Rabu, 28 September 2011

-_- Mu'tazilah -_-

MU'TAZILAH
 
1. Definisi
Secara Bahasa :
Kata Mu’tazilah berasal dari kata ‘azala–ya’taziluhu ‘azlan wa’azalahu fa’tazala wa-in’azala wa-ta’azzala yang artinya menyingkir atau memisahkan diri.[1]
Secara Istilah :
Mu’tazilah berarti sebuah sekte sempalan yang mempunyai lima pokok keyakinan (al ushul al-khamsah), meyakini dirinya merupakan kelompok moderat di antara dua kelompok ekstrim yaitu Murji’ah yang menganggap pelaku dosa besar tetap sempurna imannya dan Khawarij yang menganggap pelaku dosa besar telah kafir.[2]
2. Awal Kelahiran dan Penamaan Mu’tazilah
Di kalangan para peniliti terjadi perbedaan pendapat yang cukup mencolok mengenai asal usul penamaan Mu’tazilah. Penyebabnya adalah penamaan tersebut erat kaitannya dengan berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di dunia Islam pada masa kelahiran gerakan ini. Pendapat-pendapat tersebut di antaranya:
(1). Sebagian pihak menyatakan penamaan Mu’tazilah berasal dari lawan mereka yaitu Ahlus Sunah wal Jama’ah.
(2). Sebagian pihak lain menyatakan nama Mu’tazilah berasal dari diri mereka sendiri.
(3). Sebagian pihak menyatakan Mu’tazilah lahir dengan adanya i’tizal siyasi (pengasingan diri dari dunia politik) pada masa awal fitnah (masa kekhilafahan Ali). Sebagian peneliti lain menyatakan Mu’tazilah lahir karena sebab-sebab lain.[3]
Mayoritas peneliti yang menyatakan penamaan Mu’tazilah berasal dari Ahlus Sunah wal Jama’ah mengaitkan penamaan tersebut dengan perdebatan mengenai hukum pelaku dosa besar antara Imam Hasan Al Bashri dan Washil bin Atha’ (80 H-131 H) yang hidup pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik Al Umawy.
Imam Hasan Al Bashri mempunyai majelis pengajian di masjid Bashrah. Pada suatu hari seorang laki-laki masuk ke dalam pengajian imam Hasan Al Bashri dan bertanya,” Wahai imam, di zaman kita ini telah timbul kelompok yang mengkafirkan para pelaku dosa besar yaitu kalangan Wa’idiyah Khawarij dan juga timbul kelompok lain yang mengatakan maksiat tidak membahayakan iman sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat sama sekali bila bersama kekafiran yaitu kelompok Murji’ah. Bagaimana sikap kita?” Imam Hasan Al Bashri terdiam memikirkan jawabannya, saat itulah murid beliau yang bernama Washil menyela,” Saya tidak mengatakan pelaku dosa besar itu mukmin secara mutlak dan tidak pula kafir secara mutlak, namun dia berada di satu posisi di antara dua posisi, tidak mukmin dan tidak pula kafir.” Jawaban ini tidak sesuai dengan ayat-ayat Al Qur’an dan As Sunah yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin namun imannya berkurang. Tentu saja Imam Hasan Al Bashri membantah jawaban Washil yang tak berlandaskan dalil tadi. Washil kemudian pergi ke salah satu sudut masjid, maka imam Hasan Al Bahsri berkata,” Ia telah memisahkan diri dari kita (I’tazalnaa).” Sejak saat itu ia dan orang-orang yang mengikutinya di sebut Mu’tazilah, artinya kelompok yang memisahkan diri (menyempal).[4]
Mayoritas peneliti menyatakan pendapat mereka yang menyelisihi Ahlus Sunah wal Jama’ah dalam masalah hukum pelaku dosa besar inilah yang menyebabkan mereka dikenal sebagai sekte Mu’tazilah. Al Baghdadi menambahkan satu sebab lagi, yaitu pendapat mereka yang menyelisihi Ahlus Sunah wal Jama’ah dalam masalah taqdir.[5]
Dalam perkembangan selanjutnya, sekte Mu’tazilah mempunyai banyak nama, baik penamaan dari mereka sendiri maupun dari pihak luar. Nama-nama tersebut adalah:
 Mu’tazilah, berawal dari penamaan imam Hasan Al Bashri terhadap Washil bin Atha’ seperti yang telah disebutkan di awal tadi.
 Jahmiyah, dinamakan demikian karena Jahmiyah lebih dahulu muncul, juga karena Mu’tazilah sependapat dengan Jahmiyah dalam beberapa hal dan karena di awal kemunculannya Mu’tazilah menghidupkan prinsip-prinsip Jahmiyah.[6]
 Qadariyah (kelompok yang menolak iman kepada taqdir), dinamakan demikian karena mereka juga mengingkari taqdir dan berpendapat manusialah yang menciptakan perbuatannya sebagaimana pendapat Qadariyah .
 Tsanawiyah dan Qadariyah, dinamakan demikian karena Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan baik itu dari Allah dan perbuatan jelek itu dari manusia. Ini menyerupai Tsanawiyah dan Qadariyah yang meyakini adanya dua tuhan, tuhan kebaikan dan tuhan kejahatan.
 Wa’idiyah, dinamakan demikian karena mereka berpendapat bahwa Allah harus menyiksa pelaku dosa yang belum bertaubat sebelum matinya.
 Mu’athilah (kelompok yang meniadakan), dinamakan demikian karena mereka meniadakan sifat-sifat Allah.
 Ahlul ‘Adl Wat Tauhid Wal ‘Adalah (kelompok yang bertauhid dan menegakkan keadilan). Ini nama yang mereka akui berdasar aqidah lima pokok mereka.
 Ahlul Haq (kelompok yang berada di atas kebenaran). Ini nama yang mereka akui berdasar aqidah lima pokok mereka.
 Firqah Najiyah (kelompok yang selamat). Ini juga nama yang mereka yang mereka sematkan untuk mereka sendiri.
 Al Munazihun Lillah (orang-orang yang mensucikan Allah). Ini juga nama yang mereka sematkan untuk mereka sendiri.[7]
 Al Haraqiyah: Karena mereka berpendapat bahwa orang kafir tidak disiksa dalam api neraka kecuali sekali saja.
 Al Mufaniyah: Karena mereka berpendapat bahwa neraka dan surga itu tidak kekal.
 Al Lafdziyah: Karena mereka berpendapat bahwa lafal-lafal Al Qur’an itu adalah makhluk.
 Al Qabriyah: Karena mereka berpendapat bahwa adzab kubur itu tidak ada.[8]

3. Perkembangan Mu’tazilah
Sekte Mu’tazilah lahir pada masa pemerintahan Umawiyah, namun berkembang menjadi sebuah gerakan pemikiran yang menyibukkan dunia Islam dalam rentang waktu yang panjang pada masa pemerintahan Abbasiyah.
