika sudah fana maka Allah tidak mempunyai kemampuan sama sekali.
• Allah itu ‘Alim (Maha mengetahui) dan ilmu Allah adalah Dzat-Nya .  Allah itu qadir (Maha berkuasa ) dan qudrah Allah adalah Dzat-Nya.  Demikian seterusnya, seluruh sifat Allah ia nyatakan Dzat-Nya.
• Seorang mukallaf wajib mengetahui Allah sebelum datangnya wahyu.  Barangsiapa tidak bersungguh-sungguh dalam hal ini ia akan diadzab.  Artinya, akal semata sudah cukup untuk  menjadikan tegaknya hujjah,  tanpa memerlukan wahyu. 
 
4) Ibrahim bin Sayar al Nadzam (wafat 231 H). Ia murid Abu Hudzail Al  Allaf. Ia seorang ahli kalam Mu’tazilah. Tumbuh di Bashrah dan tinggal  di Baghdad sampai meninggal. Ia seorang ahli sya’ir dan ilmu mantiq. Di  antara pendapatnya adalah:
 
• Allah tidak mempunyai sifat qudrah (mampu) atas perbuatan jahat dan  maksiat. Artinya seluruh perbuatan jahat itu berasal dari manusia  semata, manusialah yang menciptakannya.
• Al Qu’ran tidak mempunyai i’jaz daalam susunannya. Ia juga mengingkari  mukjizat Nabi seperti terbelahnya bulan dan bertasbihnya kerikil dalam  tangan beliau.
•  Menghujat para sahabat Nabi.
 
5) Abu Utsman Al Jahidz. Lahir dan meninggal di Bashrah. Ia belajar  di Bashrah dan Baghdad sehingga menjadi pembesar Mu’tazilah saat itu. Ia  terkenal sebagai orang yang cerdas dan kuat berfikir. Dari  pemikiran-pemikirannya timbul kelompok Al Jahidziyah.
 
6) Bisyr bin al Mu’tamad (wafat 226 H). Seorang pembesar Mu’tazilah pada masa itu, darinya timbul kelompok al Bisyriyah.
 
7) Ma’mar bin Ibad al Silmy. (wafat 320 H). Ia seorang ulama  Mu’tazilah yang paling keras dalam menafikan sifat Allah dan taqdir.  Darinya timbul kelompok Ma’mariyah.
 
 
  Abu Musa Isa bin Shubaih, terkenal dengan julukannya Mardar. (wafat 326  H). Ia begitu memperluas pemikiran akal filsafatnya sampai menimbulkan  kelompok baru Mu’tazilah yang dikenal dengan nama Mardariyah.
  
9) Tsumamah bin Asyras al Numairi (wafat 213 H). Ia meyakini setiap  orang fasiq kekal di neraka. Ia merupakan pentolan Mu’tazilah di masa Al  Ma’mun, Al Watsiq, dan Al Mu’tashim. Menurut riwayat, dialah yang  membujuk Al Ma’mun agar mengikuti faham Mu’tazilah. Darinya tumbuh  kelompok Tsumamiyah. 
 
10) Abu Husain bin Abu Umar al Khayath (wafat 300 H). Seorang tokoh  Mu’tazilah di Baghdad. Di antara keyakinan sesatnya adalah pendapat  bahwa segala sesuatu yang tidak ada itu jism (badan). Sesuatu sebelum ia  ada merupakan badan. Dengan pendapatnya ini ia menyatakan alam itu  kekal. Dengan demikian ia menyelisihi keyakinan seluruh sempalan  Mu’tazilah lainnya. Darinya timbul kelompok baru Al Khayathiyah.
 
11) Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad bin Abdul Jabbar al Hamdany. (wafat  414 H). Termasuk pentolan Mu’tazilah terbesar di abad-abad akhir. Ia  menjadi qadhi di daerah Ra’i. Ia membukukan sejarah Mu’tazilah dan  ideologinya. 
 
5.    Aqidah Mu’tazilah
 
(1).  Lima Dasar Utama (Al Ushulul Khamsatu / Pancasila), semacam rukun Iman bagi mereka. Yaitu:
 
 Tauhid.
Menurut mereka tauhid maknanya mengingkari sifat-sifat Allah karena  menetapkannya berarti menetapkan banyak dzat yang qadim, itu artinya  menyamakan makhluk dengan khaliq dan menetapkan adanya banyak Sang  Pencipta. Mereka menta’wil sifat-sifat Allah dengan mengatakan sifat  Allah adalah Dzat-Nya. Sebagai contoh, Allah ‘Alim (Maha Mengetahui)  maknanya ilmu Allah adalah Dzat-Nya, dan seterusnya.  Di antara sebagian  konsekuensinya, mereka mengingkari ru’yatullah di akhirat dan  mengatakan Al Qur’an itu makhluq.
 
 Al ‘Adlu (keadilan).
Keadilan versi mereka adalah menolak takdir karena menetapkannya berarti  Allah mendzalimi hamba-Nya. Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafy berkata:  “Mengenai al ‘adl mereka menutupi dibaliknya pengingkaran taqdir. Mereka  mengatakan Allah tidak menciptakan keburukan dan tidak menghukum dengan  adanya perbuatan jahat, karena jika Allah menciptakan kejahatan  kemudian menyiksa mereka atas kejahatan mereka, itu artinya Allah  dzalim, padahal Allah adil dan tidak dzalim. Sebagai konsekuensinya,  mereka menyatakan dalam (kekuasaan) kerajaan Allah terjadi hal-hal yang  tidak diinginkan Allah. Allah menginginkan sesuatu tetapi hal itu tidak  terjadi. Juga (konsekuensinya) mensifati Allah itu lemah, Maha Tinggi  (Suci) Allah dari hal itu[12] Sebab kesesatan mereka ini adalah ketidak  mampuan mereka membedakan antara iradah kauniyah dengan iradah  syar’iyah.[13]
 
