Teologi Islam:
Sejarah dan Problematik (I)*
Adalah Ilmu Kalam atau Teologi Islam (selanjutnya penulis akan menggunakan istilah teologi saja), sebuah disiplin ilmu yang kerap didefinisikan sebagai sebuah ilmu (baca, pengetahuan) tentang keyakinan keagamaan berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan. Secara sederhana Teologi juga bisa diartikan sebagai disiplin yang mengupas tentang teori-teori yang digunakan sebagai perangkat untuk memahami dan mengimani Tuhan, akhirat, hal-hal gaib dll. Teologi tumbuh bersamaan dengan munculnya agama itu sendiri. Teologi berawal dari teori (keyakinan) sederhana terhadap adanya Dzat Maujud (Tuhan) dan kemudian berkembang menjadi dogma dan kredo agama yang kompleks. Ia berkembang dan berevolusi sesuai dengan tingkat tantangan dan daya akal penganutnya dalam memahami, merespon tantangan dan mengolah sumber ajaran yang sering bersifat lugas tersebut. Sebagai contoh, Teologi Kristen. Pada awal kemunculan agama Kristen, teori ketuhanan mereka cukup sederhana. Umat kristiani berkeyakinan bahwa disamping Tuhan Bapa ada Tuhan Yesus. Ketika itu mereka masih belum memikirkan dimanakah posisi Roh Kudus. Mereka juga belum memikirkan bagaimana Yesus Kristus menjadi Tuhan dalam cara yang sama dengan Tuhan Bapa dst. Sampai akhirnya muncul wacana-wacana menggelitik yang mendorong umat kristiani untuk berpikir dan berdialog guna memperoleh formula teologi yang benar. [2]
Seperti halnya agama Kristen dan agama-agama lain, Islam hadir ke dunia dengan teologi sederhana yang terrangkum dalam surah al-Ikhlas.
Katakanlah (hai Muhammad): Dialah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah tempat meminta. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia. (QS. Al-Ikhlas, 1-4).[3]
Ajaran keesaan Tuhan yang terdapat dalam ayat-ayat diatas cukup lugas dan sederhana. Dalam ayat-ayat lain al-Quran juga menyebutkan sifat-sifat dan nama-nama Allah secara lugas seperti al-Alim, al-Qodir. Demikian pula dalam hadits-hadits rasulillah. Para sahabat tidak pernah mempersoalkan apakah 'Kalam Allah' itu qodim atau hadits. Mereka juga tidak pernah meributkan apakah sifat Allah adalah Dzat Allah itu sendiri atau hal lain yang berada pada Dzat Allah. Sampai akhirnya muncul al-Ja'd ibn Dirham, orang pertama yang berbicara secara krirtis tentang sifat (shifaat dan aushof).
Al-Ja'd ibn Dirham mengingkari adanya sifat bagi Allah. Kemudian disusul oleh al-Jahm ibn Shofwan, salah seorang yang mengutip dan mengembangkan pendapat al-Ja'd ibn Dirham. Dan selanjutnya, teori-teori teologi dalam Islam semakin berkembang dan perbedaan pun tidak dapat dihindari. Beberapa madzhab tak jarang meminjam tangan penguasa untuk mengukuhkan teori mereka, misalnya Ahl al-Sunnah dan al-Mu'tazilah..[4] Urusan kepentingan yang sejatinya adalah bukan urusan teologi secara tidak disadari meresap ke dalam pola dan jiwa teologi. Sisi positif dari hal ini adalah, nalar umat Islam semakin terangsang untuk mengembangkan teologi menjadi sebuah disiplin yang ilmiah dan progresif.
Dalam paper singkat ini penulis akan memaparkan secara singkat fase-fase pertumbuhan teologi serta bebebarapa aliran-aliran mayor ilmu kalam yang selanjutnya bisa dijadikan sebagai landasan untuk melakukan kajian lebih jauh tentang pernik-pernik teologi.
Secara garis besar teologi melewati empat fase pertumbuhan. Karya yang tercipta selama empat fase tersebut dapat kita klasifikasikan ke dalam dua jenis, mereka adalah ilmu kalam yang disandarkan pada para pakar ilmu kalam angkatan pertama (al-Mutaqodimin) dan ada pula teologi yang disandarkan pada pakar teologi angkatan terakhir (al-Muta'akhirin).
1. Periode Pertumbuhan
Periode ini diawali oleh dialog dan pembahasan seputar permasalahan keyakinan (al-I'tiqodiyyah). Perbedaan pendapat dalam dialog dan pembahasan tersebut memicu munculnya kecenderungan-kecenderungan baru yang akan menjadi aliran dan bahkan madzhab teologi di masa yang akan datang. Pada periode ini kecenderumgan-kecenderungan tersebut masih belum terkodifikasikan dan tersisitemkan seperti layaknya sebuah disiplin ilmu. Kecenderungan-kecenderungan yang ada pada masa itu juga masih belum merupakan kecenderungan yang dapat mewakili sebuah teori atau aliran secara utuh. Pembahasan mereka masih bersifat parsial dan insidental. Karakter politik lebih mendominasi daripada karakter intelektual.[5] Contoh yang sederhana adalah golongan al-Khawarij.
Khawarij, salah satu golongan yang awalnya adalah termasuk orang-orang Ali ibn Abi Thalib, keluar dari kelompok Ali ketika terjadi perang Shiffin (657 M.). Kekecawaan terhadap sikap politis Ali menyebabkan mereka membuat kelompok serta model kecenderungan pemahaman terhadap pesan-pesan Tuhan di al-Quran yang didasarkan slogan La Hukma illa lillah. Mereka mengkafirkan Ali dan Muawiyah serta kelompok-kelompok yang tidak sepaham dengan mereka.[6] Bersamaan dengan munculnya kelompok Khawarij, muncul pula kelompok-kelompok lain seperti Murji'ah, Qodariyah, Jabariyyah sehingga secara tak terelakkan dialog dan perbedaan pendapat terjadi di antara mereka.
Tema-tema yang mengemuka pada saat itu diantaranya adalah tentang hukum pelaku dosa besar. Didorong oleh kekecawaan politis, kelompok Khawarij mempunyai pendapat yang cukup ekstrim dan radikal terhadap muslim yang telah melakukan dosa besar. Mereka berpendapat bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar berarti dia telah menjadi kafir dan akan masuk neraka untuk selama-lamanya. Pada perjalanan selanjutnya kelompok ini terbelah menjadi dua, 'al-Azariqoh' dan 'al-Ibadliyyah.'
Pada masa itu kelompok Murji'ah[7] juga berkembang sebagaimana Khawarij dan kelompok-kelompok lain. Dalam masalah dosa besar, Murji'ah berpendapat bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar tidak serta-merta dicap sebagai kafir, tapi dia tetap orang muslim dan perbuatan dosa tersebut tidaklah berpengaruh terhadap kapasitas iman. Bagi mereka, hal-hal yang bersifat aksi (amaliyyah) tidak bisa disamakan dengan hal-hal yang bersifat keyakinan (i'tiqodiyyah).[8] Hal lain yang juga booming di masa itu adalah qodlo dan qodar, imâmah dll.
2. Periode Pembukuan dan Madzhab
Sejak awal abad kedua hijriyyah kajian umat Islam tentang teologi memasuki babak baru. Hal ini ditandai dengan munculnya kecenderungan-kecenderungan yang berproses menuju munculnya madzha-madzhab dengan teori-teori teologi secara utuh. Ragam teori yang dihasilkan oleh madzhab-madzhab pada masa itu teraplikasikan dalam kehidupan rohani, sosial dan politik melalui aktivitas kehidupan kaum muslimin yang kental dengan aroma keagamaan. Tak jarang suatu aliran akan menyulut konflik dan friksi politik yang dapat mempengaruhi laju penbangunan negara. Madzhab-madzhab teologi inilah yang menjadi inspirator dinamika kehidupan intelektual pada masa itu. Dengan tetap merujuk Kepada al-Qurân mereka mengembangkan teologi sesuai dengan kecenderungan mereka. Sebagian diantara mereka dapat dikategorikan sebagai aliran yang memegang teguh naql (al-Qurân dan al-Hadits) sebagai rujukan utama. Mereka adalah al-Hasyawiyyah, al-Hanabilah, al-Dhohiriyyah, al-Asya'iroh dan al-Maturidiyyah.[9] Dalam konteks kekinian predikat golongan kanan mungkin akan sangat cocok jika diberikan kepada madzhab-madzhab ini.
Rival mereka adalah madzhab-madzhab yang mengedepankan akal dalam memahami intisari teologi dalam al-Quran. Madzhab-madzhab kiri ini meliputi al-Ismailiyyah, al-Mu'tazilah, Syi'ah Itsna Asyar, al-Khawarij, Syiah Zaidiyyah. Dalam kesempatan ini, penulis hanya akan memaparkan sebagian dari madzhab-madzhab tersebut di atas.
a. Al-Hasyawiyyah
Sebenarnya kelompok al-Hasyawiyyah bukanlah sebuah madzhab pertikular seperti halnya Mu'tazilah atau Asya'iroh. Al-Hasyawiyyah sebenarnya adalah nama yang diberikan kepada beberapa golongan yang mempunyai konsep teologi yang sama. Konsep teologi mereka sangat berpegang teguh pada pandangan bahwa nash agama (al-Quran dan al-Hadits) adalah sumber utama dalam beragama dan nash tersebut harus dipahami sebagaimana adanya (baca, secara leksikal) tanpa perlu dipikir dan dianalisa. Model pemahaman leksikal ini berpotensi memunculkan faham tajsim (mengkonsepsikan Tuhan sebagai sesuatu yang menempati ruang dan waktu). Misalnya, kata Yad (berarti tangan) dalam ayat Yadullah fouqo Aidihim akan dipahami sebagaimana tangan manusia.[10] Dan masih banyak contoh dari konsep teologi mereka yang didasarkan pada cara pembacaan yang leksikal pada sumber-sumber agama.
b. Al-Mu'tazilah
Madzhab yang dipandegani oleh Washil ibn Atho' (131 H.) ini lahir di Bashroh. Teori-teori teologi Mu'tazilah sangat berkebalikan dengan teori al-Hasyawiyyah. Sisi rasionalitas sangat kental dalam teori teologi mereka walaupun tidak sekental madzhab al-Isma'iliyyah. Dalam hal Imamah, Mu'tazilah mempunyai banyak persamaan dengan Ahl al-Sunnah walaupun sebagian di antara mereka lebih condong ke teori Imamah yang dimiliki oleh Syi'ah Zaidiyyah, terutama di Baghdad.[11]
Dasar-dasar teori dan pendapat mereka terangkum dalam lima pokok utama yang dikenal dengan sebutan al-Ushul al-Khomsah. Pokok-pokok itu adalah, Pertama, al-Tauhid (keesaan Tuhan). Dalam pokok ini, Mu'tazilah berpendapat bahwa sifat Allah yang paling utama adalah al-Qidam dan al-Azaliyyah. Mereka juga berpendapat bahwa sifat Allah adalah Dzat Allah itu sendiri dan bukan sesuatu selain Dzat [supra]. Mu'tazilah tidaklah seradikal al-Isma'iliyyah yang tidak mengakui adanya sifat bagi Allah. Mu'tazilah masih percaya bahwa Allah mempunyai sifat hanya saja sifat Allah adalah Dzat Allah itu sendiri. Di sinilah letak perbedaan antara Mu'tazilah dan Ahl al-Sunnah.[12]
Kedua, al-Adl. Dasar ini membahas tiga permasalahan pokok yang meliputi: (a) hukum baik dan buruk yang didasarkan pada akal, (b) adalah suatu kewajiban bagi Allah untuk berwelas asih dan menjauhkan hambanya dari kemaksiatan dalam batas yang wajar. (c) manusia mempunyai kebebasan dan kemampuan sendiri untuk menentukan perbuatannya.[13]
Ketiga, al-Wa'd (janji) dan al-Wa'id (ancaman). Dasar ini hampir merupakan penjelasan dari dasar-dasar sebelumnya. Dalam dasar ini diterangkan bahwa wajib bagi Allah melaksanakan ancamanNya sebagaimana wajib bagi Dia meluluskan janji-Nya. Jika Allah tidak konsisten dengan janji dan ancaman-Nya berarti Dia bohong. Pendapat seperti itu secara implisit menolak adanya syafa'at (grasi di hari kiamat) sebagaimana diyakini oleh Ahl al-al-Sunnah[14]. Keempat, al-Manzilah baina al-Manzilatain (berada di antara dua posisi). Seorang muslim yang melakukan maksiat atau berbuat dosa berdasarkan dasar ini tidak bisa dihukumi sebagai seorang kafir sebagaimana tidak patut dikatakan sebagai mu'min. Muslim tersebut berada di antara dua predikat tersebut dan akan kekal di neraka.[15] Kelima, al-Amr bi al-Ma'ruf wa al-Nahyu 'an al-Munkar. Mu'tazilah berpendapat bahwa dasar kelima ini hukumnya fardl kifayah. Dalam buku Syarh al-Ushul al-Khomsah, al-Qogli Abd. Jabbar menegaskan:
[...ketahuilah! bahwa yang dimaksud dengan al-Amr bi al-Ma'ruf wa al-Nahyu 'an al-Munkar adalah: hendaknya kebajikan terlaksana dan kemunkaran tidak merajalela, ketika sebagian orang mukallaf telah melaksanakannya maka yang lain tidak berkewajiban lagi, oleh karena kami berpendapat bahwa hal ini hkumnya fardl al-kifayah...][16]
c. Al-Asya'iroh dan al-Maturidiyyah
Dua aliran ini sering dianggap sebagai satu madzhab walaupun sebenarnya ada beberapa hal di antara keduanya yang berbeda. Dua aliran ini juga sering diklaim (lebih tepatnya, mengklaim diri) sebagai madzhab Ahl al-Sunnah dan madzhab yang akan selamat di akhirat nanti. Aliran Asy'ariyyah didirikan oleh Abu al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy'ari (935 M.), mantan aktivis Mu'tazilah.
Setelah mengumumkan bahwa dirinya keluar dari Mu'tazilah, ia memprakarsai teologi yang mencoba menggabungkan rasio (al-Aql)dan wahyu (al-Naql). Dalam hal perbuatan manusia dia juga mencoba untuk berdiri diantara al-jabr (fatalisme) dan al-tafwidl (manusia menentukan perbuatannya sendiri). Walaupun dia selalu berusaha untuk berdiri secara seimbang di antara rasio dan wahyu tetapi dalam praktiknya terkadang dia lebih condong ke wahyu dan terkadang dia juga lebih condong pada rasio. Sebagai contoh, al-Asy'ari mengatakan bahwa semua sifat Tuhan adalah qodim dan bukan merupakan Dzat Tuhan itu sendiri. Tetapi ketika dia membahas tentang sifat al-Kalam, dia tidak mengatakan bahwa al-Kalam adalah sifat Dzat yang qodim saja. Dia membedakan antara al-Kalam al-Nafsi (al-Kalam yang merupakan sifat Dzat yang menurutnya bersifat qodim) dan ungkapan-ungkapan, kalimat-kalimat yang menunjukkan al-Kalam al-Nafsi. Sesungguhnya pendapat ini sangat mirip dengan pendapat Mu'tazilah.[17] Dan masih banyak contoh yang tidak mungkin disebutkan di sini.
Seperti dikatakan di atas bahwa banyak pendapat al-Asyairoh yang hampir sama dengan pendapat al-Maturidiyyah. Namun, pada beberapa hal al-Maturidiyyah yang didirikan oleh Abu Manshur al-Maturidi (333 H.) ini mempunyai beberapa pendapat yang agak berbeda dengan al-Asya'iroh. Misalnya, al-Maturidiyyah menghukumi al-Shifat al-Fi'liyyah sebagai sesuatu yang hadits sementara al-Asya'iroh mengatakan qodim.[18] Walaupun demikian mereka tetap dianggap sebagai satu barisan dalam teologi Ahl al-Sunnah.
3. Periode Evolusi dan Pengaruh Filsafat.
Periode ini dimulai sejak abad keenam hijriyah. Pada fase ini teologi berinteraksi dan banyak terpengaruh oleh produk filsafat ketuhanan yang dihasilkan oleh para filusuf muslim. Materi, metode, dan tema yang yang diangkat semakin meluas dibandingkan dengan teologi pada fase-fase sebelumnya. Produk teologi pada fase ini dikenal dengan nama teologi angkatan terakhir (Kalam al-Muta'akhirin).
Jika kita meneliti materi-materi teologi pada periode ini maka kita akan menemukan bahwa materi filsafat banyak diadopsi. Contoh sederhana adalah istilah wajib, mustahil dan jawaz pada sifat-sifat Allah. Istilah ini diadopsi oleh al-Farabi dari teori wujud (ontologi).
Bahkan kajian tentang filsafat alam juga ikut mempengaruhi evolusi teologi pada masa itu. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan kontradiksi dan memperkuat argumen teologi dengan pendepat-pendapat para filosofis sehingga potensi untuk menyusun struktur metafisika teologis atau menemukan sebuah teori yang lebih baik tentang wujud semakin terbuka.. Karya-karya al-Razi, al-Amadi dan teolog-teolog lain sesudah mereka berdua dari kalangan al-Asya'iroh menjadi bukti evolusi tersebut. Dari Syi'ah al-Itsna Asyar, kita juga bisa melihat karya-karya al-Thusi, al-Hulli yang juga mencerminkan betapa madzhab ini telah sampai pada puncak kematangan teologi. Seandainya al-Sam'iyyat (kenabian, hari akhir, imamah dll.) tidak dimasukkan oleh para teolog muslim dalam struktur materi bukan tidak mungkin materi teologi akan menjadi lebih istimewa dari materi filsafat.[19]
Dari segi metode kita juga akan menemukan betapa para teolog muslim sangat terpengaruh oleh Logika (Mantiq) Yunani. Mereka banyak menggunakan bentuk-bentuk gambaran seperti halnya metode yang juga sering dipakai Ushul al-Fiqh. Cara mereka mengkaji juga banyak mengalami perubahan. Kalau para teolog angkatan pertama selalu memulai pembahasannya dengan pengantar-metodik tentang teori dan hakikat teologi, maka para teolog muslim angkatan terakhir banyak memulai karya mereka dengan hal-hal yang bersifat umum. Mereka memulai karya mereka dengan kaidah-kaidah metodik yang populer, penbahasan tentang mantiq, metafisika serta karakter-karakter yang berkaitan dengan hukum-hukum yang dimiliki oleh segala sesuatu yang wujud; apakah bersifat wajib atau mungkin. Dalam hal ini al-Razi bisa kita katakan sebagai pioner, sementara al-Amadi masih berada pada dua posisi antara model lama dan baru.[20] Hal ini adalah hal yang wajar karena kadar keberanian seseorang untuk melakukan inovasi berbeda-beda dalam diri tiap orang. Apalagi atmosfir pada masa itu sangat tidak memungkinkan seseorang untuk secara terus terang mempergunakan filsafat dan dan hal-hal yang yang bersifat rasional sebagao alat bantu analisa.
Hal yang patut disayangkan dalam periode ini adalah semakin redupnya madzhab Mu'tazilah sebagai salah satu madzhab istimewa. Sebenarnya ada beberapa orang yang bisa disebut sebagai representasi Mu'tazilah, tetapi mereka tidak Mu'tazilah penuh, mereka juga terafiliasikan ke madzhab lain. Orang-orang tersebut diantaranya adalah, Ibn Badran di Naisabur, Ibn Abi al-Hudud di Baghdad. Yang menggembirakan adalah Metode yang dipakai oleh Mu'tazilah banyak diadopsi oleh madzhab-madzhab lain, khususnya Zaidiyyah, al-Itsna Asyar dan al-Asya'iroh. Sebaliknya, Al-Asya'iroh dari waktu ke waktu semakin berkembang dan semakin mengukuhkan diri sebagai teologi mayor.[21] Dukungan para pakar fiqh yang dekat dengan penguasa cukup menentukan prestasi yang diraih oleh al-Asya'iroh.
4. Periode Kejumudan dan Kemunduran
Masa ini dimulai sejak abad kesepuluh sampai sekarang. Kalau pada masa-sebelumnnya para teolog berhasil membuat inovasi-inovasi mengagumkan, maka pada masa ini para teolog tidak mampu mengembangkan teologi ke arah yang lebih progresif. Karya yang mampu diproduksi banyak berupa Syarh (penjelesan) atau komentar terhadap karya teolog lain. Kalaupun ada karya yang bersifat kritik biasanya mereka mendasarkan kritik tersebut pada teori terdahulu tanpa menawarkan sebuah teori atau inovasi baru.
Pada masa ini teologi semakin didekatkan ke Tasawuf. Ruh rasional yang sempat hinggap di teologi dan pernah menjadikan teologi sebagai disiplin yang inspiratoris tergeser oleh ruh pasrah , suka kemapanan dan anti rasio. Kejumudan ini semakin dikukuhkan oleh sikap anti filsafat yang ditunjukkan sebagian besar generasi Islam. Sebenarnya sebab utama dari sikap itu adalah ketidak-tahuan mereka terhadap sejarah teologi yang mereka pelajari saat ini. Pembaharuan perlu dilakuakan, baik pembaharuan terhadap materi, metode dan teori.
B. Dalil dalam Teologi
Sebagaimana disiplin lain dalam tradisi Islam, teologi juga mempergunakan al-Naql (non-rasio) dan al-Aql (rasio) sebagai pijakan dan dalil pada setiap pembahasannya. Dalil mengantarkan kita pada al-madlul, al-madlul ke al-dal, al-dal ke al-mustadal, semua ini adalah aktifitas jiwa.
1. Dalil Naqli
Hampir semua madzhab teologi Islam memakai dalil naqli baik sekedar untuk formalitas atau sungguh-sungguh untuk memperkuat pendapat mereka. Dalam disiplin teologi ketika disebut istilah 'dalil naqli' atau 'dalil sam'i', maka yang dimaksud adalah al-Quran, al-Hadits dan al-Ijma'. Madzhab Mu'tazilah pada awalnya juga mempergunakan dalil naqli sebagai salah satu pilar teologi mereka. Namun pada perjalanan selanjutnya mereka lebih berpegang pada dalil aqli. Perubahan ini mencapai puncaknya ketika Amr ibn Ubaid, salah satu tokoh Mu'tazilah, meragukan periwayatan dan para rawi hadits.[22]
Hal yang sama juga terjadi di al-Asya'iroh, hanya saja tidak separah Mu'tazilah. Dalam al-Asya'iroh posisi dalil naqli dan dalil aqli mengalami pasang surut juga. Pada periode pertama mereka cukup memegang teguh prinsip keseimbangan antara naqli dan aqli (walaupun banyak kalangan yang mengatakan bahwa a-Asy'ari lebih berat ke naqli), seperti yang dipraktekkan oleh al-Asy'ari dan al-Baqilani. Generasi selanjutnya membawa teologi asy'arian ke arah teologi yang didominasi aqli puncaknya ketika berada di tangan al-Razi. Pada periode berikutnya Juwaini berusaha menyeimbangkan antara naqli dan aqli.[23] Usaha-usaha tersebut di atas sebenarnya sebuah bentuk apresiasi terhadap fungsi naqli. Kalau kita jujur sebenarnya tanpa meremehkan dalil naqli--dalil aqli lebih banyak mempunyai banyak kelebihan. Banyak kendala yang mesti dihadapi ketika dalil naqli diterapkan apalagi diutamakan dalam disiplin ini.
Dalil naqli didasarkan pada penyerahan sepenuhnya terhadap Nash sebagai otoritas utama yang tidak mungkin dikritik atau ditolak. Ia adalah dalil yang berdimensi imani murni. Tentu saja dalil seperti ini jauh dari kadar ilmiah. Dia tidak mampu melaksanakan fungsi bela agama dari hujatan umat non-muslim dan hujatan akal kreatif atau nafsu dalam diri tiap insan. Semangat dialog tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna.[24] Titik tolak seperti ini mengingatkan kita pada periode kegelapan eropa yang menekankan iman (baca, menyerah) dulu baru berpikir dan kemudian aktifitas berpikir itu harus tetap dalam koridor iman tadi.
Dalil naqli juga sering berbenturan dengan kendala bahasa, tafsir dan pemahaman. Nash bukanlah argumen rasional yang tanpa perlu dipikir, tapi ia adalah hal yang harus dipahami sesuai dengan kidah-kaidah bahasa, tafsir, metode-metode pemahaman. Nash itu sendiri bukanlah suatu argumen, tapi ia adalah bentuk pembacaan, pemahaman, penafsiran dalam masa dan tempat tertentu dan tidak bisa menjadi dalil naqli kecuali setelah tersusun. Dari sisi bahasa, misalnya. Bahasa tak lebih dari salah satu unsur berpikir yang hanya menunjukkan arti kalimat melalui tanda dan ritme nada. Ia hanyalah rumus, garis dan huruf. Padahal dalam teologi, indikator suatu lafadh tidak dapat memberikan sebuah keyakinan sebagaimana dalam Ushul al-Fiqh. Berdasarkan hal tersebut maka dalil naqli tidak bisa dijadikan dalil utama karena ia berpegang pada bahasa. Demikian pula halnya kendala yang akan dihadapi dalil naqli ketika dihadapka pada tafsir (cara pembacaan Nash).[25]
2. Dalil Aqli
Adalah hal yang maklum bahwa filsafat yunani mempunyai pengaruh besar terhadap pandangan kaum muslimin dalam teologi. Padangan para teolog muslim dalam dalil aqli banyak terinspirasi oleh buku karangan Plato yang berjudul "Timaeus." Tentu saja para teolog tersebut tidak mengambil secara utuh apa yang ada dalam 'Turats Yunani.' Mereka hanya mengambil unsur-unsur inti yang mencerminkan ruh pemikiran Yunani kemudian mencampurnya dengan unsur-unsur ketimuran.[26] Al-Qodli Abd. Jabbar, misalnya. Dalam salah satu uraiannya tentang al-Ushul al-Khomsah dia berkata:
[...jika sudah jelas bahwa al-ajsam (hal-hal yang menempati ruang dan waktu) adalah hadits (baru, lawa qodim), maka harus ada yang menciptakannya. Pencipta itu tidak lain adalah Allah...][27]
Al-qodli Abd. Jabbar dalam frase di atas telah menggunakan bahasa (baca, cara) Plato dalam berargumen dengan bukti bahwa argumen semacam itu juga telah dipakai oleh Plato dalam buku 'Timaeus'.[28] Demikian pula yang terjadi pada al'Asy'ari ketika ia menjelaskan: [...Dia (Allah) mencipta tanpa mencontoh yang terdahulu.. ].[29] Argumen-argumen semacam ini banyak digunakan dalam Turats Yunani.
Dalam al-Quran juga disebutkan betapa penggunaan akal merupakan suatu keharusan dalam menjalani kehidupan ini, baik kehidupan lahir maupun batin (baca, keyakinan). Allah berfirman: Katakan! (hai Muhammad) renungkanlah apa yang ada di langit dan di bumi. (QS Yunus, ayat 101). Berdasarkan Fakta di atas maka adalah suatu yang wajar jika teologi ini harus menggunakan dalil-dalil aqli.
Titik tolak dalil aqli merupakan kebalikan dari titik tolak dalil naqli. Jika dalil naqli bertolak dari sikap pasrah dan menerima secara mutlak terhadap nash yang dipergunakan sebagai dalil, maka dalil aqli diawali oleh akal yang berpegang pada argumen dan fakta. Akal akan mampu mencapai pemahaman pada Nash sebagaimana ia mampu mengatasi problem penafsiran leksikal atau materialistis. Akal adalah 'pewaris wahyu.' Ketika wahyu sudah sempurna, maka akal adalah 'evolusi' atas wahyu tersebut. Ketika Nash menjadi argumen aqli yang berdiri sendiri hingga kekuatan Nash tersebut tercermin dalam argumen aqli yang mengungkapkannya, maka argumen aqli itu akan dapat menyentuh nurani dan akan menuju pada ke ruh keharmonisan logis.[30]
Dalam hal penggunaan dalil aqli aecara lebih mendalam sebagian madzhab cukup siap dan sebagian yang lain tidak. Al-Maturidiyyah lebih siap dan berani memulai pengunaan dalil aqli dari pada al-Asya'iroh. Hanya Mu'tazilah yang selalu siap sedia bahkan kadang terkesan kebablasan walaupun sebenarnya tidak seberapa.
Penulis sengaja tidak membuat kesimpulan dalam makalah ini, karena makalah ini masih belum tuntas dan akan penulis lanjutkan pada diskusi mend
[4] Awwad ibn Abdullah al-Mu'tiq, al_mu'tazilah wa ushuluhum al-Khomsah wa mauqif ahl al-Sunnah minha, Maktabah al-Rusyd, Riyadl, 1995, hal. 83.
[5] Hasan Mahmud al-Syafi'I, al-Madkhol ila Dirosah 'ilm al-Kalam, Maktabah Wahbah, Kairo, 1991, hal. 53.
[6] Karen Armstrong, Islam: a Short HistoryAepintas Sejarah Islam, terj Ira Puspito Rini, (Yogyakarta, Ikon teralitera) 2002, hal. 42-44.
[7] Kelompok Murji'ah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah murji'ah ekstrim. Mereka adalah golongan yang mentakwilkan nash-nash al-Quran sesuai denngan kepentingan mereka.
[24] Hasan Hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tsaurah, vol I, al-Markaz al-Tsaqofi al-Arabi, 1988, hal. 370.
[26] Mustafa Hasan al-Nasyar, Fikroh al-Uluhiyyah 'inda Aflathun wa atsaruha fi al-falsafah al-Islamiyyah wa al-Ghorbiyyah, Maktabah Madbuli, Kairo, hal. 267.
[29] Abu al-Hasan al-Asy'ari, Maqolat al-Islamiyyah, tahqiq M.Muhyiddin Abd. Hamid, vol I, Maktabah al-Nahdloh al-Mashriyyah 1969, hal. 235-236
Tidak ada komentar:
Posting Komentar