Mu’tazilah lahir pertama kali di kota Bashrah, namun berkembang dengan cepat di Baghdad. Sekte sesat ini dianut oleh khalifah Yazid bin Al-Walid dan Marwan bin Muhammad dari pemerintahan Umawiyah. Sekte ini semakin merajalela pada masa pemerintahan Abbasiyah. Mu’tazilah mempunyai dua madrasah besar yang menjadi pusat pengkaderan dan penyebaran ide-idenya, yaitu Bashrah dengan pimpinannya Washil dan Baghdad dengan pimpinannya Bisyr bin Mu’tamar. Meski sama-sama Mu’tazilah, di antara kedua madrasah ini terjadi perbedaan pendapat dan perdebatan yang tajam.[9]
Perkembangan Mu’tazilah sepanjang sejarah bisa digambarkan secara ringkas sebagai berikut:
 Sebelum Mu’tazilah lahir dalam bentuk sebuah sekte, di masyarakat saat itu sudah berkembang perdebatan yang sengit dalam hal pemikiran dan keagamaan. yaitu:
1. Pendapat yang mengatakan manusia itu merdeka secara mutlak (penuh), manusia menciptakan seluruh perbuatannya tanpa ada campur tangan dari Allah sedikitpun. Ini merupakan pendapat Ma’bad Al Juhani dan pendapat ini menjadi dasar sekte sesat Qadariyah. Ia bersama Abdurrahman bin Asy’ats memberontak melawan Abdul Malik bin Marwan. Ketika pemberontakan gagal, Ma’bad dibunuh oleh Hajaj bin Yusuf Ats Tsaqafi, yaitu pada tahun 80 H.
2. Pendapat ini diulang lagi oleh Ghilan Ad Dimasqi pada masa Umar bin Abdul Aziz. Saat itu setelah dipanggil oleh khalifah ia bertaubat. Namun setelah Umar bin Abdul Aziz meninggal ia mengulangi lagi kesesatannya. Maka khalifah Hisyam bin Abdul Malik menghukum mati Ghilan.
3. Pendapat yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk dan meniadakan sifat-sifat Allah. Ini pendapat Jahm bin Shafwan, pendapat sesatnya ini melatar belakangi lahirnya sekte sesat Jahmiyah. Ia dibunuh oleh gubernur Salim bin Ahwas di daerah Marwa pada tahun 128 H .
4. Pendapat yang meniadakan sifat Allah ini kembali dihidupkan oleh Ja’ad bin Dirham. Karena kesesatannya membahayakan kemurnian Islam, ia dibunuh oleh gubernur Kufah, Khalid bin Abdullah Al Qasari.
 Kemudian Mu’tazilah tumbuh sebagai sebuah sekte sesat dengan keluarnya Washil bin Atha’ dari pengajian imam Hasan Al Bashri. Ia hidup pada masa Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul Malik.
 Pada masa pemerintahan Al Makmun di masa khilafah Abbasiyah, sekte Mu’tazilah menjadi sekte yang memegang peranan penting dalam pemerintahan karena khalifah menganut sekte ini, Pada masa itu para pemimpin Mu’tazilah seperti Biysr Al Muraisy, Tsumamah bin Asyras dan Ibnu Abi Du’at menjadi penasehat-penasehat Al Makmun. Pada masa inilah timbul fitnah yang terkenal dengan nama fitnah khalqul Qur’an di mana para ulama Ahlus Sunnah yang menolak mengakui Al Qur’an itu makhluk dipenjarakan dan disiksa, contohnya Imam Ahmad. Hal ini berlangsung sampai pada pemerintahan Al Mu’tashim dan Al Watsiq.
 Pada masa pemerintahan Al Mutawakil pada tahun 232 H, keadaan kembali normal dengan sikap khalifah yang menganut aqidah Ahlus Sunnah dan dibebaskannya para ulama setelah selama 14 tahun berjuang keras melawan Mu’tazilah yang memaksakan aqidahnya melalui struktur negara.
 Pada masa pemerintahan bani Buwaih di Persia, tahun 334 H, terjalin hubungan yang erat antara Mu’tazilah dan pemerintah yang berkuasa yang menganut ideologi Rafidhah. Pemimpin Mu’tazilah, Abdul Jabbar, diangkat menjadi qadhi di daerah Ra’i sejak tahun 360 H, atas perintah Shahib bin ‘Ibad menteri Muayyid Daulah. Shahib ini menurut imam Adz Dzahabi adalah seorang Syi’i Mu’tazili Mubtadi’. Menurut imam Al Mu’tazi, di bawah perlindungan daulah Buwaihiyah inilah Mu’tazilah bisa berkembang di Iraq, Khurasan dan negeri-negeri di belakang sungai / bilaadu ma wara-a nahr (Uzbekistan saat ini).[10]
4. Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
Tokoh-tokoh Mu’tazilah yang berjasa besar mengembangkan dan membidani kelahiran serta kelangsungan hidup sekte sesat ini banyak sekali, antara lain yang paling terkenal adalah:
1) Washil bin Atha’, lahir pada tahun 80 H. di Madinah, belajar pada imam Hasan Al Bashri di Bashrah, kemudian memisahkan diri dalam kasus hukum bagi pelaku dosa besar. Meninggal pada tahun 131 H. Ia melakukan dua bid’ah (dua ajaran sesat dan menyimpang), yaitu:
• Pelaku dosa besar berada di manzilah di antara manzilatain.
• Mencela keadilan sahabat dengan mengatakan salah satu di antara dua pihak sahabat yang terlibat perang Shifin adalah fasiq tanpa menunjukkan pihak yang mana. Akhirnya ia dan pengikutnya tidak menerima kesaksian kedua belah pihak.[11]
2) Amru bin Ubaid Abu Utsman Al Bashri, wafat tahun 144 H. Ia lahir di Balkh, hidup di Bashrah dan berguru pada Washil bin Atha’. Bid’ah yang paling nampak dilakukannya adalah menolak semua hadits yang tidak sesuai dengan akal.
3) Abu Huzail Al ‘Allaf, wafat tahun 235 H. Ia seorang pemikir dan ahli kalam Mu’tazilah. Lahir dan belajar di Bashrah kemudian pindah ke Baghdad. Di antara pemikiran-pemikirannya yang menyimpang adalah ;
• Kemampuan Allah itu fana (rusak tidak kekal). Ketika sudah fana maka Allah tidak mempunyai kemampuan sama sekali.
• Allah itu ‘Alim (Maha mengetahui) dan ilmu Allah adalah Dzat-Nya . Allah itu qadir (Maha berkuasa ) dan qudrah Allah adalah Dzat-Nya. Demikian seterusnya, seluruh sifat Allah ia nyatakan Dzat-Nya.
• Seorang mukallaf wajib mengetahui Allah sebelum datangnya wahyu. Barangsiapa tidak bersungguh-sungguh dalam hal ini ia akan diadzab. Artinya, akal semata sudah cukup untuk menjadikan tegaknya hujjah, tanpa memerlukan wahyu.
4) Ibrahim bin Sayar al Nadzam (wafat 231 H). Ia murid Abu Hudzail Al Allaf. Ia seorang ahli kalam Mu’tazilah. Tumbuh di Bashrah dan tinggal di Baghdad sampai meninggal. Ia seorang ahli sya’ir dan ilmu mantiq. Di antara pendapatnya adalah:
• Allah tidak mempunyai sifat qudrah (mampu) atas perbuatan jahat dan maksiat. Artinya seluruh perbuatan jahat itu berasal dari manusia semata, manusialah yang menciptakannya.
• Al Qu’ran tidak mempunyai i’jaz daalam susunannya. Ia juga mengingkari mukjizat Nabi seperti terbelahnya bulan dan bertasbihnya kerikil dalam tangan beliau.
• Menghujat para sahabat Nabi.
5) Abu Utsman Al Jahidz. Lahir dan meninggal di Bashrah. Ia belajar di Bashrah dan Baghdad sehingga menjadi pembesar Mu’tazilah saat itu. Ia terkenal sebagai orang yang cerdas dan kuat berfikir. Dari pemikiran-pemikirannya timbul kelompok Al Jahidziyah.