 Infadzu al Wa’id.
Maknanya orang yang berbuat dosa besar bila belum bertaubat sebelum  meninggal, pasti kekal di neraka dan tidak ada syafa’at baginya. Ibnu  Taimiyah berkata: “Di antara pokok ajaran Mu’tazilah bersama Khawarij  adalah terlaksananya ancaman di akhirat dan bahwasanya Allah tidak  menerima syafa’at bagi pelaku dosa besar serta tak seorang pelaku dosa  besar pun yang keluar dari neraka.”[14] Mereka mengatakan jika Allah  mengancam hamba-Nya dengan suatu ancaman maka Allah wajib menyiksanya  dan tidak boleh mengingkari ancaman-Nya karena Allah tidak mengingkari  janji-Nya. Allah tidak memberi ma’af dan ampunan bagi orang yang  dikehendaki-Nya dan tidak pula mengampuni pelaku dosa besar yang tidak  bertaubat.[15]
 
 Al Manzilah Baina al Manzilatain.
Imam Ibnu Abil Izz berkata: “Adapun Al Manzilah Baina al Manzilatain  menurut mereka adalah pelaku dosa besar keluar dari iman dan tidak masuk  dalam kekafiran.”[16]
 
 Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Imam Ibnu Abil Izz berkata: “Adapun Amar Ma’ruf Nahi Munkar, mereka  berkata: “Kita wajib menyuruh orang selain kita untuk melaksanakan hal  yang diperintahkan kepada kita dan mewajibkan mereka dengan apa yang  wajib kita kerjakan. Itulah Amar Ma’ruf Nahi Munkar (versi mereka—  pent). Di antara kandungannya adalah boleh memberontak dengan senjata  melawan penguasa yang dzalim.”[17] Dr. Abdul Majid Al Masy’abi berkata:  “(maksud mereka dengan Amar Ma’ruf Nahi Munkar) adalah boleh melawan  para imam (pemimpin) dan memerangi mereka dengan pedang (senjata).”[18]  Ibnu Taimiyah meringkas lima dasar ajaran Mu’tazilah ini dengan  penjelasan beliau dalam ‘Majmu’ Fatawa’nya.[19]
 
(2).  Mengandalkan akal secara penuh dalam masalah aqidah. Mereka  mendahulukan akal atas nash, menta’wil ayat yang tak sesuai dengan akal  mereka dan menolak hadits yang bertentangan dengan akal —menurut  anggapan mereka —. Ciri kedua ini menjadi tanda khusus mereka. Mereka  terkenal berani dan melampaui batas dalam menggunakan akal. Karena itu  mereka sering juga disebut sebagai kaum rasionalis.
 
Abu Zahrah berkata: “Mu’tazilah merupakan sampah dari ghazwul fikr  ini, di mana manhaj mereka yang salah terwujud dalam menjadikan akal  sebagai penentu dalam segala hal. Mereka berlandaskan kepada hal-hal  yang masuk akal saja dalam studi mereka terhadap masalah aqidah. Setiap  masalah mereka ketengahkan/ujicoba dengan akal. Apa yang diterima akal  mereka terima dan apa yang ditolak akal mereka tolak.”[20]
 
Syaikh Ahmad Salam berkata,” Dasar mereka yang paling penting adalah  berpedoman dengan akal dalam masalah iman, nash-nash sifat, dalam  menetapkan pendapat dan aqidah mereka serta tidak mempercayai an-naql  dalam masalah ini.”[21]
 
Sikap ini menyeret mereka untuk menyimpang dari kebenaran dengan melakukan beberapa hal bid’ah:
 
 Menolak hadits-hadits shahih yang bertentangan dengan akal dan dasar-dasar madzhab mereka.
   Menta’wil sifat-sifat Allah dengan ta’wilan yang sesuai dengan akal mereka.
 Menghukumi baik buruknya segala persoalan dengan akal. Menurut mereka,  manusia terkena beban taklif sekalipun belum datang Rasul dengan alasan  akalnya bisa membimbing menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
 
(3).  Menghujat dan mencela para sahabat Rasulullah. Mu’tazilah gemar  mengkritik dan  mencela sahabat dengan tuduhan-tuduhan keji. Tuduhan  keji ini menunjukkan bahwa mereka bukan mencari kebenaran, namun justru  menunjukkan niat yang buruk. Mereka mengkritik keras ijtihad yang  dilakukan para sahabat dengan tuduhan mendahulukan hawa nafsu atas nash.  
 
- Tokoh Mu’tazilah, An Nadzam bahkan tidak malu-malu untuk mengatakan para pembesar sahabat kekal di neraka.[22]
 
- Tokoh lainnya, Ali Al Juba-I terang-terangan menyelisihi ijma’  ulama dengan mengatakan tidak tahu mana di antara khulafa’ ar rasyidin  yang lebih utama.[23]
 
- Sementara tokoh lainnya, Abu Hudzail mengatakan: ”Kami tidak tahu,  apakah Utsman terbunuh dalam keadaan mendzalimi atau didzalimi.”  Sebelumnya, Washil bin Atha’ juga terang-terangan menyatakan ia tidak  tahu apakah Utsman yang salah ataukah Utsman terbunuh secara  dzalim.”[24]
 
- Atha’ mengatakan perihal para sahabat yang terlibat dalam perang  Jamal atau Shifin:  “Derajat minimal dari kedua pihak adalah  kesaksiaannya tidak diterima, sebagaimana dua orang yang saling melaknat  tidak diterima kesaksiannya.”[25]
 
- Lebih tegas lagi adalah Amru bin Ubaid yang menyatakan kedua belah  pihak sahabat yang terlibat perang Jamal atau Shifin sebagai orang-orang  fasiq sehingga kesaksiannya tidak diterima.[26]
 
- Sementara itu Ibrahim An Nadzam dan Bisyr bin Mu’tamar menyatakan  Ali di pihak yang benar, sementara Thalhah, Zubair, Aisyah’ dan  Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhum berada di pihak yang salah dan keadilan  mereka telah gugur.[27]
 
- An Nadzam menuduh Abu Bakar tidak konsisten; di mana dalam ayat  mutasyabihat beliau tidak mentakwil dan mengatakan, ”Langit yang mana  yang menaungiku, bumi mana tempatku berpijak, kalau aku mengatakan  tentang sebuah ayat dengan selain apa yang diinginkan Allah. Tetapi  dalam ayat kalalah, beliau berijtihad: ”Ini pendapatku. Kalau benar maka  dari Allah, kalau salah dariku. Kalalah artinya orang yang tidak  meninggalkan anak dan orang tua.”
 
