Senin, 26 September 2011

Kesalehan Sosial Sebagai Aktualisasi Iman

Kesalehan Sosial Sebagai Aktualisasi Iman dalam Ajaran KH Ahmad Dahlan رَحمَهُ اللهُ

K.H. Ahmad Dahlan mengajarkan kita bahwa satu-satunya cara untuk menemukan kembali fitrah yang hilang dan kembali kepada poros utama penciptaan kita ialah dengan melakukan tazkyatun nufus, mensucikan jiwa dari berbagai kontaminasi berhala hawa nafsu yang merusak. Namun, ini tidak menjadi limit dan terminal akhir dari perjalanan spiritual menuju fitrah. Kesucian jiwa tidak boleh sebatas klaim sepihak dari diri kita. Toh, kata beliau, penganut agama lain seperti Hindu, Budha dan Nasrani juga menyatakan hal serupa. Baginya, tazkyatun nufus mesti diaktualisasikan dalam kesalehan sosial. Tidak boleh berhenti pada level individu semata (ritual formal, muamalah maallah yang vertikal).
Inilah esensi keimanan yang mendalam. Iman dalam rumusan para ulama diyatakan sebagai ”keyakinan dengan hati, penegasan dengan lisan serta pembuktian dengan amal orga jasad kita”. Artinya, iman berdimensi tiga sekaligus. Tidak terwujudnya salahsatu diantara tiga hal tersebut, secara otomatis mencederai makna iman itu sendiri.
Berbeda dengan kaum Murjiah, sebagaimana diterangkan oleh Imam Ibnu Taymiyah,[1] menyatakan bahwa, iman hanyalah keyakinan atau perbuatan hati semata, tanpa aktualisasi kongkret. Mereka populer dengan doktrin ”لاتضر مع الإيمان معصية كما لا تنفع مع الكفر طاعة [2](derajat keimanan tidak akan berkurang karena laku maksiat, sebagaimana ketaatan kepada Allah SWT tidak akan mempengaruhi kekufuran).
Kaum Murji’ah dengan varian yang lain, Al-Karamiyah, menyatakan iman ialah pernyataan lisan semata. Yang lain, versi Murjiah Fuqaha’, menyatakan, iman cukup dengan keyakinan hati dan pernyataan verbal. Ketiga rumusan Murji’ah tersebut bermuara pada satu kesimpulan, mereka tidak memerlukan amal sebagai aktualisasi kongkret keimanan yang bersemayam di hati manusia.
Spirit yang dipancarkan oleh gerak-dakwah KH Ahmad Dahlan tentunya meluluh-lantahkan dogma-dogma teologis ’sempalan’ (baca : menyimpang) sebagaimana digagas oleh kaum Murji’ah di atas. Bahkan, berbagai prestasi kesalehan pribadi dalam wujud ritual vertikal semata, digugat. ”Apakah hasil dari dzikir kepada Allah?, apakah manfaatnya shalat?, apakah pengakuan sucimu?, terbukti bahwa kamu masih sangat kerap dengan kebiasaan dan cinta kepada harta benda” kata KH Ahmad Dahlan[3] membangkitkan kesadaran dan empati sosial murid-muridnya, termasuk kita saat ini.