6) Bisyr bin al Mu’tamad (wafat 226 H). Seorang pembesar Mu’tazilah pada masa itu, darinya timbul kelompok al Bisyriyah.
7) Ma’mar bin Ibad al Silmy. (wafat 320 H). Ia seorang ulama Mu’tazilah yang paling keras dalam menafikan sifat Allah dan taqdir. Darinya timbul kelompok Ma’mariyah.
8) Abu Musa Isa bin Shubaih, terkenal dengan julukannya Mardar. (wafat 326 H). Ia begitu memperluas pemikiran akal filsafatnya sampai menimbulkan kelompok baru Mu’tazilah yang dikenal dengan nama Mardariyah.
9) Tsumamah bin Asyras al Numairi (wafat 213 H). Ia meyakini setiap orang fasiq kekal di neraka. Ia merupakan pentolan Mu’tazilah di masa Al Ma’mun, Al Watsiq, dan Al Mu’tashim. Menurut riwayat, dialah yang membujuk Al Ma’mun agar mengikuti faham Mu’tazilah. Darinya tumbuh kelompok Tsumamiyah.
10) Abu Husain bin Abu Umar al Khayath (wafat 300 H). Seorang tokoh Mu’tazilah di Baghdad. Di antara keyakinan sesatnya adalah pendapat bahwa segala sesuatu yang tidak ada itu jism (badan). Sesuatu sebelum ia ada merupakan badan. Dengan pendapatnya ini ia menyatakan alam itu kekal. Dengan demikian ia menyelisihi keyakinan seluruh sempalan Mu’tazilah lainnya. Darinya timbul kelompok baru Al Khayathiyah.
11) Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad bin Abdul Jabbar al Hamdany. (wafat 414 H). Termasuk pentolan Mu’tazilah terbesar di abad-abad akhir. Ia menjadi qadhi di daerah Ra’i. Ia membukukan sejarah Mu’tazilah dan ideologinya.
5. Aqidah Mu’tazilah
(1). Lima Dasar Utama (Al Ushulul Khamsatu / Pancasila), semacam rukun Iman bagi mereka. Yaitu:
 Tauhid.
Menurut mereka tauhid maknanya mengingkari sifat-sifat Allah karena menetapkannya berarti menetapkan banyak dzat yang qadim, itu artinya menyamakan makhluk dengan khaliq dan menetapkan adanya banyak Sang Pencipta. Mereka menta’wil sifat-sifat Allah dengan mengatakan sifat Allah adalah Dzat-Nya. Sebagai contoh, Allah ‘Alim (Maha Mengetahui) maknanya ilmu Allah adalah Dzat-Nya, dan seterusnya. Di antara sebagian konsekuensinya, mereka mengingkari ru’yatullah di akhirat dan mengatakan Al Qur’an itu makhluq.
 Al ‘Adlu (keadilan).
Keadilan versi mereka adalah menolak takdir karena menetapkannya berarti Allah mendzalimi hamba-Nya. Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafy berkata: “Mengenai al ‘adl mereka menutupi dibaliknya pengingkaran taqdir. Mereka mengatakan Allah tidak menciptakan keburukan dan tidak menghukum dengan adanya perbuatan jahat, karena jika Allah menciptakan kejahatan kemudian menyiksa mereka atas kejahatan mereka, itu artinya Allah dzalim, padahal Allah adil dan tidak dzalim. Sebagai konsekuensinya, mereka menyatakan dalam (kekuasaan) kerajaan Allah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan Allah. Allah menginginkan sesuatu tetapi hal itu tidak terjadi. Juga (konsekuensinya) mensifati Allah itu lemah, Maha Tinggi (Suci) Allah dari hal itu[12] Sebab kesesatan mereka ini adalah ketidak mampuan mereka membedakan antara iradah kauniyah dengan iradah syar’iyah.[13]
 Infadzu al Wa’id.
Maknanya orang yang berbuat dosa besar bila belum bertaubat sebelum meninggal, pasti kekal di neraka dan tidak ada syafa’at baginya. Ibnu Taimiyah berkata: “Di antara pokok ajaran Mu’tazilah bersama Khawarij adalah terlaksananya ancaman di akhirat dan bahwasanya Allah tidak menerima syafa’at bagi pelaku dosa besar serta tak seorang pelaku dosa besar pun yang keluar dari neraka.”[14] Mereka mengatakan jika Allah mengancam hamba-Nya dengan suatu ancaman maka Allah wajib menyiksanya dan tidak boleh mengingkari ancaman-Nya karena Allah tidak mengingkari janji-Nya. Allah tidak memberi ma’af dan ampunan bagi orang yang dikehendaki-Nya dan tidak pula mengampuni pelaku dosa besar yang tidak bertaubat.[15]
 Al Manzilah Baina al Manzilatain.
Imam Ibnu Abil Izz berkata: “Adapun Al Manzilah Baina al Manzilatain menurut mereka adalah pelaku dosa besar keluar dari iman dan tidak masuk dalam kekafiran.”[16]
 Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Imam Ibnu Abil Izz berkata: “Adapun Amar Ma’ruf Nahi Munkar, mereka berkata: “Kita wajib menyuruh orang selain kita untuk melaksanakan hal yang diperintahkan kepada kita dan mewajibkan mereka dengan apa yang wajib kita kerjakan. Itulah Amar Ma’ruf Nahi Munkar (versi mereka— pent). Di antara kandungannya adalah boleh memberontak dengan senjata melawan penguasa yang dzalim.”[17] Dr. Abdul Majid Al Masy’abi berkata: “(maksud mereka dengan Amar Ma’ruf Nahi Munkar) adalah boleh melawan para imam (pemimpin) dan memerangi mereka dengan pedang (senjata).”[18] Ibnu Taimiyah meringkas lima dasar ajaran Mu’tazilah ini dengan penjelasan beliau dalam ‘Majmu’ Fatawa’nya.[19]
(2). Mengandalkan akal secara penuh dalam masalah aqidah. Mereka mendahulukan akal atas nash, menta’wil ayat yang tak sesuai dengan akal mereka dan menolak hadits yang bertentangan dengan akal —menurut anggapan mereka —. Ciri kedua ini menjadi tanda khusus mereka. Mereka terkenal berani dan melampaui batas dalam menggunakan akal. Karena itu mereka sering juga disebut sebagai kaum rasionalis.
Abu Zahrah berkata: “Mu’tazilah merupakan sampah dari ghazwul fikr ini, di mana manhaj mereka yang salah terwujud dalam menjadikan akal sebagai penentu dalam segala hal. Mereka berlandaskan kepada hal-hal yang masuk akal saja dalam studi mereka terhadap masalah aqidah. Setiap masalah mereka ketengahkan/ujicoba dengan akal. Apa yang diterima akal mereka terima dan apa yang ditolak akal mereka tolak.”[20]
Syaikh Ahmad Salam berkata,” Dasar mereka yang paling penting adalah berpedoman dengan akal dalam masalah iman, nash-nash sifat, dalam menetapkan pendapat dan aqidah mereka serta tidak mempercayai an-naql dalam masalah ini.”[21]
Sikap ini menyeret mereka untuk menyimpang dari kebenaran dengan melakukan beberapa hal bid’ah:
 Menolak hadits-hadits shahih yang bertentangan dengan akal dan dasar-dasar madzhab mereka.
 Menta’wil sifat-sifat Allah dengan ta’wilan yang sesuai dengan akal mereka.
 Menghukumi baik buruknya segala persoalan dengan akal. Menurut mereka, manusia terkena beban taklif sekalipun belum datang Rasul dengan alasan akalnya bisa membimbing menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
(3). Menghujat dan mencela para sahabat Rasulullah. Mu’tazilah gemar mengkritik dan mencela sahabat dengan tuduhan-tuduhan keji. Tuduhan keji ini menunjukkan bahwa mereka bukan mencari kebenaran, namun justru menunjukkan niat yang buruk. Mereka mengkritik keras ijtihad yang dilakukan para sahabat dengan tuduhan mendahulukan hawa nafsu atas nash.
- Tokoh Mu’tazilah, An Nadzam bahkan tidak malu-malu untuk mengatakan para pembesar sahabat kekal di neraka.[22]
- Tokoh lainnya, Ali Al Juba-I terang-terangan menyelisihi ijma’ ulama dengan mengatakan tidak tahu mana di antara khulafa’ ar rasyidin yang lebih utama.[23]
- Sementara tokoh lainnya, Abu Hudzail mengatakan: ”Kami tidak tahu, apakah Utsman terbunuh dalam keadaan mendzalimi atau didzalimi.” Sebelumnya, Washil bin Atha’ juga terang-terangan menyatakan ia tidak tahu apakah Utsman yang salah ataukah Utsman terbunuh secara dzalim.”[24]
- Atha’ mengatakan perihal para sahabat yang terlibat dalam perang Jamal atau Shifin: “Derajat minimal dari kedua pihak adalah kesaksiaannya tidak diterima, sebagaimana dua orang yang saling melaknat tidak diterima kesaksiannya.”[25]
- Lebih tegas lagi adalah Amru bin Ubaid yang menyatakan kedua belah pihak sahabat yang terlibat perang Jamal atau Shifin sebagai orang-orang fasiq sehingga kesaksiannya tidak diterima.[26]
- Sementara itu Ibrahim An Nadzam dan Bisyr bin Mu’tamar menyatakan Ali di pihak yang benar, sementara Thalhah, Zubair, Aisyah’ dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhum berada di pihak yang salah dan keadilan mereka telah gugur.[27]
- An Nadzam menuduh Abu Bakar tidak konsisten; di mana dalam ayat mutasyabihat beliau tidak mentakwil dan mengatakan, ”Langit yang mana yang menaungiku, bumi mana tempatku berpijak, kalau aku mengatakan tentang sebuah ayat dengan selain apa yang diinginkan Allah. Tetapi dalam ayat kalalah, beliau berijtihad: ”Ini pendapatku. Kalau benar maka dari Allah, kalau salah dariku. Kalalah artinya orang yang tidak meninggalkan anak dan orang tua.”
- An Nadzam menuduh sahabat Umar dengan tuduhan mengalami keraguan iman, ketika mendebat Rasulullah dalam peristiwa Hudaibiyah.
- An Nadzam mengimani kedustaan Syi’ah yang menyebutkan Rasulullah menulis wasiat pengangkatan Ali sebagai khalifah setelah beliau. Dengan demikian, ia telah menuduh seluruh sahabat bersekongkol untuk mengkhianati wasiat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam.
- An Nadzam menuduh sahabat Ibnu Mas’ud yang berijtihad dalam beberapa masalah dengan tuduhan mengedepankan ra’yu (pikiran murni) atas wahyu. An Nadzam menolak beberapa hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud.
- An Nadzam juga mengkritik habis sahabat Utsman, Abu Hurairah, dan Hudzaifah bin Yaman.
- Sebagian Mu’tazilah menyalahkan Mu’awiyah dan tidak mengakui kepemimpinannya.
- Masih banyak lagi tuduhan-tuduhan Mu’tazilah yang mendeskriditkan para sahabat. Sikap mereka beragam; mulai dari meragukan keadilan sahabat seperti Washil, hingga menuduh mereka sebagai pendusta, bodoh dan munafiq seperti An Nadzam. Dengan tuduhan-tuduhan ini, Mu’tazilah tidak mau menerima riwayat hadits para sahabat tersebut.[28]
(4). Mengingkari hadits Mutawatir.
An Nadzam mengatakan bahwa hadits mutawatir bisa saja mengandung kedustaan. Ia berpendapat demikian karena ia meyakini dalil akal bisa menasakh akhbar (Al Qur’an maupun As Sunah).[29] Menurut Abu Hudzail, dalam masalah-masalah ghaibiyah, dalil tidak bisa tegak kecuali dengan riwayat dua puluh orang perawi dan di antara mereka harus ada seorang atau lebih calon penghuni syurga. Bumi tak akan pernah kosong dari wali-wali Allah yang ma’shum, tidak pernah berdusta, tidak melakukan dosa besar. Mereka inilah yang menjadi hujjah, bukannya hadits mutawatir. Karena boleh saja terjadi sekelompok perawi yang banyak jumlahnya berdusta jika di antara mereka tidak terdapat wali-wali Allah yang ma’shum.[30]
(5). Menolak kehujjahan hadits ahad.
Ahlus Sunah wal Jama’ah tidak membeda-bedakan antara kehujjahan hadits mutawatir dengan hadits ahad, selama sanad dan matannya shahih, maka hadits tersebut bisa diterima dan dijadikan hujjah. Namun Mu’tazilah menyatakan bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah. Tokoh Mu’tazilah yang bernama Abul Hasan Al Khayath menolak kehujjahan hadits ahad.[31] Abu Ali al Juba-i menolak hadits ahad kecuali kalau:
(a). Ada hadits ahad lain yang digabungkan dengannya, yang diriwayatkan oleh perawi yang adil.
(b). Atau dikuatkan oleh dhahir hadits lain atau sesuai denggan dhahir ayat Al Qur’an.
(c). Atau dikerjakan oleh sebagian sahabat.
Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa Al Juba-i menolak hadits jika tidak diriwayatkan dari empat sanad.[32]
(6). Membuat keragu-raguan terhadap hadits, meragukan banyak hadits, dan membuat hadits palsu.
Ahmad Amien berkata dalam bukunya “Dhuha Islam” tentang sikap Mu’tazilah terhadap hadits: “Kadang-kadang menunjukkan sikap seorang yang meragukan keshahihan hadits dan kadang-kadang sikap seorang yang mengingkari hadits. Ini dikarenakan mereka menjadikan akal sebagai hakim atas hadits, bukannya hadits atas akal.”[33]
Kesesatan-kesesatan Mu’tazilah ini banyak disebabkan oleh penerimaan mereka terhadap filsafat Yunani kuno, terutama sekali pendapat-pendapat Aristoteles, yang dibangun di atas landasan akal semata dan pengingkaran akan adanya Allah.[34]
Amru bin Ubaid, tokoh Mu’tazilah lainnya, dengan tegas menolak hadits Ibnu Mas’ud yang menyatakan seorang janin pada usia empat bulan telah dituliskan (ditentukan) rizqi, ajal, dan amalnya. Ia mengatakan: ”Kalau saya mendengar hadits ini dari Al A’masy saya akan mendustakannya. Kalau saya mendengar hadits ini dari Rasulullah tentulah akan saya tolak. Kalau saya mendengar hadits ini langsung dari Allah, tentulah akan saya jawab: ”Bukan atas hal ini Engkau mengambil perjanjian dengan kami.”[35]
Lebih dari itu, para tokoh Mu’tazilah juga sering membuat hadits palsu. Tokoh mereka, Amru bin Ubaid termasuk seorang pemalsu hadits. Di antara hadits yang palsu periwayatannya adalah hadits yang menurutnya dari Hasan Al Bashri bahwa orang yang mabuk karena anggur tidak dijilid. Ketika hadits ini ditanyakan kepada Ayub As Sikhtiyani, ia menjawab: ”Ia telah berdusta. Saya mendengar Hasan Al Bashri mengatakan: ”Orang yang mabuk karena anggur dijilid.”[36]
Hadits palsu lain yang diriwayatkannya adalah hadits: ”Kalau kalian melihat Mu’awiyah di atas mimbarku maka bunuhlah ia.” Banyak sekali hadits yang kata Amru bin Ubaid diriwayatkan dari Hasan Al Bashri, ternyata adalah hadits palsu. Amru bin Ubaid menggunakan popularitas imam Hasan Al Bashri untuk menyebarkan hadits-hadits palsu karangannya.[37]
An Nadzam membolehkan membuat hadits palsu dalam keadaan dipaksa (mukrah). Dalam kenyataannya, Mu’tazilah termasuk An Nadzam sendiri memalsu hadits bukan karena dipaksa, namun dengan tujuan menguatkan pendapat-pendapat sesat mereka seperti selalu dikerjakan oleh Amru bin Ubaid.