- An Nadzam menuduh sahabat Umar dengan tuduhan mengalami keraguan iman, ketika mendebat Rasulullah dalam peristiwa Hudaibiyah.
 
- An Nadzam mengimani kedustaan Syi’ah yang menyebutkan Rasulullah  menulis wasiat pengangkatan Ali sebagai khalifah setelah beliau. Dengan  demikian, ia telah menuduh seluruh sahabat bersekongkol untuk  mengkhianati wasiat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam.
 
- An Nadzam menuduh sahabat Ibnu Mas’ud yang berijtihad dalam  beberapa masalah dengan tuduhan mengedepankan ra’yu (pikiran murni) atas  wahyu. An Nadzam menolak beberapa hadits yang diriwayatkan dari Ibnu  Mas’ud. 
 
- An Nadzam juga mengkritik habis sahabat Utsman, Abu Hurairah, dan Hudzaifah bin Yaman.
- Sebagian Mu’tazilah menyalahkan Mu’awiyah dan tidak mengakui kepemimpinannya.
- Masih banyak lagi tuduhan-tuduhan Mu’tazilah yang mendeskriditkan para  sahabat. Sikap mereka beragam; mulai dari meragukan keadilan sahabat  seperti Washil, hingga menuduh mereka sebagai pendusta, bodoh dan  munafiq seperti An Nadzam. Dengan tuduhan-tuduhan ini, Mu’tazilah tidak  mau menerima riwayat hadits para sahabat tersebut.[28]   
 
(4).    Mengingkari hadits Mutawatir.
An Nadzam mengatakan bahwa hadits mutawatir bisa saja mengandung  kedustaan. Ia berpendapat demikian karena ia meyakini dalil akal bisa  menasakh akhbar (Al Qur’an maupun As Sunah).[29]  Menurut Abu Hudzail,  dalam masalah-masalah ghaibiyah, dalil tidak bisa tegak kecuali dengan  riwayat dua puluh orang perawi dan di antara mereka harus ada seorang  atau lebih calon penghuni syurga. Bumi tak akan pernah kosong dari  wali-wali Allah yang ma’shum, tidak pernah berdusta, tidak melakukan  dosa besar. Mereka inilah yang menjadi hujjah, bukannya hadits  mutawatir. Karena boleh saja terjadi sekelompok perawi yang banyak  jumlahnya berdusta jika di antara mereka tidak terdapat wali-wali Allah  yang ma’shum.[30]
 
(5).   Menolak kehujjahan hadits ahad.
Ahlus Sunah wal Jama’ah tidak membeda-bedakan antara kehujjahan hadits  mutawatir dengan hadits ahad, selama sanad dan matannya shahih, maka  hadits tersebut bisa diterima dan dijadikan hujjah. Namun Mu’tazilah  menyatakan bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah. Tokoh  Mu’tazilah yang bernama Abul Hasan Al Khayath menolak kehujjahan hadits  ahad.[31] Abu Ali al Juba-i menolak hadits ahad kecuali kalau:
(a).  Ada hadits ahad lain yang digabungkan dengannya, yang diriwayatkan oleh perawi yang adil.
(b).   Atau dikuatkan oleh dhahir hadits lain atau sesuai denggan dhahir ayat Al Qur’an.
(c).   Atau dikerjakan oleh sebagian sahabat.
Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa Al Juba-i menolak hadits jika tidak diriwayatkan dari empat sanad.[32]
 
(6).  Membuat keragu-raguan terhadap hadits, meragukan banyak hadits, dan membuat hadits palsu.
Ahmad Amien berkata dalam bukunya “Dhuha Islam” tentang sikap  Mu’tazilah terhadap hadits: “Kadang-kadang menunjukkan sikap seorang  yang meragukan keshahihan hadits dan kadang-kadang sikap seorang yang  mengingkari hadits. Ini dikarenakan mereka menjadikan akal sebagai hakim  atas hadits, bukannya hadits atas akal.”[33]
 
Kesesatan-kesesatan Mu’tazilah ini banyak disebabkan oleh penerimaan  mereka terhadap filsafat Yunani kuno, terutama sekali pendapat-pendapat  Aristoteles, yang dibangun di atas landasan akal semata dan pengingkaran  akan adanya Allah.[34]
 
 Amru bin Ubaid, tokoh Mu’tazilah lainnya, dengan tegas menolak  hadits Ibnu Mas’ud yang menyatakan seorang janin pada usia empat bulan  telah dituliskan (ditentukan) rizqi, ajal, dan amalnya. Ia mengatakan:  ”Kalau saya mendengar hadits ini dari Al A’masy saya akan  mendustakannya. Kalau saya mendengar hadits ini dari Rasulullah tentulah  akan saya tolak. Kalau saya mendengar hadits ini langsung dari Allah,  tentulah akan saya jawab:      ”Bukan atas hal ini Engkau mengambil  perjanjian dengan kami.”[35]
 
 Lebih dari itu, para tokoh Mu’tazilah juga sering membuat hadits  palsu. Tokoh mereka, Amru bin Ubaid termasuk seorang pemalsu hadits. Di  antara hadits yang palsu periwayatannya adalah hadits yang menurutnya  dari Hasan Al Bashri bahwa orang yang mabuk karena anggur tidak dijilid.  Ketika hadits ini ditanyakan kepada Ayub As Sikhtiyani, ia menjawab:  ”Ia telah berdusta. Saya mendengar Hasan Al Bashri mengatakan: ”Orang  yang mabuk karena anggur dijilid.”[36]
 
 Hadits palsu lain yang diriwayatkannya adalah hadits: ”Kalau kalian  melihat Mu’awiyah di atas mimbarku maka bunuhlah ia.” Banyak sekali  hadits yang kata Amru bin Ubaid diriwayatkan dari Hasan Al Bashri,  ternyata adalah hadits palsu. Amru bin Ubaid menggunakan popularitas  imam Hasan Al Bashri untuk menyebarkan hadits-hadits palsu  karangannya.[37]
 
 An Nadzam membolehkan membuat hadits palsu dalam keadaan dipaksa  (mukrah). Dalam kenyataannya, Mu’tazilah termasuk An Nadzam sendiri  memalsu hadits bukan karena dipaksa, namun dengan tujuan menguatkan  pendapat-pendapat sesat mereka seperti selalu dikerjakan oleh Amru bin  Ubaid.
Contoh paling kongkrit dari hal ini adalah hadits riwayat tokoh  Mu’tazilah Qadhi Abdul Jabbar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda:  ”Lima hal yang seseorang tidak akan dimaafkan bila tidak mengetahuinya:  Mengetahui Allah Ta’ala dan tidak menyerupakannya dengan sesuatu  apapun, cinta karena Allah, benci karena Allah, amar ma’ruf nahi  mungkar, dan menjauhi kedzaliman.” Hadits ini dinyatakan hadits palsu  oleh para ulama, tetapi dipegang teguh oleh Mu’tazilah demi melegitimasi  aqidah ushulul khamsah mereka.[38]
 
(7).   Sebagian Mu’tazilah mengingkari kehujjahan ijma’ dan qiyas.
An Nadzam mengingkari kehujjahan ijma’ dan qiyas karena menurutnya  hujjah hanya akan tegak dengan adanya pendapat imam yang ma’shum dengan  meniru aqidah Syi’ah yang menyatakan kewajiban taat hanya kepada imam  Syi’ah semata.[39] Karena pendapatnya ini, An Nadzam menyelisihi  beberapa hal yang telah disepakati oleh umat Islam seperti wajibnya  wudhu karena tidur dan lain-lain. 
 
 Dalam hal ijma’ pendapat seluruh Mu’tazilah hampir seragam yaitu  menolak kehujjahan ijma’ kecuali qadhi Abdul Jabbar yang menyatakan  kehujjahan ijma’ dengan dasar hadits: “Umatku tak akan berkumpul dalam  kesesatan.” Namun ijma’ menurutnya tidak harus berasal dari kesepakatan  seluruh Ulama Mujtahidin. Meski hanya seorang bisa memungkinkan  terjadi  ijma’. Ia melegitimasi pendapat ganjilnya ini dengan perkataan Ibnu  Mas’ud: ”Jama’ah adalah kebenaran itu sendiri meskipun kau sendirian.” 
 
 Beberapa tokoh Mu’tazilah tetap mengakui kehujjahan qiyas, seperti  Bisyr bin Mu’tamar, Abu Hudzail, dan Bisyr bin Ghiyats al Muraisy.[40]
 
Boleh dikata Mu’tazilah adalah sekte gado-gado, di dalamnya terkumpul  perpaduan berbagai ajaran sesat dari banyak sekte sesat lain. Bila  diteliti secara mendalam, akan ditemukan bahwa di dalam sekte Mu’tazilah  terdapat beberapa pemikiran sesat dari berbagai kelompok lain, yaitu: 
 
1. Mu’tazilah mengambil pendapat menolak takdir dari Qadariyah.  Syaikh Ghalib Ali Iwaji berkata: “Patut disebutkan di sini, sesungguhnya  Mu’tazilah telah sependapat dengan Qadariyah dalam masalah yang  termasuk masalah aqidah yang paling penting, yaitu masalah taqdir dan  kedudukan manusia menurut taqdir. Mu’tazilah dan Qadariyah berpendapat  bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia tapi manusialah yang  menciptakan perbuatan mereka sendiri. Allah tidak mempunyai penciptaan  apapun dalam hal ini, begitu juga tidak mempunyai kemampuan (qudrah),  kehendak (masyi-ah), maupun keputusan (qadha’)[41]
 
2. Mu’tazilah mengambil pendapat pengingkaran sifat Allah dari  Jahmiyah. Ibnu Taimiyah berkata: “Orang yang pertama kali berpendapat  demikian dalam Islam adalah Ja’d bin Dirham. Ia dibunuh oleh Khalid bin  Abdullah al Qasary pada hari ‘Idul Adha…Pendapat ini kemudian diambil  oleh Jahm bin Shafwan yang kemudian dibunuh oleh wali Khurasan, Salamah  bin Ahwaz. Pendapat ini kemudian dinisbahkan kepadanya dan dikenal  dengan nama pendapat Jahmiyah, yaitu meniadakan sifat-sifat Allah.  Mereka mengatakan Allah tidak bisa dilihat di akhirat, tidak berbicara  kepada hamba-Nya, tidak mempunyai  sifat Ilmu, Hayat, Qudrah, dan  sifat-sifat Allah lainnya. Mereka mengatakan Al Qur’an itu makhluk.  Mu’tazilah pengikut Amru bin Ubaid sependapat dengan Jahmiyah dalam  masalah ini dan mereka menambah beberapa bid’ah baru dalam masalah  taqdir dan lain-lain.”[42]
 
3. Mu’tazilah mengambil pendapat kekalnya pelaku dosa besar di neraka  dari Khawarij. Ibnu Taimiyah berkata:  “Khawarij telah berpendapat  tentang kafirnya para pelaku dosa dari kalangan ahlul kiblat (umat  Islam) dan mereka mengatakan: “Mereka itu kafir dan kekal di neraka.”  Maka manusia menyelami (ikut ramai berbicara) dalam pembicaraan masalah  itu. Qadariyah juga ikut menyelami masalah ini setelah wafatnya Hasan al  Bashri. Amru bin Ubaid dan pengikutnya mengatakan: “Mereka (pelaku dosa  besar) tidak muslim dan tidak pula kafir tapi mereka mempunyai satu  kedudukan di antara dua kedudukan tadi. Mereka kekal di neraka.” Mereka  sependapat dengan Khawarij dalam kekalnya pelaku dosa besar di neraka  dan bahwasanya pelaku dosa besar sama sekali tidak muslim. Namun mereka  tidak menamakan pelaku dosa besar kafir. Mereka  memisahkan diri dari  halaqah murid-murid Hasan Al Bashri seperti Qatadah, Ayub As Sikhtiani   dll. Sejak saat itu mereka disebut Mu’tazilah yaitu sejak meninggalnya  Al-Hasan. Ada juga pendapat mengatakan bahwa Qatadahlah yang mengatakan:  “Mereka itu Mu’tazilah.” Mu’tazilah sependapat dengan Khowarij dalam  menghukumi pelaku dosa besar di akhirat namun tidak sependapat mengenai  hukum mereka di dunia. Mu’tazilah tidak menghalalkan darah dan harta  pelaku dosa besar sebagaimana dilakukan oleh Khawarij. Dalam masalah  nama mereka mengadakan ikhtilaf baru ‘Al-Manzilah baina Manzilatain’.  Ini merupakan ciri khas Mu’tazilah yang membedakam mereka dengan selain  mereka. Pendapat-pendapat mereka yang lain juga dikatakan oleh  sekte-sekte lain.”[43]
 
6.    Kafirkah Mu’tazilah ?.
 
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini.
a. Kafir. Menurut imam Ahmad, Mu’tazilah telah kafir. Beliau berkata:  “Adapun Mu’tazilah yang terlaknat maka para ulama yang telah kami temui  menyatakan mereka (Mu’tazilah) mengkafirkan pelaku dosa (besar). Barang  siapa berpendapat demikian berarti telah berpendapat Adam itu kafir,  begitu juga saudara-saudara Yusuf ketika berbohong kepada bapaknya yaitu  Ya’kub. Mu’tazilah telah sepakat siapa yang mencuri biji-bijian maka ia  telah kafir, isterinya tertalaq ba’in dan dia harus mengulangi lagi  hajinya jika dia sedang mengerjakan haji. Mereka yang berpendapat  demikian ini (yaitu Mu’tazilah—pent) kafir, tidak boleh dinikahi dan  kesaksiannya tidak diterima.”[44]
 
b. Tidak kafir. Menurut mayoritas ulama termasuk Ibnu Taimiyah, mereka tidak kafir dengan alasan :
 Mereka menampakkan sikap beragama yang baik.
 Sejak awal maksud mereka bukan menentang Rasul, namun mereka ingin  menetapkan tauhid, rahmat, hikmah, kebenaran, dan ketaatan kepada Allah  Ta’ala. Hanya saja mereka salah jalan dan mentakwil nash-nash tidak pada  tempatnya.[45] Ibnu Taimiah berkata: “Adapun orang yang berpendapat  dengan sebagian pendapat Jahmiyah seperti Mu’tazilah dan lainnya yang  menampakkan sikap beragama yang baik dalam batin mereka maka mereka itu  tidak diragukan lagi termasuk umat Muhammad.”[46]
 
7. SEMPALAN-SEMPALAN MU’TAZILAH
 
Sempalan-sempalan Mu’tazilah banyak sekali, Asy Syahrastani menyebutkan ada 12 sekte. Sekte-sekte pecahan itu, yaitu:
 
a)  Al WAASILIAH
Mereka adalah pengikut Abu Hudzaifah Wasil bin Atha’. Pendapat mereka dibangun di atas  4 dasar:
 Meniadakan sifat-sifat Allah Ta’ala.
 Meniadakan taqdir Allah Ta’ala.
 Manzilah bainal manzilatain.
 Menyatakan salah satu dari dua pihak yang terlibat dalam perang Jamal  dan Shiffin bersalah tanpa menunjuk pihak yang mana. Mereka juga  menyatakan pihak yang membunuh dan membela Utsman fasiq tanpa menunjuk  pihak yang mana. Derajat fasiq yang paling rendah menurut mereka adalah  kesaksiannya tidak diterima.
 
b) AL HUDZAILIYAH
Mereka adalah pengikut Abu Hudzail Hamdan bin Hudzail Al-’Allaf. Dia  mengambil fikrah Mu’tazilah dari Utsman bin Khalid At-Thawil, murid  Wasil bin Atha’. Aqidah kelompok ini dibangun atas sepuluh dasar:
 Sifat Allah adalah Dzat Allah itu sendiri.
 Menetapkan bahwa iradah Allah tidak mempunyai ruang untuk terealisasi.
 Menetapkan sebagian firman Allah tidak mempunyai ruang untuk  terealisasi seperti frman-Nya “kun” namun sebagian firman-Nya yang lain  mungkin untuk direalisasikan seperti perintah, larangan, dan berita.
 Manusia di dunia bebas berbuat apa saja tanpa campur tangan Allah  sedikit pun (meniadakan taqdir di dunia) namun di akhirat perbuatan  mereka diciptakan Allah, karena kalau diusahakan oleh mereka sendiri  berarti mereka terkena taklif.
 
 Gerak makhluk di akhirat itu berhenti dan tenang selamanya.  Penduduk neraka tenang selamanya dalam siksaan. Penduduk syurga tenang  selamanya dalam kenikmatan. Pendapat ini mirip pendapat Jahmiyah yang  mengatakan syurga dan neraka itu tidak kekal.
 Kemampuan itu hanyalah syarat selain kesehatan. Perbuatan hati tidak  sah bila tidak ada kemampuan, tapi perbuatan anggota badan sah meski  tidak ada kemampuan.
 Seseorang itu menjadi mukallaf sebelum datangnya wahyu, dikarenakan baik dan buruk itu bisa diukur dengan akal.
 Seseorang jika tidak dibunuh akan mati pada waktu itu juga, tidak  mungkin ditambah atau dikurangi umurnya. Adapun dalam masalah rizki  mereka mempunyai dua pendapat. Satu: apa yang diciptakan oleh Allah dan  dimanfaatkan makhluq-Nya boleh dikatakan Allah menciptakannya sebagai  rizki bagi hamba-Nya. Dua: apa yang dihalalkan Allah maka itulah rizki,  sedang yang diharamkan maka bukan rizki (tidak diperintahkan untuk  memanfaatkannya).
 Iradah Allah bukanlah apa yang Allah kehendaki. Sebagai contoh Allah  berkehendak menciptakan sesuatu maka kehendak Allah adalah penciptaan  itu, sedang penciptaan itu sendiri bukanlah benda yang diciptakan.  Mereka juga berpendapat bahwasanya Allah tetap Maha mendengar, Maha  Melihat dengan makna Allah akan mendengar dan melihat.
 Dalam masalah yang ghaib,  hujjah tidak akan tegak kecuali dengan  khabar  dari 20 orang  dan di antara 20 orang ini ada seorang atau lebih  ahli syurga. Bumi tidak akan pernah kosong dari sekelompok wali Allah  yang ma’shum, yang tidak berdusta dan tidak berbuat dosa besar. Mereka  itulah yang menjadi hujjah, bukan hadits mutawatir karena bisa saja  sekelompok orang berdusta jika mereka bukan wali Allah dan di antara  mereka tidak ada yang ma’shum.
 
c) AN-NADHAMIAH
Mereka adalah pengikut Ibrahim bin Sayar bin Hanik An-Nadham, seorang  pentolan Mu’tazilah yang banyak menelaah buku-buku fisafat. Ia membuat  bid’ah-bid’ah baru yaitu:
 Allah tidak mampu menciptakan keburukan dan kemaksiatan.
 Allah tidak disifati dengan sifat iradah secara hakikat. Kalau Allah  disifati dengannya maka maknanya adalah Allahlah yang menciptakannya.
 Seluruh perbuatan hamba itu sekedar gerakan saja. Bukan gerakan berpindah namun merupakan awal berubahnya sesuatu.
 Manusia itu pada hakikatnya hanyalah jiwanya (ruh). Adapun badan itu  hanya alat saja, ruhlah yang mempunyai kekuatan kehidupan, keinginan dan  kemampuan. Jadi kemampuan itu ada sebelum adanya perbuatan.
 Setiap perbuatan yang di luar batas kemampuan maka Allahlah yang menciptakannya.
 Allah menciptakan seluruh makhluq dalam sekali ciptaan seperti  keadaannya saat ini, hanya saja Allah menyembunyikan sebagian dalam  sebahagiaan yang lain.
 Ijma’ dan qiyas itu bukan hujjah, yang menjadi hujjah itu hanya imam yang ma’shum saja.
 Cenderung kepada Rafidhah, ia mencela para sahabat senior, menyatakan  imam itu harus dengan nash dan penunjukan yang dhahir. Mereka juga  berpendapat bahwa Rasulullah telah menyatakan Ali sebagai imam  sesudahnya.
 Orang yang berakal sehat sebelum datangnya wahyu tetap wajib mengenal  Allah karena akal itu bisa menunjukkan mana yang  baik dan mana yang  buruk.
 Seorang yang mencuri misalnya, tidak disebut fasiq sampai ia mencuri melebihi nishab.    
 
d) AL KHABITIYYAH dan AL HADTSIYAH
Mereka adalah pengikut Ahmad bin Khabit (wafat 232 H), sedang Al  Hadtsiyah adalah pengikut Fadhl Al Hadtsi (wafat 257 H). Kedua tokoh ini  adalah murid An Nadzam, keduanya banyak menelaah buku-buku filsafat.  Keduanya juga menambah beberapa bid’ah baru atas bid’ah guru mereka, An  Nadzam, yaitu:
 Menetapkan sifat ketuhanan atas diri Al Masih Ibnu Maryam, sebagaimana menjadi keyakinan orang Nashrani.
 Reinkernasi. Artinya: manusia yang banyak berbuat dosa atau kafir  setelah matinya akan dihidupkan Allah kembali dalam wujud binatang atau  manusia yang sesuai kadar kejahatan dan kebaikannya. Siapa kejahatannya  lebih banyak, maka bentuk jasadnya juga semakin jelek dan penderitaan  hidupnya juga semakin berat. Selama ia masih berbuat dosa dan  kemaksiatan, ia akan senantiasa mengalami reinkernasi, sampai bersih  dari dosa.
 Mereka menta’wil setiap hadits shahih yang menyatakan bahwa umat Islam  akan melihat Allah di hari kiamat dengan jelas sebagaimana mereka  melihat bulan purnama. Hadits–hadits ini mereka artikan dengan pandangan  akal yang pertama. Mereka berpegang pada hadits palsu: ”Makhluk yang  pertama kali diciptakan oleh Allah adalah akal. Allah berfirman kepada  akal: ”Datanglah!” Maka akal datang. Allah berfirman kepada akal:  ”Pergilah!” Maka akalpun pergi. Allah lalu berfirman: ”Demi kemuliaan  dan keagungan-Ku, tidaklah Aku menciptakan makhluk yang lebih baik  darimu. Denganmu Aku memuliakan atau menghinakan makhluk lain, denganmu  Aku memberi atau menahan (rizqi).” Pada hari kiamat, akal akan datang  dan terbukalah hijab yang menutupi Allah dari pandangan makhluknya.
 Ibnu Khabit juga berpendapat bahwa seluruh hewan itu umat, sebagaimana  disebut oleh ayat: ”Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi dan  burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya kecuali mereka itu  juga umat seperti kalian.” [Al An’am :38]. Dalam setiap umat ada Rasul  yang diutus dari bangsanya, berdasar ayat: ”Dan tak ada suatu umatpun  melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.” [Faathir :24].  Dengan demikian, menurutnya ada Rasul dari semut, gajah dst.
 
e).    AL BISYRIYAH
Mereka adalah pengikut Bisyr bin Mu’tamar. Di antara bid’ah barunya adalah:
 Siapa bertaubat atas dosa lalu mengulangi dosa itu lagi, maka ia akan  tetap mendapat hukuman atas dosa pertama yang dikerjakan sebelum  bertaubat.
 Allah bisa saja mengadzab anak kecil, namun jika Allah melakukan hal  itu maka Allah telah berbuat dzalim, karena itu dikatakan: “Anak itu  telah baligh dan melakukan dosa sehingga berhak diadzab”.
 
g).     AL MU’AMMARIYAH
Mereka adaalah pengikut Mu’ammar bin Ibad al Sualami. Sekte ini  merupakan sekte Mu’tazilah yang paling banyak menafikan sifat-sifat  Allah, menafikan taqdir, mengkafirkan dan memfasikkan. Di antara bid’ah  barunya:
 
 Yang dimiliki manusia hanyalah keinginan saja. Adapun perbuatan  taklifiyah manusia sepertai makan, bergerak, ibadah dst, tak lain adalah  wujud dari keinginannya.
 Allah tak mungkin mengetahui diri-Nya sendiri karena bila hal itu  terjadi berarti ‘Alim (Yang Mengetahui, dalam hal ini Allah) dengan  ma’lum yang diketahui itu tidak satu, berarti Allah ada dua.
 Allah tidak qadim (terdahulu), karena qadim diambil dari kata kerja  qadama-yaqdumu-qadiim, seakan-akan Allah melalui proses taqaadum zamani,  melakukan kerja “ada” di zaman lampau. 
 
h).     AL MARDARIYAH
Mereka adalah pengikut Mardar Abu Musa, Isa bin Shubaih (wafat 226  H). Dia dijuluki Rahibul Mu’tazilah (pendeta/ahli ibadah Mu’tazilah). Ia  merupakan murid Bisyr bin Mu’tamar. Di antara bid’ah barunya adalah:
 
 Allah bisa saja berdusta dan berbuat dzalim.
 Al Qur’an itu makhluk, karena itu, manusia bisa saja membuat buku yang  semisal Al Qur’an baik segi balaghah, fashahah maupun nadmnya. Ia juga  mengkafirkan orang yang menetapkan qadamain (dua telapak kaki) dan  ru’yatullah serta sifat-sifat lain. Begitu ekstremnya dalam mengkafirkan  orang lain, sampai ia mengkafirkan seluruh penduduk bumi. Suatu saat  Ibrahim bin Sindi menanyainya: ”Syurga yang luasnya seluas langit dan  bumi itu hanya dimasuki oleh kamu dan tiga orang yang setuju denganmu?”  Maka ia terdiam.
 Akal bisa menuntun kepada ma’rifatullah sebelum adanya wahyu. Baik dan buruk ukurannya adalah akal.
 
Dia mempuanyai beberapa murid, yaitu:
1) Ja’far bin Harb Ats Tsaqafi (wafat 234 H).
2) Ja’far bin Mubasyir Al Hamdani (wafat 236 H). Menurutnya, di antara  pelaku dosa dari umat Islam sekalipun ia bertauhid ada yang lebih buruk  dari Yahudi dan Nashrani. Menurutnya juga, ijma’ sahabat dalam masalah  had khamr salah karena berdasar pada akal semata.
3) Muhammad bin Suwaid.
4) Abu Zufar.
 
i).      AL TSUMAMIYAH
Pengikut Tsumamah bin Asras An Numairi, pimpinan Mu’tazilah di era  Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al watsiq. Bid’ah barunya antara lain:.
 Orang-orang kafir, musyrik, majusi, Yahudi, Nashrani, Zindiq, binatang  ternak, dan anak-anak kaum muslimin akan menjadi tanah pada hari  kiamat.
 Akal itu merupakan tolok ukur baik dan buruk. 
 
j).     AL HISYAMIYAH
Pengikut Hisyam bin Amru al Fuwathi (wafat 226 H). Ia sangat ekstrem  dalam mengingkari takdir. Selain mengingkari perbuatan-perbuatan Allah,  ia juga menambahkan bid’ah baru, seperti:
 Saat ini syurga dan neraka belum diciptakan karena tak ada gunanya.
 Imamah tak  boleh diangkat pada masa fitnah dan perbedaan.
 
k).     AL JAHIDZIYAH
Pengikut Abu Utsman Amru bin Bahr al Jahidz. Di antara bid’ahnya:
 Di antara penduduk neraka ada yang tidak kekal, namun sifatnya berubah menjadi sifat api.
 Al Qur’an mempunyai jasad, suatu saat bisa berwujud laki-laki dan suatu saat bisa berwujud hewan. 
 
l).      AL JUBBAIYAH dan AL BAHMASYIYAH
Pengikut Abu Muhammad bin Abdul Wahab al Jubba-i (wafat 295 H) dan  anaknya, Abu   Hasyim Abdus Salam (wafat 321 H). Keduanya dari Baghdad.  Banyak bid’ah Mu’tazilah secara umum juga diyakini kedua sekte pecahan  ini.
 Mereka sepakat dengan Ahlus Sunah bahwa imam itu dipilih serta urutan khulafaur rasyidun menunjukkan urutan keutamaan mereka.
 Mengingkari karamah para wali.
 Ekstrem dalam masalah kema’shuman Nabi, baik dari dosa kecil maupun dosa besar, sampai niat berbuat dosa sekalipun.
 Ulama-ulama Mu’tazilah Baghdad ada yang cenderung ke Rafidzah dan ada juga yang cenderung ke Khawarij.
Demikian sekilas sekte-sekte pecahan Mu’tazilah.[47] 
 
8.     PENUTUP
Siapa saja yang membaca ideologi Mu’tazilah barangkali akan  menggeleng-geleng kebingungan dengan permainan logika mereka. Boleh  dikata, lima dasar aqidah mereka (Al Ushul al Khamsah) sudah tidak  populer lagi saat ini, kecuali pada sebagian kecil orang saja. Yang  populer justru adalah pengedepanan akal mereka dalam membahas  masalah-masalah aqidah dan dien secara umum. Siapa yang mengikuti  perkembangan ” Neo Mu’tazilah ” hari ini tentu akan menyadari hal ini.  Mu’tazilah dengan Al Ushul al Khamsah-nya sudah jarang terlihat di masa  sekarang ini, namun bencana yang meracuni aqidah dan pemikiran umat  Islam dewasa ini adalah penuhanan akal ala “Neo Mu’tazilah” ini, lewat  filsafat dan ilmu mantiq.  Barangkali itulah yang seharusnya menjadi  perhatian para da’i dan penuntut ilmu serta segenap umat Islam yang  mempunyai kepedulian untuk menjaga kemurnian Islam, untuk mengcounter  pemikiran mereka. Bila dibiarkan meraja lela, tentu korban umat Islam  akan semakin banyak. 
 
Wallahu A’lam Bish Shawab.
-  Lisanul Arab 11/440, Al Mishbahul Munir I/57.
 
- Lihat Al Milal Wan Nihal  hal.  47-48.
 
- Mauqiful Mu’tazilah Minas Sunah An Nabawiyah hal. 9-10.
 
- Al Milal wan Nihal hal. 47-48, Al Qamush Al Muhith IV/15
 
- Mauqifu Mu’tazilah Minas Sunah An Nabawiyah, hal. 12, menukil dari buku Al Farqu Bainal Firaq dan Fadhlul I’tizal.
 
- Firaqun   Muasshirah 2/823.
 
- Firaqun Muasshirah 2/824-825.
 
- Mauqifu Mu’tazilah Minas Sunah An Nabawiyah hal. 14.
 
- At Tafsir wal Mufasirun  I/ 241-242.
 
- Al Mausu’ah al Muyassarah 1/70-71.
 
- Muqadimah Syarh Ushul I’tiqad /Tarikhu Dhuhuril Bida’, hal. 29.
 
- Syarhu Al Aqidatu ath Thahawiyah hal. 792.
 
- Al Mausu’ah Al Muyassarah 1/73.
 
- Majmu’ Fatawa 13/358.
 
- Al Mausu’ah al Muyassarah 1/73.
 
- Syarhu Aqidah Thahawiyah hal. 793.
 
- Syarhu Aqidah Thahawiyah hal. 793.
 
- Manhaju Ibni Taimiyah fi Masalati al Takfir hal. 336.
 
- Majmu’ Fatawa 13/357-358.
 
- Tarikhu al Madzahib al Islamiyah 1/144, dinukil dari Al Inhirafat al ‘Aqdiyah wa al ‘Ilmiah hal. 63.
 
- Maa Ana ‘Alaihi wa Ashabi hal. 31.
 
- Mauqiful Mu’tazilah minal Sunah an Nabawiyah hal. 79, menukil dari Al Farqu Bainal Firaq.
 
- Mauqiful Mu’tazilah minal Sunah an Nabawiyah hal. 79, menukil dari Maqalatul Islamiyin.
 
- Mauqiful Mu’tazilah minas Sunah an Nabawiyah hal. 79, menukil dari Al Farqu Bainal Firaq dan Maqalatul Islamiyin.
 
- Al Milal Wan Nihal I/49.
 
- Mauqiful Mu’tazilah minas Sunah an Nabawiyah hal. 81, menukil dari Al Farqu Bainal Firaq dan Mizanul I’tidal.
 
- Mauqiful Mu’tazilah minas Sunah an Nabawiyah hal. 81, menukil dari Maqalatul Islamiyin.
 
- Mauqiful Mu’tazilah hal. 80-88.
 
- Mauqiful Mu’tazilah hal. 91, menukil dari Ta’wilu Mukhtalafil Hadits.
 
- Mauqiful Mu’tazilah hal. 91, menukil dari Al Farqu Bainal Firaq dan Al Milal wan Nihal.
 
- Mauqiful Mu’tazilah, hal. 92,  menukil dari ‘Al Farqu Bainal Firaq’.
 
- Mauqiful Mu’tazilah, hal. 93,  Tadribur Rawi I/73.
 
- Mauqiful Mu’tazilah, hal. 98.
 
- Al Mausu’ah Al Muyasarah 1/73-74.
 
- Tarikhu Dhuhuril Bida’, hal.
 
- Muqadimah Syarhu Shahih Muslim I/    .
 
- Mizanul I’tidal III/273.
 
- Mauqiful Mu’tazilah, hal. 101-104.
 
- Al  Milal wan Nihal I/147,154.
 
- Mauqiful Mu’tazilah, hal. 104-111.
 
- Firaqun Mu’ashirah II/826.
 
- Majmu’ Fatawa XII/502-503.
 
- Majmu’ Fatawa  XIII/36-37.
 
- Manhaju Ibni Taimiah Fie Mas-alatit Takfir hal: 337-338.
 
- Manhaju Ibni Taimiah Fie Mas-alatitTakfir hal: 338.
 
- Majmu’ Fatawa XVII/448.
 
- Selengkapnya, bisa dibaca di Al Milal wa Al Nihal hal. 46-85.
 
 
DAFTAR PUSTAKA 
 
- At Tafsiru wal Mufassirun., Dr. Muhammad Adz Dzahabi,
 
- Tarikhu Dhuhuril Bida’, Dr. Ahmad Sa’ad Hamdan, Daru Thayibah, Riyadh.
 
- Al Milalu wan Nihalu, Abu Fath Muhammad Abdul Karim bin Abu Bakar  Ahmad Asy Syahrastani, Darul Fikr, Beirut, tanpa tahun, tahqiq: Abdul  Aziz Muhammad al Wakil.
 
- Firaqun Mu’ashirah Tantasibu Lil Islam, Ghalib bin Ali ‘Iwaji.
 
- Maa Ana ‘Alaihi wa Ash-habi, Ahmad Salam
 
- Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, cet. 1997 M.
 
- Al Mausu’ah Al Muyassarah lil Adyan wal Madzahib wal Ahzab Al  Mu’ashirah, WAMY, ed. Dr. Mani’ bin Hammad, Dar wah ‘Alamiyah, cet. 3,  1418 H.
 
- Ahlus Sunah wal Jama’ah Ma’alimul Inthilaqatil Kubra, Muhammad Abdul Hadi al Mishri
 
- Manhaju Ibni Taimiah Fie Mas-alatit Takfir, Dr. Abdul Majid Salim  Abdullah Al Masy’abi, Adhwaus Salaf, Riyadh, cet. 1, 1997 M.
 
- Syarhu Aqidah Thahawiyah, Ibnu Abil Izz Al Hanafy, tahqiq: DR.  Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki-Syu’aib Al Arnauth, Dar ‘Alamul  Kutub, cet. 3, 1997 M, Riyadh.