Dalam satu kesempatan KH Ahmad Dahlan berkata demikian,
Djanganlah kamu ber-teriak2 sanggup membela agama meskipun harus menjumbangkan djiwamu sekalipun. Djiwamu tak usah kamu tawarkan, kalau Tuha menghendakinja, entah dengan djalan sakit atau tidak, tentu akan mati sendiri, Tapi beranikah kamu menawarkan harta bendamu untuk kepentigan agama? Itulah jang lebih diperluka pada waktu sekarang ini.[4]
Nilai ajaran berupa ketulusan berbuat kebaikan dan mengorbankan harta benda yang ditauladankan oleh KH Ahmad Dahlan tersebut berlandaskan pada surat Al-Ma’un ayat 1-7 :
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ. فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ. وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ. فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ. الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ. الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ. وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (الْمَاعُونَ: 1-7)[5]
Dalam satu kisah disebutkan, KH Ahmad Dahlan mengajarkan tafsir surat ini berulang kali, sehingga beberapa hari pelajaran tidak bertambah. Haji Syuja’, salah satu murid beliau bertanya “kok pelajaran tidak ditambah?”. Beliau kembali bertanya kepada murid-muridnya apakah betul-betul telah dimengerti. Haji Syuja’ menyatakan bahwa ia dan kawan-kawannya telah hafal semua. Kyai bertanya, “Apa sudah diamalkan?”. Dijawab, “kami telah berulang kali membacanya ketika shalat.” “Bukan itu yang kumaksud. Diamalkan berarti dikerjaka, dipraktekkan”, jelas Kyai. “Oleh karena itu”, lanjut Kyai, “mulai pagi ini pergilah berkeliling mencari orang miskin. Kalau sudah mendapat, bawalah pulang ke rumah masing-masing. Berilah mereka sabun yang baik untuk mandi, berilah pakaian yang bersih, berilah makanan, minuman dan temat tinggal untuk tidur di rumah kamu sekalian. Sekarang juga pengajian saya tutup dan saudara melakukan petunjuk-petunjuk saya tadi.”[6]
Jika kita bertanya, seberapa dalamkah makna surat Al-Ma’un menembus relung jiwa KH Ahmad Dahlan (?). Betapa tidak, dengan tujuh ayat ini, dan dikdukung oleh ayat-ayat lainnya, beliau mampu mengawali dakwahnya dengan aksi untuk kemanusiaan yang tercatat oleh tinta emas sejarah Islam Indonesia, di saat kita, mungkin saja, telah menghafal ratusan ayat Al-Qur’an, namun seringkali minus bukti nyata.
Penulis merenung sejenak, mencoba mereka-reka ’apa yang menjadi kegelisahan KH Ahmad Dahlan ketika membaca ayat ini’ : ” Tahukah kamu (orang) yang mendustakan al-Din?”. Al-Imam Ibnu Jarir al-Thabary menjelaskannya sebagai sikap mendustakan hukum dan imbalan Allah SWT.[7] Al-Imam Al-Qurthuby menafsirkannya sebagai pengingkaran terhadap imbalan dan penghitungan Allah SWT terhadap hamba-hambaNya di hari Akhir.[8] ”Tidakkah kau wahai Muhammad, melihat orang yang telah mendustakan hari di mana mereka akan dikembalikan, dibalas, dan diberi ganjaran (din)?”, terang Ibnu Katsir.[9]
Menurut Al-Maraghi, ayat ini menunjukkan sebuah pertanyaan dengan penuh keheranan, dengan maksud agar si pembaca tertarik untuk mengetahui siapa yang dimaksud. Orang seperti ini telah menjerumuskan dirinya kepada sesuatu yang sangat berbahaya dan meyengsarakan dirinya; ia mendustakan suatu realitas absolut di balik yang terindera,  berkenaan dengan perkara-perkara ilahiyah (ghaibiyat) yang tak kan mungkin terjangkau hakekatnya oleh manusia. Realitas tersebut hanya dapat ditangkap oleh manusia melalui bukti-bukti ciptaanNya. Semua itu (semestinya) membangkitkan naluri untuk patuh dan tunduk serta yakin akan eksistensi Allah SWT dan keesaan-Nya, membenarkan kehidupan akherat, di mana mereka aka dihadapkan kepada Allah SWT untuk menerima balasan : semuanya telah didustakan![10]
Al-Imam Sayyid Qutb menerangkan bahwa sikap mendustakan agama diwujudkan dalam bentuk kehilangan empati dan kepedulian terhadap anak yatim, termasuk tidak tertarik untuk mengajurkan orang lain untuk memberi makanan kepada fakir miskin. Jika sikap membenarkan agama telah bersemayam mantap di hatinya, tidak mungkin ia melalaikan kewajiban sosial tersebut. Sikap tashdiq semestinya membangkitkannya untuk berbuat kebaikan kepada sesama, bukan sekedar pernyataan lisan.
Agama Islam, dalam padangan Sayyid Quthb,bukanlah agama simbol dan lambang semata. Tidaklah cuku beragama degan hanya menonjolkan simbol dan syiar ritual/ibadah saja, jika tidak didasari atas keikhlasan kepada Allah SWT. Sikap ikhlas mendorong kita untuk melakukan amal sholeh yang tercermin dalam prilaku da aksi untuyk memperbaiki dab meningkatkan tarap hidup umat manusia di muka bumi ini.
Agama Islam, lanjutnnya, bukan ula aturan-aturan yang parsial, terpilah-pilah  serta terlepas antara satu dengan yang lainnya; manusia tidak dapat bertindak dan meninggalkan sesuatu sekehendaknya. Teta Islam adalah manhaj ”sistem” yang saling terkait dan melengkapi, saling berkolerasi erat antara ritual vertikal dan tugas individu serta keharusan sosialnya. Semuanya berorientasi kepada kepentingan manusia dengan tujuan mensucikan hati, memperbaiki kehidupan, tolong menolong serta bahu membahu untuk sebuah karya kebaikan  dan kesalehan bersama. Inilah yang mencerminkan rahmat Allah SWT atas hamba-hambaNya.[11]
Dalam pandangan penulis, dari berbagai tafsiran para ulama, kata ”din”, penulis lebih cenderung untuk dimaknai sebagai ”agama” yang merupakan satu kesatuan sistem ajaran menyeluruh yang diturunkan oleh Allah SWT untuk kebaikan di dunia dan kebahagiaan di akherat. Dengan demikian, takdzib bi al-din (mendustakan agama) berarti mengingkari keseluruhan ajaran Allah SWT yang dibawa oleh Rasulullah SAW, lahir maupun batin. Mengingkari seluruh kandugan Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. Tentunya, pemaknaan yang sedemikian lebih berat dan lebih tajam merasuk ke relung qalbu kita yang suci. Berbeda, jika ”din” yang dimaknai sebagai yaum al-akhir, yang merupakan salah satu cabang dari perkara keimanan.
Anak yatim, dalam pandangan Islam, amatlah mulia. Keberadaannya yang diikuti dengan sikap empati dan uluran kebaikan, menjadi garansi kemuliaan pelakuanya di sisi Allah SWT. Bahkan mencederai hak-haknya menjadi salah satu dari tujuh dosa besar yang membiasakan pelakunya. Rasulullah SAW menerangkan demikian :
حدثنا عمرو بن زرارة أخبرنا عبد العزيز بن أبي حازم عن أبيه عن سهل قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( أنا وكافل اليتيم في الجنة هكذا ) . وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئا[12]
حدثنا عبد العزيز بن عبد الله قال حدثني سليمان بن بلال عن ثور بن زيد المدني عن أبي الغيث عن أبي هـريرة رضي الله عنه  : عــن النبي صلى الله عليه وسلم قال ( اجتنبوا السبع الموبقات ) . قالوا يا رسول الله وما هن ؟ قال ( الشرك بالله والسحر وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق وأكل الربا وأكل مال اليتيم والتولي يوم الزحف وقذف المحصنات المؤمنات الغافلات)[13]
وعن أبي الدرداء رضي الله عنه قال أتى النبي صلى الله عليه وسلم رجل يشكو قسوة قلبه قال أتحب أن يلين قلبك وتدرك حاجتك ارحم اليتيم وامسح رأسه وأطعمه من طعامك يلن قلبك وتدرك حاجتك  (رواه الطبراني من رواية بقية وفيه راو لم يسم، حسن لغيره)   [14]
Tentang firman Allah “وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ “, Prof. Quraish Shihab menggaris-bawahi tentang gaya bahasa dan redaksional yang tertulis. Pertama, ayat ii tidak berbicara tentang kewajiban “memberi makanan” (إطعام), tetapi berbicara tentang kewajiban “menganjurka memberi makan”. Ini berarti bahwa mereka yang tidak memiliki kelebihan apapun dituntut pula untuk berperan sebagai “penganjur memberi makanan kepada orang miskin”. Atau dengan kata lain, kalau kita tidak mampu secara langsung memberi santunan dan perhatian kepada fakir miskin, minimal kita harus menganjurkan orang-orang yang berkemampuan memperhatika nasib mereka.