Contoh paling kongkrit dari hal ini adalah hadits riwayat tokoh Mu’tazilah Qadhi Abdul Jabbar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda: ”Lima hal yang seseorang tidak akan dimaafkan bila tidak mengetahuinya: Mengetahui Allah Ta’ala dan tidak menyerupakannya dengan sesuatu apapun, cinta karena Allah, benci karena Allah, amar ma’ruf nahi mungkar, dan menjauhi kedzaliman.” Hadits ini dinyatakan hadits palsu oleh para ulama, tetapi dipegang teguh oleh Mu’tazilah demi melegitimasi aqidah ushulul khamsah mereka.[38]
(7). Sebagian Mu’tazilah mengingkari kehujjahan ijma’ dan qiyas.
An Nadzam mengingkari kehujjahan ijma’ dan qiyas karena menurutnya hujjah hanya akan tegak dengan adanya pendapat imam yang ma’shum dengan meniru aqidah Syi’ah yang menyatakan kewajiban taat hanya kepada imam Syi’ah semata.[39] Karena pendapatnya ini, An Nadzam menyelisihi beberapa hal yang telah disepakati oleh umat Islam seperti wajibnya wudhu karena tidur dan lain-lain.
Dalam hal ijma’ pendapat seluruh Mu’tazilah hampir seragam yaitu menolak kehujjahan ijma’ kecuali qadhi Abdul Jabbar yang menyatakan kehujjahan ijma’ dengan dasar hadits: “Umatku tak akan berkumpul dalam kesesatan.” Namun ijma’ menurutnya tidak harus berasal dari kesepakatan seluruh Ulama Mujtahidin. Meski hanya seorang bisa memungkinkan terjadi ijma’. Ia melegitimasi pendapat ganjilnya ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud: ”Jama’ah adalah kebenaran itu sendiri meskipun kau sendirian.”
Beberapa tokoh Mu’tazilah tetap mengakui kehujjahan qiyas, seperti Bisyr bin Mu’tamar, Abu Hudzail, dan Bisyr bin Ghiyats al Muraisy.[40]
Boleh dikata Mu’tazilah adalah sekte gado-gado, di dalamnya terkumpul perpaduan berbagai ajaran sesat dari banyak sekte sesat lain. Bila diteliti secara mendalam, akan ditemukan bahwa di dalam sekte Mu’tazilah terdapat beberapa pemikiran sesat dari berbagai kelompok lain, yaitu:
1. Mu’tazilah mengambil pendapat menolak takdir dari Qadariyah. Syaikh Ghalib Ali Iwaji berkata: “Patut disebutkan di sini, sesungguhnya Mu’tazilah telah sependapat dengan Qadariyah dalam masalah yang termasuk masalah aqidah yang paling penting, yaitu masalah taqdir dan kedudukan manusia menurut taqdir. Mu’tazilah dan Qadariyah berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia tapi manusialah yang menciptakan perbuatan mereka sendiri. Allah tidak mempunyai penciptaan apapun dalam hal ini, begitu juga tidak mempunyai kemampuan (qudrah), kehendak (masyi-ah), maupun keputusan (qadha’)[41]
2. Mu’tazilah mengambil pendapat pengingkaran sifat Allah dari Jahmiyah. Ibnu Taimiyah berkata: “Orang yang pertama kali berpendapat demikian dalam Islam adalah Ja’d bin Dirham. Ia dibunuh oleh Khalid bin Abdullah al Qasary pada hari ‘Idul Adha…Pendapat ini kemudian diambil oleh Jahm bin Shafwan yang kemudian dibunuh oleh wali Khurasan, Salamah bin Ahwaz. Pendapat ini kemudian dinisbahkan kepadanya dan dikenal dengan nama pendapat Jahmiyah, yaitu meniadakan sifat-sifat Allah. Mereka mengatakan Allah tidak bisa dilihat di akhirat, tidak berbicara kepada hamba-Nya, tidak mempunyai sifat Ilmu, Hayat, Qudrah, dan sifat-sifat Allah lainnya. Mereka mengatakan Al Qur’an itu makhluk. Mu’tazilah pengikut Amru bin Ubaid sependapat dengan Jahmiyah dalam masalah ini dan mereka menambah beberapa bid’ah baru dalam masalah taqdir dan lain-lain.”[42]
3. Mu’tazilah mengambil pendapat kekalnya pelaku dosa besar di neraka dari Khawarij. Ibnu Taimiyah berkata: “Khawarij telah berpendapat tentang kafirnya para pelaku dosa dari kalangan ahlul kiblat (umat Islam) dan mereka mengatakan: “Mereka itu kafir dan kekal di neraka.” Maka manusia menyelami (ikut ramai berbicara) dalam pembicaraan masalah itu. Qadariyah juga ikut menyelami masalah ini setelah wafatnya Hasan al Bashri. Amru bin Ubaid dan pengikutnya mengatakan: “Mereka (pelaku dosa besar) tidak muslim dan tidak pula kafir tapi mereka mempunyai satu kedudukan di antara dua kedudukan tadi. Mereka kekal di neraka.” Mereka sependapat dengan Khawarij dalam kekalnya pelaku dosa besar di neraka dan bahwasanya pelaku dosa besar sama sekali tidak muslim. Namun mereka tidak menamakan pelaku dosa besar kafir. Mereka memisahkan diri dari halaqah murid-murid Hasan Al Bashri seperti Qatadah, Ayub As Sikhtiani dll. Sejak saat itu mereka disebut Mu’tazilah yaitu sejak meninggalnya Al-Hasan. Ada juga pendapat mengatakan bahwa Qatadahlah yang mengatakan: “Mereka itu Mu’tazilah.” Mu’tazilah sependapat dengan Khowarij dalam menghukumi pelaku dosa besar di akhirat namun tidak sependapat mengenai hukum mereka di dunia. Mu’tazilah tidak menghalalkan darah dan harta pelaku dosa besar sebagaimana dilakukan oleh Khawarij. Dalam masalah nama mereka mengadakan ikhtilaf baru ‘Al-Manzilah baina Manzilatain’. Ini merupakan ciri khas Mu’tazilah yang membedakam mereka dengan selain mereka. Pendapat-pendapat mereka yang lain juga dikatakan oleh sekte-sekte lain.”[43]
6. Kafirkah Mu’tazilah ?.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini.
a. Kafir. Menurut imam Ahmad, Mu’tazilah telah kafir. Beliau berkata: “Adapun Mu’tazilah yang terlaknat maka para ulama yang telah kami temui menyatakan mereka (Mu’tazilah) mengkafirkan pelaku dosa (besar). Barang siapa berpendapat demikian berarti telah berpendapat Adam itu kafir, begitu juga saudara-saudara Yusuf ketika berbohong kepada bapaknya yaitu Ya’kub. Mu’tazilah telah sepakat siapa yang mencuri biji-bijian maka ia telah kafir, isterinya tertalaq ba’in dan dia harus mengulangi lagi hajinya jika dia sedang mengerjakan haji. Mereka yang berpendapat demikian ini (yaitu Mu’tazilah—pent) kafir, tidak boleh dinikahi dan kesaksiannya tidak diterima.”[44]
b. Tidak kafir. Menurut mayoritas ulama termasuk Ibnu Taimiyah, mereka tidak kafir dengan alasan :
 Mereka menampakkan sikap beragama yang baik.
 Sejak awal maksud mereka bukan menentang Rasul, namun mereka ingin menetapkan tauhid, rahmat, hikmah, kebenaran, dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Hanya saja mereka salah jalan dan mentakwil nash-nash tidak pada tempatnya.[45] Ibnu Taimiah berkata: “Adapun orang yang berpendapat dengan sebagian pendapat Jahmiyah seperti Mu’tazilah dan lainnya yang menampakkan sikap beragama yang baik dalam batin mereka maka mereka itu tidak diragukan lagi termasuk umat Muhammad.”[46]
7. SEMPALAN-SEMPALAN MU’TAZILAH
Sempalan-sempalan Mu’tazilah banyak sekali, Asy Syahrastani menyebutkan ada 12 sekte. Sekte-sekte pecahan itu, yaitu:
a) Al WAASILIAH
Mereka adalah pengikut Abu Hudzaifah Wasil bin Atha’. Pendapat mereka dibangun di atas 4 dasar:
 Meniadakan sifat-sifat Allah Ta’ala.
 Meniadakan taqdir Allah Ta’ala.
 Manzilah bainal manzilatain.
 Menyatakan salah satu dari dua pihak yang terlibat dalam perang Jamal dan Shiffin bersalah tanpa menunjuk pihak yang mana. Mereka juga menyatakan pihak yang membunuh dan membela Utsman fasiq tanpa menunjuk pihak yang mana. Derajat fasiq yang paling rendah menurut mereka adalah kesaksiannya tidak diterima.
b) AL HUDZAILIYAH
Mereka adalah pengikut Abu Hudzail Hamdan bin Hudzail Al-’Allaf. Dia mengambil fikrah Mu’tazilah dari Utsman bin Khalid At-Thawil, murid Wasil bin Atha’. Aqidah kelompok ini dibangun atas sepuluh dasar:
 Sifat Allah adalah Dzat Allah itu sendiri.
 Menetapkan bahwa iradah Allah tidak mempunyai ruang untuk terealisasi.
 Menetapkan sebagian firman Allah tidak mempunyai ruang untuk terealisasi seperti frman-Nya “kun” namun sebagian firman-Nya yang lain mungkin untuk direalisasikan seperti perintah, larangan, dan berita.
 Manusia di dunia bebas berbuat apa saja tanpa campur tangan Allah sedikit pun (meniadakan taqdir di dunia) namun di akhirat perbuatan mereka diciptakan Allah, karena kalau diusahakan oleh mereka sendiri berarti mereka terkena taklif.
 Gerak makhluk di akhirat itu berhenti dan tenang selamanya. Penduduk neraka tenang selamanya dalam siksaan. Penduduk syurga tenang selamanya dalam kenikmatan. Pendapat ini mirip pendapat Jahmiyah yang mengatakan syurga dan neraka itu tidak kekal.
 Kemampuan itu hanyalah syarat selain kesehatan. Perbuatan hati tidak sah bila tidak ada kemampuan, tapi perbuatan anggota badan sah meski tidak ada kemampuan.
 Seseorang itu menjadi mukallaf sebelum datangnya wahyu, dikarenakan baik dan buruk itu bisa diukur dengan akal.
 Seseorang jika tidak dibunuh akan mati pada waktu itu juga, tidak mungkin ditambah atau dikurangi umurnya. Adapun dalam masalah rizki mereka mempunyai dua pendapat. Satu: apa yang diciptakan oleh Allah dan dimanfaatkan makhluq-Nya boleh dikatakan Allah menciptakannya sebagai rizki bagi hamba-Nya. Dua: apa yang dihalalkan Allah maka itulah rizki, sedang yang diharamkan maka bukan rizki (tidak diperintahkan untuk memanfaatkannya).
 Iradah Allah bukanlah apa yang Allah kehendaki. Sebagai contoh Allah berkehendak menciptakan sesuatu maka kehendak Allah adalah penciptaan itu, sedang penciptaan itu sendiri bukanlah benda yang diciptakan. Mereka juga berpendapat bahwasanya Allah tetap Maha mendengar, Maha Melihat dengan makna Allah akan mendengar dan melihat.
 Dalam masalah yang ghaib, hujjah tidak akan tegak kecuali dengan khabar dari 20 orang dan di antara 20 orang ini ada seorang atau lebih ahli syurga. Bumi tidak akan pernah kosong dari sekelompok wali Allah yang ma’shum, yang tidak berdusta dan tidak berbuat dosa besar. Mereka itulah yang menjadi hujjah, bukan hadits mutawatir karena bisa saja sekelompok orang berdusta jika mereka bukan wali Allah dan di antara mereka tidak ada yang ma’shum.
c) AN-NADHAMIAH
Mereka adalah pengikut Ibrahim bin Sayar bin Hanik An-Nadham, seorang pentolan Mu’tazilah yang banyak menelaah buku-buku fisafat. Ia membuat bid’ah-bid’ah baru yaitu:
 Allah tidak mampu menciptakan keburukan dan kemaksiatan.
 Allah tidak disifati dengan sifat iradah secara hakikat. Kalau Allah disifati dengannya maka maknanya adalah Allahlah yang menciptakannya.
 Seluruh perbuatan hamba itu sekedar gerakan saja. Bukan gerakan berpindah namun merupakan awal berubahnya sesuatu.
 Manusia itu pada hakikatnya hanyalah jiwanya (ruh). Adapun badan itu hanya alat saja, ruhlah yang mempunyai kekuatan kehidupan, keinginan dan kemampuan. Jadi kemampuan itu ada sebelum adanya perbuatan.
 Setiap perbuatan yang di luar batas kemampuan maka Allahlah yang menciptakannya.
 Allah menciptakan seluruh makhluq dalam sekali ciptaan seperti keadaannya saat ini, hanya saja Allah menyembunyikan sebagian dalam sebahagiaan yang lain.
 Ijma’ dan qiyas itu bukan hujjah, yang menjadi hujjah itu hanya imam yang ma’shum saja.
 Cenderung kepada Rafidhah, ia mencela para sahabat senior, menyatakan imam itu harus dengan nash dan penunjukan yang dhahir. Mereka juga berpendapat bahwa Rasulullah telah menyatakan Ali sebagai imam sesudahnya.
 Orang yang berakal sehat sebelum datangnya wahyu tetap wajib mengenal Allah karena akal itu bisa menunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk.
 Seorang yang mencuri misalnya, tidak disebut fasiq sampai ia mencuri melebihi nishab.
d) AL KHABITIYYAH dan AL HADTSIYAH
Mereka adalah pengikut Ahmad bin Khabit (wafat 232 H), sedang Al Hadtsiyah adalah pengikut Fadhl Al Hadtsi (wafat 257 H). Kedua tokoh ini adalah murid An Nadzam, keduanya banyak menelaah buku-buku filsafat. Keduanya juga menambah beberapa bid’ah baru atas bid’ah guru mereka, An Nadzam, yaitu:
 Menetapkan sifat ketuhanan atas diri Al Masih Ibnu Maryam, sebagaimana menjadi keyakinan orang Nashrani.
 Reinkernasi. Artinya: manusia yang banyak berbuat dosa atau kafir setelah matinya akan dihidupkan Allah kembali dalam wujud binatang atau manusia yang sesuai kadar kejahatan dan kebaikannya. Siapa kejahatannya lebih banyak, maka bentuk jasadnya juga semakin jelek dan penderitaan hidupnya juga semakin berat. Selama ia masih berbuat dosa dan kemaksiatan, ia akan senantiasa mengalami reinkernasi, sampai bersih dari dosa.
 Mereka menta’wil setiap hadits shahih yang menyatakan bahwa umat Islam akan melihat Allah di hari kiamat dengan jelas sebagaimana mereka melihat bulan purnama. Hadits–hadits ini mereka artikan dengan pandangan akal yang pertama. Mereka berpegang pada hadits palsu: ”Makhluk yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah akal. Allah berfirman kepada akal: ”Datanglah!” Maka akal datang. Allah berfirman kepada akal: ”Pergilah!” Maka akalpun pergi. Allah lalu berfirman: ”Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, tidaklah Aku menciptakan makhluk yang lebih baik darimu. Denganmu Aku memuliakan atau menghinakan makhluk lain, denganmu Aku memberi atau menahan (rizqi).” Pada hari kiamat, akal akan datang dan terbukalah hijab yang menutupi Allah dari pandangan makhluknya.
 Ibnu Khabit juga berpendapat bahwa seluruh hewan itu umat, sebagaimana disebut oleh ayat: ”Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya kecuali mereka itu juga umat seperti kalian.” [Al An’am :38]. Dalam setiap umat ada Rasul yang diutus dari bangsanya, berdasar ayat: ”Dan tak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.” [Faathir :24]. Dengan demikian, menurutnya ada Rasul dari semut, gajah dst.
e). AL BISYRIYAH
Mereka adalah pengikut Bisyr bin Mu’tamar. Di antara bid’ah barunya adalah:
 Siapa bertaubat atas dosa lalu mengulangi dosa itu lagi, maka ia akan tetap mendapat hukuman atas dosa pertama yang dikerjakan sebelum bertaubat.
 Allah bisa saja mengadzab anak kecil, namun jika Allah melakukan hal itu maka Allah telah berbuat dzalim, karena itu dikatakan: “Anak itu telah baligh dan melakukan dosa sehingga berhak diadzab”.
g). AL MU’AMMARIYAH
Mereka adaalah pengikut Mu’ammar bin Ibad al Sualami. Sekte ini merupakan sekte Mu’tazilah yang paling banyak menafikan sifat-sifat Allah, menafikan taqdir, mengkafirkan dan memfasikkan. Di antara bid’ah barunya:
 Yang dimiliki manusia hanyalah keinginan saja. Adapun perbuatan taklifiyah manusia sepertai makan, bergerak, ibadah dst, tak lain adalah wujud dari keinginannya.
 Allah tak mungkin mengetahui diri-Nya sendiri karena bila hal itu terjadi berarti ‘Alim (Yang Mengetahui, dalam hal ini Allah) dengan ma’lum yang diketahui itu tidak satu, berarti Allah ada dua.
 Allah tidak qadim (terdahulu), karena qadim diambil dari kata kerja qadama-yaqdumu-qadiim, seakan-akan Allah melalui proses taqaadum zamani, melakukan kerja “ada” di zaman lampau.
h). AL MARDARIYAH
Mereka adalah pengikut Mardar Abu Musa, Isa bin Shubaih (wafat 226 H). Dia dijuluki Rahibul Mu’tazilah (pendeta/ahli ibadah Mu’tazilah). Ia merupakan murid Bisyr bin Mu’tamar. Di antara bid’ah barunya adalah:
 Allah bisa saja berdusta dan berbuat dzalim.
 Al Qur’an itu makhluk, karena itu, manusia bisa saja membuat buku yang semisal Al Qur’an baik segi balaghah, fashahah maupun nadmnya. Ia juga mengkafirkan orang yang menetapkan qadamain (dua telapak kaki) dan ru’yatullah serta sifat-sifat lain. Begitu ekstremnya dalam mengkafirkan orang lain, sampai ia mengkafirkan seluruh penduduk bumi. Suatu saat Ibrahim bin Sindi menanyainya: ”Syurga yang luasnya seluas langit dan bumi itu hanya dimasuki oleh kamu dan tiga orang yang setuju denganmu?” Maka ia terdiam.
 Akal bisa menuntun kepada ma’rifatullah sebelum adanya wahyu. Baik dan buruk ukurannya adalah akal.
Dia mempuanyai beberapa murid, yaitu:
1) Ja’far bin Harb Ats Tsaqafi (wafat 234 H).
2) Ja’far bin Mubasyir Al Hamdani (wafat 236 H). Menurutnya, di antara pelaku dosa dari umat Islam sekalipun ia bertauhid ada yang lebih buruk dari Yahudi dan Nashrani. Menurutnya juga, ijma’ sahabat dalam masalah had khamr salah karena berdasar pada akal semata.
3) Muhammad bin Suwaid.
4) Abu Zufar.
i). AL TSUMAMIYAH
Pengikut Tsumamah bin Asras An Numairi, pimpinan Mu’tazilah di era Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al watsiq. Bid’ah barunya antara lain:.
 Orang-orang kafir, musyrik, majusi, Yahudi, Nashrani, Zindiq, binatang ternak, dan anak-anak kaum muslimin akan menjadi tanah pada hari kiamat.
 Akal itu merupakan tolok ukur baik dan buruk.
j). AL HISYAMIYAH
Pengikut Hisyam bin Amru al Fuwathi (wafat 226 H). Ia sangat ekstrem dalam mengingkari takdir. Selain mengingkari perbuatan-perbuatan Allah, ia juga menambahkan bid’ah baru, seperti:
 Saat ini syurga dan neraka belum diciptakan karena tak ada gunanya.
 Imamah tak boleh diangkat pada masa fitnah dan perbedaan.
k). AL JAHIDZIYAH
Pengikut Abu Utsman Amru bin Bahr al Jahidz. Di antara bid’ahnya:
 Di antara penduduk neraka ada yang tidak kekal, namun sifatnya berubah menjadi sifat api.
 Al Qur’an mempunyai jasad, suatu saat bisa berwujud laki-laki dan suatu saat bisa berwujud hewan.
l). AL JUBBAIYAH dan AL BAHMASYIYAH
Pengikut Abu Muhammad bin Abdul Wahab al Jubba-i (wafat 295 H) dan anaknya, Abu Hasyim Abdus Salam (wafat 321 H). Keduanya dari Baghdad. Banyak bid’ah Mu’tazilah secara umum juga diyakini kedua sekte pecahan ini.
 Mereka sepakat dengan Ahlus Sunah bahwa imam itu dipilih serta urutan khulafaur rasyidun menunjukkan urutan keutamaan mereka.
 Mengingkari karamah para wali.
 Ekstrem dalam masalah kema’shuman Nabi, baik dari dosa kecil maupun dosa besar, sampai niat berbuat dosa sekalipun.
 Ulama-ulama Mu’tazilah Baghdad ada yang cenderung ke Rafidzah dan ada juga yang cenderung ke Khawarij.
Demikian sekilas sekte-sekte pecahan Mu’tazilah.[47]
8. PENUTUP
Siapa saja yang membaca ideologi Mu’tazilah barangkali akan menggeleng-geleng kebingungan dengan permainan logika mereka. Boleh dikata, lima dasar aqidah mereka (Al Ushul al Khamsah) sudah tidak populer lagi saat ini, kecuali pada sebagian kecil orang saja. Yang populer justru adalah pengedepanan akal mereka dalam membahas masalah-masalah aqidah dan dien secara umum. Siapa yang mengikuti perkembangan ” Neo Mu’tazilah ” hari ini tentu akan menyadari hal ini. Mu’tazilah dengan Al Ushul al Khamsah-nya sudah jarang terlihat di masa sekarang ini, namun bencana yang meracuni aqidah dan pemikiran umat Islam dewasa ini adalah penuhanan akal ala “Neo Mu’tazilah” ini, lewat filsafat dan ilmu mantiq. Barangkali itulah yang seharusnya menjadi perhatian para da’i dan penuntut ilmu serta segenap umat Islam yang mempunyai kepedulian untuk menjaga kemurnian Islam, untuk mengcounter pemikiran mereka. Bila dibiarkan meraja lela, tentu korban umat Islam akan semakin banyak.
Wallahu A’lam Bish Shawab.
  1.  Lisanul Arab 11/440, Al Mishbahul Munir I/57.
  2. Lihat Al Milal Wan Nihal hal. 47-48.
  3. Mauqiful Mu’tazilah Minas Sunah An Nabawiyah hal. 9-10.
  4. Al Milal wan Nihal hal. 47-48, Al Qamush Al Muhith IV/15
  5. Mauqifu Mu’tazilah Minas Sunah An Nabawiyah, hal. 12, menukil dari buku Al Farqu Bainal Firaq dan Fadhlul I’tizal.
  6. Firaqun Muasshirah 2/823.
  7. Firaqun Muasshirah 2/824-825.
  8. Mauqifu Mu’tazilah Minas Sunah An Nabawiyah hal. 14.
  9. At Tafsir wal Mufasirun I/ 241-242.
  10. Al Mausu’ah al Muyassarah 1/70-71.
  11. Muqadimah Syarh Ushul I’tiqad /Tarikhu Dhuhuril Bida’, hal. 29.
  12. Syarhu Al Aqidatu ath Thahawiyah hal. 792.
  13. Al Mausu’ah Al Muyassarah 1/73.
  14. Majmu’ Fatawa 13/358.
  15. Al Mausu’ah al Muyassarah 1/73.
  16. Syarhu Aqidah Thahawiyah hal. 793.
  17. Syarhu Aqidah Thahawiyah hal. 793.
  18. Manhaju Ibni Taimiyah fi Masalati al Takfir hal. 336.
  19. Majmu’ Fatawa 13/357-358.
  20. Tarikhu al Madzahib al Islamiyah 1/144, dinukil dari Al Inhirafat al ‘Aqdiyah wa al ‘Ilmiah hal. 63.
  21. Maa Ana ‘Alaihi wa Ashabi hal. 31.
  22. Mauqiful Mu’tazilah minal Sunah an Nabawiyah hal. 79, menukil dari Al Farqu Bainal Firaq.
  23. Mauqiful Mu’tazilah minal Sunah an Nabawiyah hal. 79, menukil dari Maqalatul Islamiyin.
  24. Mauqiful Mu’tazilah minas Sunah an Nabawiyah hal. 79, menukil dari Al Farqu Bainal Firaq dan Maqalatul Islamiyin.
  25. Al Milal Wan Nihal I/49.
  26. Mauqiful Mu’tazilah minas Sunah an Nabawiyah hal. 81, menukil dari Al Farqu Bainal Firaq dan Mizanul I’tidal.
  27. Mauqiful Mu’tazilah minas Sunah an Nabawiyah hal. 81, menukil dari Maqalatul Islamiyin.
  28. Mauqiful Mu’tazilah hal. 80-88.
  29. Mauqiful Mu’tazilah hal. 91, menukil dari Ta’wilu Mukhtalafil Hadits.
  30. Mauqiful Mu’tazilah hal. 91, menukil dari Al Farqu Bainal Firaq dan Al Milal wan Nihal.
  31. Mauqiful Mu’tazilah, hal. 92, menukil dari ‘Al Farqu Bainal Firaq’.
  32. Mauqiful Mu’tazilah, hal. 93, Tadribur Rawi I/73.
  33. Mauqiful Mu’tazilah, hal. 98.
  34. Al Mausu’ah Al Muyasarah 1/73-74.
  35. Tarikhu Dhuhuril Bida’, hal.
  36. Muqadimah Syarhu Shahih Muslim I/ .
  37. Mizanul I’tidal III/273.
  38. Mauqiful Mu’tazilah, hal. 101-104.
  39. Al Milal wan Nihal I/147,154.
  40. Mauqiful Mu’tazilah, hal. 104-111.
  41. Firaqun Mu’ashirah II/826.
  42. Majmu’ Fatawa XII/502-503.
  43. Majmu’ Fatawa XIII/36-37.
  44. Manhaju Ibni Taimiah Fie Mas-alatit Takfir hal: 337-338.
  45. Manhaju Ibni Taimiah Fie Mas-alatitTakfir hal: 338.
  46. Majmu’ Fatawa XVII/448.
  47. Selengkapnya, bisa dibaca di Al Milal wa Al Nihal hal. 46-85.
DAFTAR PUSTAKA 
  • At Tafsiru wal Mufassirun., Dr. Muhammad Adz Dzahabi,
  • Tarikhu Dhuhuril Bida’, Dr. Ahmad Sa’ad Hamdan, Daru Thayibah, Riyadh.
  • Al Milalu wan Nihalu, Abu Fath Muhammad Abdul Karim bin Abu Bakar Ahmad Asy Syahrastani, Darul Fikr, Beirut, tanpa tahun, tahqiq: Abdul Aziz Muhammad al Wakil.
  • Firaqun Mu’ashirah Tantasibu Lil Islam, Ghalib bin Ali ‘Iwaji.
  • Maa Ana ‘Alaihi wa Ash-habi, Ahmad Salam
  • Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, cet. 1997 M.
  • Al Mausu’ah Al Muyassarah lil Adyan wal Madzahib wal Ahzab Al Mu’ashirah, WAMY, ed. Dr. Mani’ bin Hammad, Dar wah ‘Alamiyah, cet. 3, 1418 H.
  • Ahlus Sunah wal Jama’ah Ma’alimul Inthilaqatil Kubra, Muhammad Abdul Hadi al Mishri
  • Manhaju Ibni Taimiah Fie Mas-alatit Takfir, Dr. Abdul Majid Salim Abdullah Al Masy’abi, Adhwaus Salaf, Riyadh, cet. 1, 1997 M.
  • Syarhu Aqidah Thahawiyah, Ibnu Abil Izz Al Hanafy, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki-Syu’aib Al Arnauth, Dar ‘Alamul Kutub, cet. 3, 1997 M, Riyadh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar