Teologi Islam:
                              Sejarah dan Problematik (I)*           
                      Adalah Ilmu           Kalam atau Teologi Islam (selanjutnya           penulis akan menggunakan istilah teologi           saja), sebuah disiplin ilmu yang kerap           didefinisikan sebagai sebuah  ilmu (baca,           pengetahuan) tentang keyakinan keagamaan           berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan.           Secara sederhana Teologi juga bisa diartikan           sebagai disiplin yang mengupas tentang           teori-teori yang digunakan sebagai perangkat           untuk memahami dan mengimani Tuhan, akhirat,           hal-hal gaib dll. Teologi tumbuh bersamaan           dengan munculnya agama itu sendiri. Teologi           berawal dari teori (keyakinan) sederhana           terhadap adanya Dzat Maujud (Tuhan) dan           kemudian berkembang menjadi dogma dan kredo           agama yang kompleks. Ia berkembang dan           berevolusi sesuai dengan tingkat tantangan           dan daya akal penganutnya dalam memahami,           merespon tantangan dan mengolah sumber           ajaran yang sering bersifat lugas tersebut.           Sebagai contoh, Teologi Kristen. Pada awal           kemunculan agama Kristen, teori ketuhanan           mereka cukup sederhana.  Umat kristiani           berkeyakinan bahwa disamping Tuhan Bapa ada           Tuhan Yesus. Ketika itu mereka masih belum           memikirkan dimanakah posisi Roh Kudus.           Mereka juga belum memikirkan bagaimana Yesus           Kristus menjadi Tuhan dalam cara yang sama           dengan Tuhan Bapa dst. Sampai akhirnya           muncul wacana-wacana menggelitik yang           mendorong umat kristiani untuk berpikir dan           berdialog guna memperoleh formula teologi           yang benar.                                        [2]
          Seperti halnya agama Kristen           dan agama-agama lain, Islam hadir ke dunia           dengan teologi sederhana yang terrangkum           dalam surah al-Ikhlas.
                    Katakanlah (hai Muhammad): Dialah Allah,           yang Maha Esa. Allah adalah tempat meminta.           Dia tiada beranak dan tiada pula           diperanakkan. Dan tidak ada sesuatupun yang           setara dengan Dia. (QS. Al-Ikhlas, 1-4).[3]
                      Ajaran keesaan           Tuhan yang terdapat dalam ayat-ayat diatas           cukup lugas dan sederhana. Dalam ayat-ayat           lain al-Quran juga menyebutkan sifat-sifat           dan nama-nama Allah secara lugas seperti al-Alim,           al-Qodir. Demikian pula dalam hadits-hadits           rasulillah. Para sahabat tidak pernah           mempersoalkan apakah 'Kalam Allah' itu           qodim atau hadits. Mereka juga           tidak pernah meributkan apakah sifat Allah           adalah Dzat Allah itu sendiri atau           hal lain yang berada pada Dzat Allah.           Sampai akhirnya muncul al-Ja'd ibn Dirham,           orang pertama yang berbicara secara krirtis           tentang sifat (shifaat dan aushof).
                      Al-Ja'd ibn           Dirham mengingkari adanya sifat bagi Allah.           Kemudian disusul oleh al-Jahm ibn Shofwan,           salah seorang yang mengutip dan           mengembangkan pendapat al-Ja'd ibn Dirham.           Dan selanjutnya,  teori-teori teologi dalam           Islam semakin berkembang dan perbedaan pun           tidak dapat dihindari. Beberapa madzhab tak           jarang meminjam tangan penguasa untuk           mengukuhkan teori mereka, misalnya Ahl al-Sunnah           dan al-Mu'tazilah..[4]           Urusan kepentingan yang sejatinya adalah           bukan urusan teologi secara tidak disadari           meresap ke dalam pola dan jiwa teologi. Sisi           positif dari hal ini adalah, nalar umat           Islam semakin terangsang untuk mengembangkan           teologi menjadi sebuah disiplin yang ilmiah           dan progresif.  
                      Dalam paper           singkat ini penulis akan memaparkan secara           singkat fase-fase pertumbuhan teologi serta           bebebarapa aliran-aliran mayor ilmu kalam           yang selanjutnya bisa dijadikan sebagai           landasan untuk melakukan kajian lebih jauh           tentang pernik-pernik teologi.  
                      Secara garis           besar teologi melewati empat fase           pertumbuhan. Karya yang tercipta selama           empat fase tersebut dapat kita           klasifikasikan ke dalam dua jenis, mereka           adalah ilmu kalam yang disandarkan pada para           pakar ilmu kalam angkatan pertama (al-Mutaqodimin)           dan ada pula teologi yang disandarkan pada           pakar teologi angkatan terakhir (al-Muta'akhirin).
          1. Periode Pertumbuhan          
                                Periode ini diawali oleh           dialog dan pembahasan seputar permasalahan           keyakinan (al-I'tiqodiyyah).           Perbedaan pendapat dalam dialog dan           pembahasan tersebut memicu munculnya           kecenderungan-kecenderungan baru yang akan           menjadi aliran dan bahkan madzhab teologi di           masa yang akan datang. Pada periode ini           kecenderumgan-kecenderungan tersebut masih           belum terkodifikasikan dan tersisitemkan           seperti layaknya sebuah disiplin ilmu.           Kecenderungan-kecenderungan yang ada pada           masa itu juga masih belum merupakan           kecenderungan yang dapat mewakili sebuah           teori atau aliran secara utuh. Pembahasan           mereka masih bersifat parsial dan insidental.           Karakter politik lebih mendominasi daripada           karakter intelektual.[5]           Contoh yang sederhana adalah golongan al-Khawarij.          
                      Khawarij, salah           satu golongan yang awalnya adalah termasuk           orang-orang Ali ibn Abi Thalib, keluar dari           kelompok Ali ketika terjadi perang Shiffin           (657 M.). Kekecawaan terhadap sikap politis           Ali menyebabkan mereka membuat kelompok           serta model kecenderungan pemahaman terhadap           pesan-pesan Tuhan di al-Quran yang           didasarkan slogan La Hukma illa lillah.           Mereka mengkafirkan Ali dan Muawiyah serta           kelompok-kelompok yang tidak sepaham dengan           mereka.[6]           Bersamaan dengan munculnya kelompok           Khawarij, muncul pula kelompok-kelompok lain           seperti Murji'ah, Qodariyah, Jabariyyah           sehingga secara tak terelakkan dialog dan           perbedaan pendapat terjadi di antara mereka.
                      Tema-tema yang           mengemuka pada saat itu diantaranya adalah           tentang hukum pelaku dosa besar. Didorong           oleh kekecawaan politis, kelompok Khawarij           mempunyai pendapat yang cukup ekstrim dan           radikal terhadap muslim yang telah melakukan           dosa besar. Mereka berpendapat bahwa seorang           muslim yang melakukan dosa besar berarti dia           telah menjadi kafir dan akan masuk neraka           untuk selama-lamanya. Pada perjalanan           selanjutnya kelompok ini terbelah menjadi           dua, 'al-Azariqoh' dan 'al-Ibadliyyah.'
                      Pada masa itu           kelompok Murji'ah[7]           juga berkembang sebagaimana Khawarij dan           kelompok-kelompok lain. Dalam masalah dosa           besar, Murji'ah berpendapat bahwa seorang           muslim yang melakukan dosa besar tidak           serta-merta dicap sebagai kafir, tapi dia           tetap orang muslim dan perbuatan dosa           tersebut tidaklah berpengaruh terhadap           kapasitas iman. Bagi mereka, hal-hal yang           bersifat aksi (amaliyyah) tidak bisa           disamakan dengan hal-hal yang bersifat           keyakinan (i'tiqodiyyah).[8]           Hal lain yang juga booming di masa           itu adalah qodlo dan qodar,           imâmah dll.   
          2. Periode Pembukuan dan           Madzhab                                                    
                      Sejak awal abad           kedua hijriyyah kajian umat Islam tentang           teologi memasuki babak baru. Hal ini           ditandai dengan munculnya           kecenderungan-kecenderungan yang berproses           menuju munculnya madzha-madzhab dengan           teori-teori teologi secara utuh. Ragam teori           yang dihasilkan oleh madzhab-madzhab pada           masa itu teraplikasikan dalam kehidupan           rohani, sosial dan politik melalui aktivitas           kehidupan kaum muslimin yang kental dengan           aroma keagamaan. Tak jarang suatu aliran           akan menyulut konflik dan friksi politik           yang dapat mempengaruhi laju penbangunan           negara. Madzhab-madzhab teologi inilah yang           menjadi inspirator dinamika kehidupan           intelektual pada masa itu. Dengan tetap           merujuk Kepada al-Qurân mereka mengembangkan           teologi sesuai dengan kecenderungan mereka.           Sebagian diantara mereka dapat dikategorikan           sebagai aliran yang memegang teguh naql (al-Qurân           dan al-Hadits) sebagai rujukan utama. Mereka           adalah al-Hasyawiyyah, al-Hanabilah, al-Dhohiriyyah,           al-Asya'iroh dan al-Maturidiyyah.[9]           Dalam konteks kekinian predikat golongan           kanan mungkin akan sangat cocok jika           diberikan kepada madzhab-madzhab ini.
          Rival mereka adalah           madzhab-madzhab yang mengedepankan akal           dalam memahami intisari teologi dalam al-Quran.           Madzhab-madzhab kiri ini meliputi al-Ismailiyyah,           al-Mu'tazilah, Syi'ah Itsna Asyar, al-Khawarij,           Syiah Zaidiyyah. Dalam kesempatan ini,           penulis hanya akan memaparkan sebagian dari           madzhab-madzhab tersebut di atas.
          a. Al-Hasyawiyyah
          Sebenarnya kelompok           al-Hasyawiyyah bukanlah sebuah madzhab           pertikular seperti halnya Mu'tazilah atau           Asya'iroh. Al-Hasyawiyyah sebenarnya adalah           nama yang diberikan kepada beberapa golongan           yang mempunyai konsep teologi yang sama.           Konsep teologi mereka sangat berpegang teguh           pada pandangan bahwa nash agama (al-Quran           dan al-Hadits) adalah sumber utama dalam           beragama dan nash tersebut harus dipahami           sebagaimana adanya (baca, secara leksikal)           tanpa perlu dipikir dan dianalisa. Model           pemahaman leksikal ini berpotensi           memunculkan faham tajsim           (mengkonsepsikan Tuhan sebagai sesuatu yang           menempati ruang dan waktu). Misalnya, kata          Yad (berarti tangan) dalam ayat           Yadullah fouqo Aidihim akan dipahami           sebagaimana tangan manusia.[10]           Dan masih banyak contoh dari konsep teologi           mereka yang didasarkan pada cara pembacaan           yang leksikal pada sumber-sumber agama.
          b. Al-Mu'tazilah
          Madzhab yang dipandegani           oleh Washil ibn Atho' (131 H.) ini lahir di           Bashroh. Teori-teori teologi Mu'tazilah           sangat berkebalikan dengan teori           al-Hasyawiyyah. Sisi rasionalitas sangat           kental dalam teori teologi mereka walaupun           tidak sekental madzhab al-Isma'iliyyah.           Dalam hal Imamah, Mu'tazilah           mempunyai banyak persamaan  dengan Ahl           al-Sunnah walaupun sebagian di antara mereka           lebih condong ke teori Imamah yang           dimiliki oleh Syi'ah Zaidiyyah, terutama di           Baghdad.[11]
          Dasar-dasar teori dan           pendapat mereka terangkum dalam lima pokok           utama yang dikenal dengan sebutan           al-Ushul al-Khomsah. Pokok-pokok itu           adalah, Pertama, al-Tauhid           (keesaan Tuhan). Dalam pokok ini, Mu'tazilah           berpendapat bahwa sifat Allah yang paling           utama adalah al-Qidam dan           al-Azaliyyah. Mereka juga berpendapat           bahwa sifat Allah adalah Dzat Allah           itu sendiri dan bukan sesuatu selain Dzat           [supra]. Mu'tazilah tidaklah           seradikal al-Isma'iliyyah yang tidak           mengakui adanya sifat bagi Allah. Mu'tazilah           masih percaya bahwa Allah mempunyai sifat           hanya saja sifat Allah adalah Dzat           Allah itu sendiri. Di sinilah letak           perbedaan antara Mu'tazilah dan Ahl           al-Sunnah.[12]          
          Kedua,          al-Adl. Dasar ini membahas tiga           permasalahan pokok yang meliputi: (a) hukum           baik dan buruk yang didasarkan pada akal,           (b) adalah suatu kewajiban bagi Allah untuk           berwelas asih dan menjauhkan hambanya dari           kemaksiatan dalam batas yang wajar. (c)           manusia mempunyai kebebasan dan kemampuan           sendiri untuk menentukan perbuatannya.[13]          
          Ketiga,          al-Wa'd (janji) dan al-Wa'id           (ancaman). Dasar ini hampir merupakan           penjelasan dari dasar-dasar sebelumnya.           Dalam dasar ini diterangkan bahwa wajib bagi           Allah melaksanakan ancamanNya sebagaimana           wajib bagi Dia meluluskan janji-Nya. Jika           Allah tidak konsisten dengan janji dan           ancaman-Nya berarti Dia bohong. Pendapat           seperti itu secara implisit menolak adanya          syafa'at (grasi di hari kiamat)           sebagaimana diyakini oleh Ahl al-al-Sunnah[14].          Keempat, al-Manzilah baina           al-Manzilatain (berada di antara dua           posisi). Seorang muslim yang melakukan           maksiat atau berbuat dosa berdasarkan dasar           ini tidak bisa dihukumi sebagai seorang           kafir sebagaimana tidak patut dikatakan           sebagai mu'min. Muslim tersebut berada di           antara dua predikat tersebut dan akan kekal           di neraka.[15]           Kelima, al-Amr bi al-Ma'ruf wa           al-Nahyu 'an al-Munkar. Mu'tazilah           berpendapat bahwa dasar kelima ini hukumnya          fardl kifayah. Dalam buku Syarh           al-Ushul al-Khomsah, al-Qogli Abd. Jabbar           menegaskan:
                    [...ketahuilah! bahwa yang dimaksud dengan          al-Amr bi al-Ma'ruf wa al-Nahyu 'an           al-Munkar adalah: hendaknya kebajikan           terlaksana dan kemunkaran tidak merajalela,           ketika sebagian orang mukallaf telah           melaksanakannya maka yang lain tidak           berkewajiban lagi, oleh karena kami           berpendapat bahwa hal ini hkumnya fardl           al-kifayah...][16]              
          c. Al-Asya'iroh dan           al-Maturidiyyah
          Dua aliran ini sering           dianggap sebagai satu madzhab walaupun           sebenarnya ada beberapa hal di antara           keduanya yang berbeda. Dua aliran ini juga           sering diklaim (lebih tepatnya, mengklaim           diri) sebagai madzhab Ahl al-Sunnah dan           madzhab yang akan selamat di akhirat nanti.           Aliran Asy'ariyyah didirikan oleh Abu al-Hasan           Ali ibn Ismail al-Asy'ari (935 M.), mantan           aktivis Mu'tazilah.
          Setelah mengumumkan bahwa           dirinya keluar dari Mu'tazilah, ia           memprakarsai teologi yang mencoba           menggabungkan rasio (al-Aql)dan wahyu           (al-Naql). Dalam hal perbuatan           manusia dia juga mencoba untuk berdiri           diantara al-jabr (fatalisme) dan           al-tafwidl (manusia menentukan           perbuatannya sendiri). Walaupun dia selalu           berusaha untuk berdiri secara seimbang di           antara rasio dan wahyu  tetapi dalam           praktiknya terkadang dia lebih condong ke           wahyu dan terkadang dia juga lebih condong           pada rasio. Sebagai contoh, al-Asy'ari           mengatakan bahwa semua sifat Tuhan adalah           qodim dan bukan merupakan Dzat Tuhan itu           sendiri. Tetapi ketika dia membahas tentang           sifat al-Kalam, dia tidak mengatakan bahwa           al-Kalam adalah sifat Dzat yang qodim           saja. Dia membedakan antara al-Kalam           al-Nafsi (al-Kalam yang merupakan sifat          Dzat yang menurutnya bersifat           qodim) dan ungkapan-ungkapan,           kalimat-kalimat yang menunjukkan al-Kalam           al-Nafsi. Sesungguhnya pendapat ini           sangat mirip dengan pendapat Mu'tazilah.[17]            Dan masih banyak contoh yang tidak mungkin           disebutkan di sini. 
          Seperti dikatakan di atas           bahwa banyak pendapat al-Asyairoh yang           hampir sama dengan pendapat al-Maturidiyyah.           Namun, pada beberapa hal al-Maturidiyyah           yang didirikan oleh Abu Manshur al-Maturidi           (333 H.) ini mempunyai beberapa pendapat           yang agak berbeda dengan al-Asya'iroh.           Misalnya, al-Maturidiyyah menghukumi           al-Shifat al-Fi'liyyah sebagai sesuatu           yang hadits sementara al-Asya'iroh           mengatakan qodim.[18]           Walaupun demikian mereka tetap dianggap           sebagai satu barisan dalam teologi Ahl           al-Sunnah.       
          3. Periode Evolusi dan           Pengaruh Filsafat.
          Periode ini dimulai sejak           abad keenam hijriyah. Pada fase ini teologi           berinteraksi dan banyak terpengaruh oleh           produk filsafat ketuhanan yang dihasilkan           oleh para filusuf muslim. Materi, metode,           dan tema yang yang diangkat semakin meluas           dibandingkan dengan teologi pada fase-fase           sebelumnya. Produk teologi pada fase ini           dikenal dengan nama teologi angkatan           terakhir (Kalam al-Muta'akhirin).
          Jika kita meneliti           materi-materi teologi pada periode ini maka           kita akan menemukan bahwa materi filsafat           banyak diadopsi. Contoh sederhana adalah           istilah wajib, mustahil dan jawaz pada           sifat-sifat Allah. Istilah ini diadopsi oleh           al-Farabi dari teori wujud (ontologi).          
          Bahkan kajian tentang           filsafat alam juga ikut mempengaruhi evolusi           teologi pada masa itu. Hal ini dimaksudkan           untuk menghilangkan kontradiksi dan           memperkuat argumen teologi dengan           pendepat-pendapat para filosofis sehingga           potensi untuk menyusun struktur metafisika           teologis atau menemukan sebuah teori yang           lebih baik tentang wujud semakin terbuka..           Karya-karya al-Razi, al-Amadi dan           teolog-teolog lain sesudah mereka berdua           dari kalangan al-Asya'iroh menjadi bukti           evolusi tersebut. Dari Syi'ah al-Itsna Asyar,           kita juga bisa melihat karya-karya al-Thusi,           al-Hulli yang juga mencerminkan betapa           madzhab ini telah sampai pada puncak           kematangan teologi. Seandainya al-Sam'iyyat           (kenabian, hari akhir, imamah dll.)           tidak dimasukkan oleh para teolog muslim           dalam struktur materi bukan tidak mungkin           materi teologi akan menjadi lebih istimewa           dari materi filsafat.[19]
          Dari segi metode kita juga           akan menemukan betapa para teolog muslim           sangat terpengaruh oleh Logika (Mantiq)           Yunani. Mereka banyak menggunakan           bentuk-bentuk gambaran seperti halnya metode           yang juga sering dipakai Ushul al-Fiqh. Cara           mereka mengkaji juga banyak mengalami           perubahan. Kalau para teolog angkatan           pertama selalu memulai pembahasannya dengan           pengantar-metodik tentang teori dan  hakikat           teologi, maka para teolog muslim angkatan           terakhir banyak memulai karya mereka dengan           hal-hal yang bersifat umum. Mereka memulai           karya mereka dengan kaidah-kaidah metodik           yang populer, penbahasan tentang mantiq,           metafisika serta karakter-karakter yang           berkaitan dengan hukum-hukum yang dimiliki           oleh segala sesuatu yang wujud; apakah           bersifat wajib atau mungkin. Dalam hal ini           al-Razi bisa kita katakan sebagai pioner,           sementara al-Amadi masih berada pada dua           posisi antara model lama dan baru.[20]           Hal ini adalah hal yang wajar karena kadar           keberanian seseorang untuk melakukan inovasi           berbeda-beda dalam diri tiap orang. Apalagi           atmosfir pada masa itu sangat tidak           memungkinkan seseorang untuk secara terus           terang mempergunakan filsafat dan dan           hal-hal yang yang bersifat rasional sebagao           alat bantu analisa.
          Hal yang patut disayangkan           dalam periode ini adalah semakin redupnya           madzhab Mu'tazilah sebagai salah satu           madzhab istimewa. Sebenarnya ada beberapa           orang yang bisa disebut sebagai representasi           Mu'tazilah, tetapi mereka tidak Mu'tazilah           penuh, mereka juga terafiliasikan ke madzhab           lain. Orang-orang tersebut diantaranya           adalah, Ibn Badran di Naisabur, Ibn Abi al-Hudud           di Baghdad. Yang menggembirakan adalah           Metode yang dipakai oleh Mu'tazilah banyak           diadopsi oleh madzhab-madzhab lain,           khususnya Zaidiyyah, al-Itsna Asyar dan al-Asya'iroh.           Sebaliknya, Al-Asya'iroh dari waktu ke waktu           semakin berkembang dan semakin mengukuhkan           diri sebagai teologi mayor.[21]           Dukungan para pakar fiqh yang dekat dengan           penguasa cukup menentukan prestasi yang           diraih oleh al-Asya'iroh.
          4. Periode Kejumudan dan           Kemunduran
                      Masa ini dimulai           sejak abad kesepuluh sampai sekarang. Kalau           pada masa-sebelumnnya para teolog berhasil           membuat inovasi-inovasi mengagumkan, maka           pada masa ini para teolog tidak mampu           mengembangkan teologi ke arah yang lebih           progresif. Karya yang mampu diproduksi           banyak berupa Syarh (penjelesan) atau           komentar terhadap karya teolog lain.           Kalaupun ada karya yang bersifat kritik           biasanya mereka mendasarkan kritik tersebut           pada teori terdahulu tanpa menawarkan sebuah           teori atau inovasi baru.
                      Pada masa ini           teologi semakin didekatkan ke Tasawuf. Ruh           rasional yang sempat hinggap di teologi dan           pernah menjadikan teologi sebagai disiplin           yang inspiratoris tergeser oleh ruh pasrah ,           suka kemapanan dan anti rasio. Kejumudan ini           semakin dikukuhkan oleh sikap anti filsafat           yang ditunjukkan sebagian besar generasi           Islam. Sebenarnya sebab utama dari sikap itu           adalah ketidak-tahuan mereka terhadap           sejarah teologi yang mereka pelajari saat           ini. Pembaharuan perlu dilakuakan, baik           pembaharuan terhadap materi, metode dan           teori.    
          B. Dalil dalam Teologi
                      Sebagaimana           disiplin lain dalam tradisi Islam, teologi           juga mempergunakan al-Naql (non-rasio) dan           al-Aql (rasio) sebagai pijakan dan dalil           pada setiap pembahasannya. Dalil           mengantarkan kita pada al-madlul, al-madlul           ke al-dal, al-dal ke al-mustadal, semua ini           adalah aktifitas jiwa. 
                      1. Dalil           Naqli              
                      Hampir semua           madzhab teologi Islam memakai dalil naqli           baik sekedar untuk formalitas atau           sungguh-sungguh untuk memperkuat pendapat           mereka. Dalam disiplin teologi ketika           disebut istilah 'dalil naqli' atau 'dalil           sam'i', maka yang dimaksud adalah al-Quran,           al-Hadits dan al-Ijma'. Madzhab Mu'tazilah           pada awalnya juga mempergunakan dalil           naqli sebagai salah satu pilar teologi           mereka. Namun pada perjalanan selanjutnya           mereka lebih berpegang pada dalil aqli.           Perubahan ini mencapai puncaknya ketika Amr           ibn Ubaid, salah satu tokoh Mu'tazilah,           meragukan periwayatan dan para rawi hadits.[22]              
                                Hal yang sama juga terjadi           di al-Asya'iroh, hanya saja tidak separah           Mu'tazilah. Dalam al-Asya'iroh posisi           dalil naqli dan dalil aqli           mengalami pasang surut juga. Pada periode           pertama mereka cukup memegang teguh prinsip           keseimbangan antara naqli dan aqli           (walaupun banyak kalangan yang mengatakan           bahwa a-Asy'ari lebih berat ke naqli),           seperti yang dipraktekkan oleh al-Asy'ari           dan al-Baqilani. Generasi selanjutnya           membawa teologi asy'arian ke arah teologi           yang didominasi aqli puncaknya ketika berada           di tangan al-Razi. Pada periode berikutnya           Juwaini berusaha menyeimbangkan antara           naqli dan aqli.[23]           Usaha-usaha tersebut di atas sebenarnya           sebuah bentuk apresiasi terhadap fungsi           naqli. Kalau kita jujur sebenarnya tanpa           meremehkan dalil naqli--dalil aqli           lebih banyak mempunyai banyak kelebihan.           Banyak kendala yang mesti dihadapi ketika           dalil naqli diterapkan apalagi           diutamakan dalam disiplin ini.   
                      Dalil naqli           didasarkan pada penyerahan sepenuhnya           terhadap Nash sebagai otoritas utama yang           tidak mungkin dikritik atau ditolak. Ia           adalah dalil yang berdimensi imani           murni. Tentu saja dalil seperti ini jauh           dari kadar ilmiah. Dia tidak mampu           melaksanakan fungsi bela agama dari hujatan           umat non-muslim dan hujatan akal kreatif           atau nafsu dalam diri tiap insan. Semangat           dialog tidak bisa dilaksanakan dengan           sempurna.[24]           Titik tolak seperti ini mengingatkan kita           pada periode kegelapan eropa yang menekankan           iman (baca, menyerah) dulu baru berpikir dan           kemudian aktifitas berpikir itu harus tetap           dalam koridor iman tadi.
                      Dalil naqli           juga sering berbenturan dengan kendala           bahasa, tafsir dan pemahaman. Nash bukanlah           argumen rasional yang tanpa perlu dipikir,           tapi ia adalah hal yang harus dipahami           sesuai dengan kidah-kaidah bahasa, tafsir,           metode-metode pemahaman. Nash itu sendiri           bukanlah suatu argumen, tapi ia adalah           bentuk pembacaan, pemahaman, penafsiran           dalam masa dan tempat tertentu dan tidak           bisa menjadi dalil naqli kecuali           setelah tersusun. Dari sisi bahasa, misalnya.           Bahasa tak lebih dari salah satu unsur           berpikir yang hanya menunjukkan arti kalimat           melalui tanda dan ritme nada. Ia hanyalah           rumus, garis dan huruf. Padahal dalam           teologi, indikator suatu lafadh tidak dapat           memberikan sebuah keyakinan sebagaimana           dalam Ushul al-Fiqh. Berdasarkan hal           tersebut maka dalil naqli tidak bisa           dijadikan dalil utama karena ia berpegang           pada bahasa. Demikian pula halnya kendala           yang akan dihadapi dalil naqli ketika           dihadapka pada tafsir (cara pembacaan Nash).[25]                           
          2. Dalil Aqli
                                Adalah hal yang maklum bahwa           filsafat yunani mempunyai pengaruh besar           terhadap pandangan kaum muslimin dalam           teologi. Padangan para teolog muslim dalam          dalil aqli banyak terinspirasi oleh           buku karangan Plato yang berjudul "Timaeus."           Tentu saja para teolog tersebut tidak           mengambil secara utuh apa yang ada dalam           'Turats Yunani.' Mereka hanya mengambil           unsur-unsur inti yang mencerminkan ruh           pemikiran Yunani kemudian mencampurnya           dengan unsur-unsur ketimuran.[26]           Al-Qodli Abd. Jabbar, misalnya. Dalam salah           satu uraiannya tentang al-Ushul           al-Khomsah dia berkata:
                                          [...jika sudah jelas bahwa al-ajsam (hal-hal           yang menempati ruang dan waktu) adalah           hadits (baru, lawa qodim), maka harus ada           yang menciptakannya. Pencipta itu tidak lain           adalah Allah...][27]
                      Al-qodli Abd.           Jabbar dalam frase di atas telah menggunakan           bahasa (baca, cara) Plato dalam berargumen           dengan bukti bahwa argumen semacam itu juga           telah dipakai oleh Plato dalam buku           'Timaeus'.[28]           Demikian pula yang terjadi pada al'Asy'ari           ketika ia menjelaskan: [...Dia (Allah)           mencipta tanpa mencontoh yang terdahulu.. ].[29]           Argumen-argumen semacam ini banyak digunakan           dalam Turats Yunani. 
          Dalam al-Quran juga           disebutkan betapa penggunaan akal merupakan           suatu keharusan dalam menjalani kehidupan           ini, baik kehidupan lahir maupun batin           (baca, keyakinan). Allah berfirman: Katakan!           (hai Muhammad) renungkanlah apa yang ada di           langit dan di bumi. (QS Yunus, ayat 101).           Berdasarkan Fakta di atas maka adalah suatu           yang wajar jika teologi ini harus           menggunakan dalil-dalil aqli.
                      Titik tolak           dalil aqli merupakan kebalikan dari titik           tolak dalil naqli. Jika dalil naqli bertolak           dari sikap pasrah dan menerima secara mutlak           terhadap nash yang dipergunakan sebagai           dalil, maka dalil aqli diawali oleh akal           yang berpegang pada argumen dan fakta. Akal           akan mampu mencapai pemahaman pada Nash           sebagaimana ia mampu mengatasi problem           penafsiran leksikal atau materialistis. Akal           adalah 'pewaris wahyu.' Ketika wahyu sudah           sempurna, maka akal adalah 'evolusi' atas           wahyu tersebut. Ketika Nash menjadi argumen          aqli yang berdiri sendiri hingga           kekuatan Nash tersebut tercermin dalam           argumen aqli yang mengungkapkannya,           maka argumen aqli itu akan dapat           menyentuh nurani dan akan menuju pada ke ruh           keharmonisan logis.[30]
                      Dalam hal           penggunaan dalil aqli aecara lebih           mendalam sebagian madzhab cukup siap dan           sebagian yang lain tidak. Al-Maturidiyyah           lebih siap dan berani memulai pengunaan           dalil aqli dari pada al-Asya'iroh. Hanya           Mu'tazilah yang selalu siap sedia bahkan           kadang terkesan kebablasan walaupun           sebenarnya tidak seberapa.
                      Penulis sengaja           tidak membuat kesimpulan dalam makalah ini,           karena makalah ini masih belum tuntas dan           akan penulis lanjutkan pada diskusi           mend      
                                                [4]             Awwad ibn             Abdullah al-Mu'tiq, al_mu'tazilah             wa ushuluhum al-Khomsah wa mauqif             ahl al-Sunnah minha, Maktabah             al-Rusyd, Riyadl, 1995, hal. 83.
                                                [5]            Hasan Mahmud             al-Syafi'I, al-Madkhol ila             Dirosah 'ilm al-Kalam, Maktabah             Wahbah, Kairo, 1991, hal. 53.
                                                [6]             Karen             Armstrong, Islam: a Short             HistoryAepintas Sejarah Islam,             terj Ira Puspito Rini, (Yogyakarta,             Ikon teralitera) 2002, hal. 42-44.
                                                [7]             Kelompok             Murji'ah yang dimaksud dalam tulisan             ini adalah murji'ah ekstrim. Mereka             adalah golongan yang mentakwilkan             nash-nash al-Quran sesuai denngan             kepentingan mereka. 
                                                [24]             Hasan Hanafi,            Min al-Aqidah ila al-Tsaurah,             vol I, al-Markaz al-Tsaqofi al-Arabi,             1988, hal. 370.
                                                [26]             Mustafa             Hasan al-Nasyar, Fikroh al-Uluhiyyah             'inda Aflathun wa atsaruha fi             al-falsafah al-Islamiyyah wa al-Ghorbiyyah,             Maktabah Madbuli, Kairo, hal. 267.
                                                [29]             Abu al-Hasan             al-Asy'ari, Maqolat al-Islamiyyah,             tahqiq M.Muhyiddin Abd. Hamid, vol             I, Maktabah al-Nahdloh al-Mashriyyah             1969, hal. 235-236
Tidak ada komentar:
Posting Komentar