Pesan ini dapat dilakukan oleh siapapun, selama mereka dapat merasakan penderitaan orang lain. Ini berarti ula bahwa ayat tersebut mengundang setiap orang untuk ikut merasakan penderitaan dan kebutuhan orang lain, walaupun ia sendiri tidak mampu megulurkan bantuan materi kepada mereka. Jadi, ayat di atas tidak memberi peluang sedikitpun untuk tidak berpartisipasi memberikan perhatian kepada setiap orang yang lemah dan membutuhkan bantuan.
Kedua, ayat tersebut tidak menggunakan redaksi (إطعام) yang artinya “memberi makan”, tetapi menggunakan kata “طعام” yang artinya “makanan atau pangan”. Ini merupakan peringatan agar setiap orang yan g menganjurka atau yag memberi, tidak merasa bahwa ia telah memberi makan orang-orang yang membutuhkan.[15]
Rasulullah SAW juga berpesan :
وعن أنس بن مالك رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما آمن بي من بات شبعانا وجاره جائع إلى جنبه وهو يعلم (رواه الطبراني والبزار وإسناده حسن، صحيح لغيره) [16]
Dalam pandangan KH Ahmad Dahlan, tafsiran surat Al-Ma’un di atas, ditegaskan pula oleh firman Allah SWT berikut ini :
كَلَّا بَل لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ. وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ. وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلًا لَمًّا. وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا. كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا. وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا. وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرَى (الفجر: 17-23)[17]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ. يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ  ( التوبة : 34-35)[18]
Surat Taubah termaktub di atas, sangat menggocangkan hati KH Ahmad Dahlan dan menimbulkan semangat yang berkobar-kobar untuk mengorbankan harta benda. Banyak kalanga ulama yang berpedapat bahwa ayat tersebut di address-kan sebagai ancaman orang yang engga mengeluarka zakat. Lalu dipahami, jika telah berzakat aman dari ancaman siksa yang pedih. KH Ahmad Dahlan berpedapat bahwa ayat tersebut tidak hanya megancam orang yang enggan mengeluarkan zakat saja, tetapi juga acaman bagi orang yang menyimpan harta beda untuk kepentingan diri sendiri, tidak mendermakannya di jalan Allah SWT. Mereka ini diacam dengan siksa yang pedih.[19]
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ
وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا ًّ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ


[1] Ibnu Taymiyah, Majmu’ Fatawa, VII/195. Lihat juga, Muhammad Ba Karim Muhammad Ba Abdullah, Wasathiyatu Ahlis Sunnah Baya Al-Firaq, hal. 335-336
[2] Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, I/139
[3] KRH Hadjid, “Muqaddimah” dalam Budi Setiawan dan Arief Budiman Ch. [Peny.] Pelajaran KHA Dahlan : 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an [Yogyakarta: LPI PPM, 2006], Cet. Ke-2, hal. 58-59
[4] M Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan Pemikiran & Kepemimpinannya (Yogyakarta: MPKSDI-PPM, 2005), Cet. 1, hal. 68-69
[5] Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya. dan  enggan (menolong dengan) barang berguna.
[6] M Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan…hal. 71-72. Menukil dari, KH Asnawi Hadisiswaja, Kyahi Hadji Ahmad Dahlan, dalam Pandji Masjarakat, No. 3, Tahun 1959, hal. 17
[7] Tafsir Al-Thabari, XII/705
[8] Tafsir Al-Qurthuby, XX/193
[9] Ibnu Katsir, IV/558
[10] Tafsir Al-Maraghi, X/498-499
[11] Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di Bawah Naungan Al-Qur’ani, Terj. As’ad Yasin dkk. (Jakarta : Gema Insani Press, 1425 H), Cet. Pertama, hal. 263-264
[12] صحيح البخاري : جزء 5 -  صفحة 2032
[13] HR Bukhari dan Muslim
[14] صحيح الترغيب والترهيب    [ جزء 2 -  صفحة 341 ]
[15] Aam Amiruddin, Tafsir Al-Qur’a Kontemporer Juz Amma (Bandung: Khazanah Intelektual, 2006), Cetakan V, Jilid I, hal. 105.
[16] صحيح الترغيب والترهيب    [ جزء 2 -  صفحة 345 ]
[17] Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan. Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris. dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya.
[18] Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
[19] M Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan…hal. 72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar