Senin, 26 September 2011

Benarkah Orang Awam Wajib Bertaqlid?

Benarkah Orang Awam Wajib Bertaqlid?

Pernahkah anda merasa kesulitan mengingat niat sholat jamak dan qashar? Saya terka pasti banyak yang mengakuinya. Karena tidak tahu niat apa yang dibaca, mereka memutuskan untuk meninggalkan sholat jamak dan qashar sama sekali. Daripada sholatnya tidak terima karena kelupaan niat, itulah alasan yang mereka beri. Selain sholat jamak dan qashar banyak sholat-sholat sunnat lainnya yang mereka enggan mengerjakannya karena tidak tahu niat apa yang mau dibaca.

Inilah sebuah contoh kecil dari kesusahan yang kita dapatkan kalau kita terlalu taksub (fanatik) terhadap mazhab Syafi’i. Karena menurut mazhab Syafi’i, niat sholat itu wajib dibaca. Bahkan ada yang sampai menambah syarat-syarat tambahan, seperti niat harus serentak dengan takbiratul ihram dengan perinciaannya. Akhirnya banyak kita lihat ada orang yang harus mengulang-ngulang takbiratul ihram nya karena ucapan niat yang belum sinkron dengan gerakan takbir. Bukankah ini menyusahkan? Mungkin anda akan menjawab, “Tapi itulah yang diajarkan kepada kami sejak kecil, memangnya ada cara lain?” Begitulah banyak orang yang tidak mengetahui bahwa ada pendapat dari mazhab lain yang mengatakan bahwa niat itu tidak perlu diucapkan cukup di dalam hati saja. Sayangnya pendapat yang cukup kuat ini tidak boleh dilkasanakan oleh mereka yang mengaku mazhab Syafi’i, dengan alasan mayoritas ulama mazhab Syafi’i melarang bertukar mazhab bagi orang awam.
Taksub mazhab ini sangat berbahaya. Boleh menimbulkan pertentangan dengan penganut mazhab lainnya. Tidak heran kalau kita dengar ada sebuah mesjid melaksanakan sholat Jum’at dua kali, karena imam sholat Jum’at yang pertama berlainan mazhab. Atau ada jemaah mesjid yang sampai berkelahi gara-gara meributkan azan satu kali atau azan dua kali. Pada tingkatan yang lebih tinggi, sebuah partai politik Islam yang bermazhab “polan” tidak mau bergabung dengan dengan partai politik Islam yang bermazhab “polin” dengan alasan ketidaksesuaian mazhab. Mereka saling menjatuhkan dan lebih senang bergabung dengan partai politik non-Islam. Inilah salah satu alasan kenapa partai-partai Islam itu tidak bisa bersatu.
Untuk menyelesaikan masalah di atas, sudah saatnya masyarakat awam diingatkan bahwa status mereka sebenarnya tidak bermazhab. Sayangnya ketika disebut tidak bermazhab, mereka mengira bisa langsung menarik hukum dengan hanya membaca sedikit ayat al-Quran dan segelintir hadis. Menurut mereka inilah yang disebut kembali kepada al-Quran dan al-sunnah, yaitu tidak memperdulikan mazhab-mazhab yang ada. Padahal mereka yang mengaku ini kembali kepada al-Quran dan al-sunnah ini sebenarnya tidak memiliki metode atau alat untuk menarik hukum-hukum agama. Mereka sebenarnya taqlid kepada guru mereka juga yang mengatakan hadith ini shahih, hadith ini palsu, dsb.
Tidak Bertaqlid Pada Satu Mazhab Saja
Sebenarnya apa yang dimaksud tidak bermazhab ini bukanlah meninggalkan mazhab sama sekali, tapi lebih kepada tidak taqlid kepada satu mazhab saja. Orang awam hanya mengikuti mazhab ulama yang dimintai pendapatnya. Kalau ulama itu bermazhab Syafi’i, maka menjadi Syafi’ilah si penanya. Kalau ulama itu bermazhab Hanafi, maka menjadi Hanfilah si penanya. Bukankah ini cukup flesibel dan memudahkan orang awam? Dengan kemudahan seperti, harusnya tidak akan muncul lagi aliran Islam Liberal yang menyatakan tidak mau mengikuti mazhab yang ada tapi mau membuat mazhab sendiri tanpa mengikuti aturan-aturan baku dalam Islam. Akibatnya apa yang terjadi? Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Islam Liberal itu menjadi sesat dan menyesatkan.
Untuk lebih meyakinkan anda, maka saya akan kemukakan komentar para ulama fiqh kontemporer mengenai status taqlid oran awam:
Dr. Said Ramadan al-Buti seorang ulama fiqh dari mazhab Syafi’i pada jaman ini mengatakan:
Sesungguhnya tiada dalil syarak yang mewajibkan muqallid tetap secara terus-menerus dalam taqlidnya kepada sebuah mazhab fiqh. Tiada juga dalil yang melarangnya untuk berpindah dari mazhabnya kepada mazhab yang lain. Telah ijmak kaum muslimin bahwa muqallid boleh mengikuti mujtahid mana saja yang dia mau, seandainya telah sampai kepadanya mazhab atau pandangan mereka yang sebenarnya.
Misalnya, dia boleh mengikuti imam yang berlainan dari empat mazhab pada setiap hari yang berbeda. Sekalipun muncul pada akhir zaman nanti mereka yang mencela muqallid bertukar mazhab, namun ia adalah taksub yang dimurkai oleh syarak dan batil dengan kesepakatan kaum muslimin.
(Al-Buti: Dr. Said Ramadan, al-Lamazhabiyyah, hal. 37, Damsyik: Maktabah al-Farabi).
Dr. Wahbah al-Zuhali berkata:
Mayoritas ulama berkata tidak wajib bertaklid kepada imam tertentu dalam semua masalah atau kejadian yang berlaku. Bahkan seseorang itu dibolehkan bertaqlid kepada mujtahid mana saja yang dia mau. Jika dia tetap (iltizam) dengan mazhab tertentu, seperti mazhab Abu Hanifah, al-Syafi’i atau lainnya, maka dia tidak wajib secara berterusan.
Bahkan dia boleh bertukar-tukar mazhab. Ini karena, tiada yang wajib melainkan apa yang diwajibkan oleh ALLAH dan Rasul-NYA. Allah dan Rasul-NYA tidak pula mewajibkan seseorang berpegang pada mazhab imam tertentu. Hanya ALLAH wajibkan adalah mengikuti ulama, tanpa dibatasi hanya kepada tokoh tertentu.
…dan masih panjang komentarnya…capek nulisnya :)
(Al-Zuhaili, Dr. Wahbah, al-Rukhas al-Syar’iyyah, hal. 17-19, Beirut: Dar al-Khair 1993)
Menurut ‘Abdul Karim Zaidan:
Sesungguhnya syariat Islam adalah hujah mengatasi seluruh mazhab. Bukanlah mazhab yang menjadi hujah mengatasi syariat Islam…jika jelas kepada pengikut sesuatu mazhab bahwa mazhabnya salah dalam masalah tertentu, sementara kebenaran berada pada pendapat yang lain dan masalah itu cukup jelas baginya, maka dia hendaklah bertukar mazhab kepada pendapat yang benar dalam masalah tersebut. Boleh bagi pengikut sebuah mazhab mengikut mazhab lain dalam sebagian masalah. Ini karena, dia tidak wajib terikat dengan semua ijtihad mazhabnya. …
(Zaidan: Dr. Abd al-Karim, al-Wajiz fi usul al-Fiqh, hal. 412-413)
Dr. Yusuf al-Qaradawi berkata
Sesungguhnya terikat dengan mazhab-mazhab itu berarti beriltizam dengan sesuatu dari segi syarak dan agama yang tidak diperintahkan atau diwajibkan. Ini karena, tiada kewajiban atas nama agama dan syarak melainkan apa yang diwajibkan oleh ALLAH dan Rasul-NYA. ALLAH dan Rasul-NYA tidak pula mewajibkan mengikuti mazhab tertentu dari mazhab yang empat.
….
Pendapat yang mengatakan golongan muqallid wajib mengikuti mazhab-mazhab tersebut, tidak boleh dianggap muktabar. Ini karena tidak boleh bertaklid kepada orang yang dia juga bertaqlid. Sehingga jika mereka berijmak sekalipun, maka ijmak mereka tidak dianggap muktabar.
Ini karena hakikat ijmak yang muktabar adalah kesepakatan para mujtahiddin pada suatu zaman, bukan kesepakatan para muqallidun. Para ulama secara keseluruhan (termasuk golongan muqallidin) telah mentarjihkan bahwa orang awam tiada mazhab baginya. Mazhabnya adalah mazhab ulama yang memfatwakan untuknya…
(Al-Qaradaqi: Dr. Yusuf, Taisir al-Fiqh li al-Muslim al-Mu’asir, hal 37-39, Beirut: Muassasah al-Risalah 2000)
Bagaimana Berinteraksi Dengan Khilaf Para Ulama?
Walaupun begitu masih tetap ada mereka yang menentang orang awam berpindah kelain pendapat yang berlainan mazhab. Mereka menganggap bahwa orang awam tidak memiliki kemampuan untuk memilih pendapat yang lebih kuat atau istilahnya adalah mentarjih. Yang menjadi titik persoalan sebenarnya adalah mereka menganggap cara orang awam mentarjih harus sama dengan cara mentarjih para ulama. Anggapan ini adalah tidak tepat. Orang awam boleh memilih pendapat yang lebih kuat dengan melakukan tahap-tahap di bawah ini [1]:
PERTAMA - Apabila diketahui dengan jelas bahwa sebuah pendapat lebih kuat dan rajih dibandingkan dengan pendapat-pendapat lain, maka hendaklah memilih pendapat yang paling kuat dalilnya.
Bagi orang awam, dua orang mujtahid yang berbeda pendapat diibaratkan sebagai dua dalil yang bertentangan. Sebagaimana seorang mujtahid wajib membuat pilihan di antara dalil-dalil, seorang awam harus membuat pilihan di antara pendapat dua orang mujtahid. Timbul permasalahan, bukankah orang awam tidak mampu untuk mentarjih (memilih pendapat)? Ya, Orang awam tidak dituntut mentarjih seperti metode mujtahid mentarjih yang cukup rumit. Orang awam hanya mentarjih antara dua pendapat yang muktabar. Tidak benar mengatakan orang awam tidak mempunyai kemampuan memilih atau memahami dalil. Walaupun tidak menyamai taraf mufti atau mujtahid, sekurang-kurangnya dengan mendengar hujah-hujah mereka, seorang awam dapat membuat keputusan pendapat mana yang dilihat kuat.Akan tetapi jika tidak mampu untuk melihat kekuatan pendapat berdasarkan hujah masing-masing, maka hendaklah pindah ke tahap seterusnya.
KEDUA – Mengambil pendapat mayoritas ulama yang ditarjihkan oleh ramai ahli ilmu.
Karena dengan cara memilih pendapat mayoritas ulama, kemungkinan untuk terjadi kesalahan adalah lebih tipis, dibandingkan dengan mengambil pendapat yang dipilih oleh segelintir atau beberapa ulama sahaja. Jika metode ini tidak dapat diaplikasikan disebabkan jumlah pendapat-pendapat yang sama atau hampir sama, sehingga tidak kelihatan salah satu pendapat mempunyai kelebihan dari sudut jumlah mujtahid yang mendukungnya, maka hendaklah pindah kepada metode yang seterusnya.
KETIGA – Mengambil pendapat ulama yang dilihat lebih tinggi ilmunya dan kelihatan lebih warak dan bertaqwa dari yang lain.
Kerana taqwa kepada Allah adalah salah satu faktor mendapat petunjuk Allah kepada pendapat yang lebih benar. Ketinggian ilmu dan ketaqwaan seseorang ulama bisa diketahui berdasarkan kemasyhurannya, rujukan penuntut ilmu terhadapnya, atau melalui pengalaman kita mendengar dia menjawab soalan dan menyebut hujahan. Jika orang awam tetap tidak bisa mengetahui perihal keilmuan dan ketaqwaan antara muft-mufti, dan baginya mereka sama sahaja, maka hendaklah berpindah kepada metode seterusnya.
KEEMPAT – Mengambil pendapat yang paling berjaga-jaga atau paling selamat (Ihtiyath).
Contohnya, mufti A berfatwa hukum sesuatu masalah ialah wajib, dan mufti B berfatwa hukumnya sunat. Berdasarkan metode ini, hendaklah memilih pendapat mufti A karena ia lebih berjaga-jaga. Begitu juga antara fatwa haram dan mubah, hendaklah memilih fatwa haram kerana lebih selamat. Diriwayatkan bahwa Al-Laits bin Saad berkata, “Apabila datang perselisihan, kami mengambil yang paling ihtiyath (berjaga-jaga atau selamat)”. Jika metode mengambil langkah berjaga-jaga tidak bisa digunakan kerana tidak jelas, atau mengambil pendapat yang berjaga-jaga membawa masyaqqah, maka bolehlah berpindah kepada metode terakhir.
KELIMA – Mengambil pendapat yang paling mudah di antara pendapat-pendapat yang muktabar.
Kerana dimaklumi bahwa syariat Islam dibangun di atas prinsip memudahkan dan tidak memberatkan umat. Banyak ayat-ayat Quran dan hadis yang menjelaskan prinsip ini. Nas-nas itu menjadi saksi bahwa boleh mengambil pendapat yang paling ringan dalam situasi susah. Tetapi kaedah memilih pendapat paling ringan hanya boleh diaplikasikan setelah keempat-empat metode sebelum itu tidak dapat digunakan. Jangan terlalu mudah melangkahi metode-metode tersebut untuk mencapai metode terakhir ini. Seseorang yang terlalu sering menggunakan metode mengambil pendapat mudah, perlu memperbanyak muhasabah apakah dia benar-benar memahami manhaj ini?

[1] Ikhtilaf Al-Mufteen, oleh: as-Syeikh as- Syarif Hatim. Diterjemahkan oleh Ustaz Lokmanulhakim Bin Hussain, M.A (Syariah) – http://al-fikrah.net/ForumsPro/viewtopi … rt=30.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar